

Di dalam bisnis waralaba, sudah menjadi anggapan umum bahwa franchisee adalah pihak pemilik modal yang nggak usah susah-susah putar otak untuk menjalankan bisnisnya. Karena yang punya modal, ia cukup ongkang-ongkang kaki menunggu sales, ROI, dan dan tentu saja profit datang menghampiri kantongnya. Untuk yang repot-repot, apakah itu menyangkut operasi, standard operating procedure (SOP), pemasaran, customer service, biar si franchisor yang mengurusi. Karena kenyataan ini, banyak para franchisee adalah partner pasif yang pengetahuan dan pengalamannya nol besar mengenai bisnis waralaba yang dijalaninya. Pokoknya punya duit, semuanya beres.
Tapi apakah benar memang begitu? Absolutly not!!! Harusnya nggak seperti itu. Saya punya konsep pembagian peran antara franchisor dan franchisee dalam pengelolaan sebuah bisnis waralaba. Saya berpendapat, harusnya si franchisor mampu dengan cantik memainkan peran sebagai ”master of branding”, sementara si franchisee berperan sebagai ”master of customer”. Apa ini maksudnya?
Seperti halnya master kungfu, si franchisor harusnya menjadi ”master” yang piawai memainkan jurus-jurus, bukannya jurus-jurus kungfu, tapi jurus-jurus membangun merek (building brand). Sebagai master, franchisor haruslah menjadi ”brand builder” dan ”brand developer”. Bagaimana cara si franchisor membangun merek? Macam-macam caranya. Mc Donalds misalnya, membangun merek dengan menstandarisasi layanannya di seluruh dunia dengan konsep ”service-value-cleanliness”; membangun identitas merek yang kokoh dengan simbol golden arch-nya; inovasi produk yang melokal; membangun kedekatan dengan anak-anak dan keluarga; dan sebagainya.
Rule of thumb-nya seperti ini: semakin si franchisor piawai membangun merek, maka semakin gampang si franchisee mengerek penjualan. Jadi melalui branding fungsi si franchisor ini dalah melakukan apa yang saya sebut ”pull marketing”. Apa itu? Upaya untuk ”menarik” pelanggan melalui beragam bentuk upaya marketing seperti promosi dan iklan, inovasi produk, customer service, loyalty rogram, public relation (PR) dan corporate social responsibility (CSR), mengembangkan identitas merek, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan si franchisee sebagai master of customer? Saya sebut master of customer, karena si franchisee harusnya menjadi pihak yang paling mengerti pelanggan dan pasar. Si franchisee bersama jajarannya inilah yang setiap hari berhubungan dengan pelanggan, sehingga harusnya merekalah seharusnya yang paling mengetahui karakteristik pasar dan perilaku pelanggan. Mereka seharusnya menjadi “mata-telinga” bagi si franchisor untuk memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Kalau di depan saya katakana bahwa si franchisor menjalankan pull marketing, maka berbekal pengetahuan terhadap pelanggan, di sini franchisee lebih cocok menjalankan “push marketing”. Apa lagi ini? Yaitu upaya untuk mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian melalui personal relationship dan personal selling. Alangkah indahnya jika berbekal kedekatan dengan pelanggan, si francisee kemudian mampu membentuk komunitas pelanggan (customer community). Dengan komunitas ini aktivitas jualan menjadi begitu efektif karena pelanggan merasa mereka adalah satu keluarga.
Beberapa minggu lalu saya kebetulan memberikan training kepada para marketer Alfamart, peritel yang konsep waralabanya cukup sukses. Di situ saya bilang, franchisee bersama timnya di toko harusnya tahu betul pelanggan loyalnya di sekitar toko tempat Alfamart berada, katakan keluarga-keluarga dalam radius 200 meter. Franchisee beserta timnya harusnya tahu betul pola belanja keluarga-keluarga tersebut; kebutuhan rumah tangga tiap bulan, program promo yang mereka sukai; bahkan kalau bisa hafal satu persatu nama pelanggan, kesukaan, informasi pelanggan penting lainnya. Berdasarkan pemahaman terhadap pelanggan tersebut si franchisee betul-betul menjadi mitra dalam hal memberikan masukan-masukan bagi franchisor dalam menyusun program pemasaran yang pas dan customized bagi pelanggan.
Kalau pembagian peran ini berlangsung, dan dengan memainkan perannya masing-masing si franchisor dan franchisee bisa saling bersinergi, maka pasti kita akan menyaksikan betapa indahnya dunia perwaralabaan di Indonesia. Inilah yang saya sebut kemitraan strategis (strategic partnering) antara franchisor dan franchisee. Keduanya aktif, saling mengisi, saling memberi, saling sinergi, dan saling trust, tidak saling curiga, tidak saling mencerca.
Kalau sudah demikian halnya, maka sesungguhnya keintiman antara franchisor dan franchisee tak ubahnya keintiman suami-istri. Keduanya berbeda, keduanya mamainkan peran yang berbeda, tapi memiliki satu kepentingan dan satu visi. Apa itu? Ada dua hal: pertama, memuaskan pelanggan. Kedua, kalau pelanggan puas, maka ini akan mengantarkan keduanya untuk value creation.***
Yuswohady
Managing Partner Inventure