Pemimpin Terbaik adalah Komunikator dan Pendengar Terbaik

Kalau dulu pemimpin memerintah dari balik meja di gedung mewah, tiba-tiba muncul pemimpin yang begitu memikat karena berhenti di tengah jalan untuk berbincang dengan seorang penyapu jalan.

Kalau dulu rakyat apatis, dan berkata, “Yaahhh.. mau apa lagi. Yang penting dia nggak ganggu gue deh.” Kini mereka tiba-tiba bisa berkata, “Dia pasti mau mendengar apa kata kita.”

Pemimpin yang mau mendengar memberikan kesan bahwa ia benar-benar ingin membawa yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik, dan tidak sok tahu menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Wong rakyatnya yang menjalankan hidupnya kok, nggak mungkin pemimpin bisa sok tahu.

Di ranah pemasaran kita menyebutnya customer-oriented market leaders. Di ranah hubungan publik kita menyebutnya stakeholders-oriented brands. Jokowi adalah salah satu contoh customer-oriented public brand yang benar-benar memberi kesegaran bagi Indonesia dan perlu menjadi teladan bagi semua brand Indonesia, apalagi brand franchise yang kesuksesannya sangat tergantung nilai, reputasi dan ekuitas brand di pasar dan … di hati konsumen.

Baca Juga : AGILITY, Karakter Pemimpin yang Dibutuhkan Saat Krisis

Dalam kondisi pasar yang sangat dinamis dan kompetitif ini, brand – terutama brand franchise – yang maju menjadi pemimpin pasar dikelola oleh pemilik brand yang memiliki informasi yang tepat dan mengambil keputusan jitu. Informasi inilah yang membuat mereka mampu menciptakan brand yang paling dekat di hati.

Apa saja informasi yang harus digali? Persepsi.

Kita perlu tahu apa pandangan publik terhadap brand kita. Kita harus tahu apakah publik kita secara emosional sudah dekat dengan kita atau belum, optimiskah mereka bahwa kita dapat menjadi yang terbaik? Kalau belum, ketahuilah kenapa belum? Apa yang menghalangi mereka untuk memiliki kedekatan dengan brand kita.

Cari tahu juga persepsi mereka terhadap industri kita. Apa persepsi mereka secara umum? Apatis? Optimis? Pesimis? Excited? Akan sangat menarik untuk melihat persepsi mereka terhadap brand kita vs brand kompetitor. Lihatlah apa yang dapat kita pelajari dari kompetitor.

Ekspektasi.
Apa sesungguhnya ekspektasi mereka? Dan bandingkan dengan pengalaman mereka menggunakan brand kita. Apakah mereka mendapatkan lebih dari ekspektasi yang ada? Kalau ya bagus, kalau tidak, kita punya masalah. Cek juga ekspektasi mereka terhadap industri kita dan berbagai harapan yang ada.

Kehidupan konsumen/stakeholder.
Fahamilah kehidupan konsumen/stakeholder. Bergaullah secara langsung dengan mereka dan fahami aspirasi, kebutuhan, pengalaman lahir batin, dan keinginan mereka. Apa tantangan dalam kehidupan mereka yang dapat kita penuhi dan tak dapat dipenuhi kompetitor? Apa celah yang dapat membuat brand kita unik di mata mereka? Bagaimana cara membuat mereka terinspirasi, termotivasi, tergerak menjadi konsumen setia dan mengajak teman-temannya untuk memilih kita, dan hanya kita. Siapa saja loyalis brand kita? Pembenci brand? Mereka yang tidak peduli? Ada di mana mereka? Apa saja kebiasaan mereka? Bagaimana kita dapat berkomunikasi dengan setiap group secara terpisah?

Ketahuilah jam berapa saja mereka terpapar dengan berbagai jenis media, dari media cetak, TV, radio, facebook, twitter, YouTube, kaskus, WA group, spanduk pinggir jalan, dan lain-lain. Apa kondisi mereka setiap kali mereka sedang berinteraksi dengan media-media tersebut. Kira-kira pesan apa yang pas saat mereka sedang bergaul dengan media tersebut?

Kenali juga siapa yang mampu mempengaruhi pendapat mereka terkait dengan brand kita? Siapa yang efektif kita ajak kerja sama untuk berkomunikasi menginspirasi dan membangun partisipasi mereka?

Dari berbagai informasi ini kita kemudian dapat membuat analisa Brand Equity, Brand Health, dan Brand Value. Brand Equity menginformasikan kita mengenai posisi kita di hati konsumen dan publik kita, apakah kita cukup unik, dicintai, atau dianggap sama saja dengan yang lain. Brand Health membantu kita mengenali kekuatan kita dalam persaingan dalam pasar.

Baca Juga : Membangun Pemimpin Yang Berkarakter

Kita dapat melihat apakah kita cukup sustainable dan potensi-potensi bagi kita untuk memenangkan pasar, membangun reputasi. Brand value membantu kita mengenai nilai moneter brand kita sebagai informasi pendamping laporan keuangan. Hal ini sangat penting untuk menentukan nilai akuisisi dan licensing. 

Dari tiga analisa ini kita dapat menyusun strategi brand kita – termasuk strategi positioning, arsitektur, dan inovasi, serta menurunkannya menjadi strategi komunikasi yang efektif dan customer/public – oriented.

Bagaimana?

Mengadakan riset secara regular minimal dua tahun sekali harus menjadi disiplin untuk menjadi brand pendengar yang baik. Setelah itu, selama kita menjalankan pembangunan brand sesuai strategi yang telah kita susun, kita harus membangun disiplin mendengarkan melalui media sosial. Digital listening tool yang kami gunakan, Awesometric, memberikan kami berbagai data yang hampir real time online mengenai siapa saja yang menyebut brand kita dengan baik, buruk, mengeluh, memuji, membandingkan, dimana saja mereka berada (lokasi geografis), jam berapa, nama mereka, berapa follower mereka, dan topik-topik apa saja yang sering dibahas terkait dengan brand kami.

Untuk beberapa klien kami bahkan membuatkan monitoring room untuk memantau berbagai diskusi di media sosial yang terkait brand mereka, industri mereka, dan konsumen/pubik mereka. Dari berbagai informasi itu kami dapat dengan cepat menyesuaikan kegiatan komunikasi kami, berinteraksi langsung dengan konsumen/publik, menjawab pertanyaan dan mengatasi berbagai keluhan secara cepat. Dari sana pula kami dapat memberikan berbagai rekomendasi perbaikan bagi pertumbuhan brand selanjutnya.

Nah.. tunggu apa lagi? Marilah kita membangun disiplin menjadi brand pendengar yang baik. Inilah jalan menuju kepemimpinan pasar secara cepat, efisien dan efektif.

Indira Abidin

Fortune