

Ketika biaya listrik naik, lalu UMR naik, para pebisnis sudah ribut membicarakan tidak masuk akalnya biaya operasional akibat kenaikan UMR. Ketika daging sapi menjadi makin mahal, pada pedagang bakso dan restoran juga menjerit. Menjelang kenaikan harga BBM, tiba-tiba LPG secara bergiliran menjadi langka di beberapa daerah sehingga harganya melejit naik. Semuanya membikin resah para pengusaha.
Ketika biaya-biaya naik, tidak semua bisnis bisa menaikkan harga. Penyesuaian harga jual biasanya hanya dilakukan ketika para pebisnis merasa peningkatan biaya telah melebihi level toleransi fluktuasi yang sudah diperhitungkan.
Mengubah-ubah harga jual bukan pekerjaan yang nyaman bagi pebisnis, apalagi bagi pelanggan. Mungkin pengecualian dapat diberikan pada bisnis SPBU yang dipengaruhi kurs dolar Amerika, atau harga emas dan komoditas lainnya yang dipengaruhi harga dunia, plus kurs dolar pula.
Faktor Volume Penjualan
Laba bersih suatu usaha sangat ditentukan oleh volume penjualannya. Misal bisnis laundry kiloan memiliki target penjualan 100 kg per hari. Ketika bisnis ini sudah meraih angka 120 kg sehari atau 150 kg sehari, maka kenaikan biaya-biaya tersebut mungkin masih dapat ditanggung tanpa harus meningkatkan harga jual perkilo-nya. Sebaliknya, bila kinerjanya hanya pas-pasan mencapai target 100 kg, apalagi kalau mengalami kesulitan mencapai target sehingga misalnya cuma mengukir kinerja 60 kg hingga 80 kg saja per hari, maka kenaikan biaya-biaya itu pasti jadi beban yang secara signifikan mempengaruhi laba usahanya.
Faktor Subsidi Silang
Dalam kasus melonjaknya harga daging, bagi pebisnis restoran yang memiliki menu beragam, dan memiliki margin yang cukup untuk subsidi silang, maka menjaga kepuasan pelanggan dengan membiarkan harga jualnya tetap seperti biasa, tanpa mengurangi porsi dagingnya, adalah kebijakan yang cukup sering dijumpai. Penyesuaian harga akan dilakukan ketika harga terlihat tidak bisa turun lagi dari level tertentu yang memaksa penyesuaian harga,
Kesimpulannya, lonjakan yang diantisipasi sebagai lonjakan sesaat tidak boleh ditanggapi terlalu reaktif dengan menaikkan harga.
Mundurnya Balik Modal
Mempertahankan harga jual akan mengakibatkan tergerusnya laba, yang akhirnya memiliki konsekuensi mundurnya jangka waktu balik modal bagi investor atau terwaralaba, terutama terwaralaba yang baru hendak bergabung. Para pewaralaba harus menghitung ulang simulasi keuangan mereka.
Ketika harga sewa ruko di suatu kawasan perumahan naik dari Rp 80 juta menjadi 130 juta setahun, maka seorang pebisnis harus mengambil keputusan terbaiknya, melanjutkan sewa atau pindah lokasi. Seorang pebisnis yang sudah menjalankan bisnisnya selama 3 tahun di sana berkonsultasi dengan saya. Setelah melakukan simulasi keuangan dari bisnis yang ia jalankan, ditemukan bahwa perbedaan penjualan Rp 100 ribu sehari mengakibatkan selisih laba bersih sebesar 4 juta sebulan.
Artinya, seandainya mencapai target maka ia bisa menikmati keuntungan bersih Rp 12 juta, tapi ketika penjualan rata-rata perharinya tidak mencapai target, dan selisihnya dari target hanya Rp 100 ribu sehari, maka laba bersihnya menjadi Rp 8 juta saja. Bila modal awal usaha itu Rp 240 juta, maka selisih Rp 4 juta itu memiliki makna balik modal akan mundur dari 20 bulan menjadi 30 bulan.
Hitung dan Pahami Bisnis Anda
Kemampuan menghitung dan memahami bisnis anda dengan baik merupakan kebutuhan mutlak, terutama di tengah gejolak biaya yang dihadapi saat ini. Kembali kepada contoh pebisnis di kawasan perumahan tersebut di atas; setelah mengetahui target angka penjualan tersebut, lalu melihat pada kinerja penjualan yang sudah ia capai, maka ternyata angka target ini bagi dia masih sangat masuk akal untuk dicapai dan dipertahankan, atau bahkan ditingkatkan lagi. Jadi, ia melanjutkan kontrak di ruko yang harga sewanya naik lebih dari 50% itu.
Perhatikan bahwa ungkapan balik modal 20 bulan itu berada pada biaya-biaya yang sudah mengalami kenaikan. Artinya, kalau masih dalam situasi biaya-biaya belum naik, balik modal dia sebenarnya bisa lebih cepat dari 20 bulan. Hal ini dikarenakan kinerja bisnisnya memang sudah berada pada angka 30% di atas target mula-mula ketika ia memulai bisnisnya.
Bagi pebisnis sejenis yang baru mau masuk, tentu biaya sewa setinggi itu merupakan kendala besar. Rasanya hampir mustahil bagi pemain baru untuk memiliki tingkat keyakinan dapat mencapai penjualan yang berhasil dicapai pebisnis yang sudah merintis 3 tahun lebih awal itu. Itulah keuntungan bagi pebisnis yang lebih dulu memulai bisnisnya.
Utomo Njoto
Senior Franchise Consultant dari FT Consulting
Website: www.consultft.com
Email : utomo@consultft.com