Jangan Underestimate Pada Franchise Lokal

Apa yang berbau Indonesia, jika dibandingkan dengan asing sepertinya selalu kalah. Produk asing, selalu dianggap lebih unggul dibandingkan produk lokal. Waralaba asing pun seperti itu, ada anggapan kuat bahwa waralaba asing jauh lebih top dan hebat dibandingkan waralaba lokal. 

Trend asing sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Benarkah waralaba lokal tidak lebih baik dari waralaba asing? 

Padangan bahwa merek waralaba lokal tidak lebih baik daripada merek waralaba asing belum tentu benar, tetapi juga belum tentu salah. Dalam beberapa fakta, harus diakui, waralaba asing jauh lebih kuat, konsep bisnisnya lebih baik dan pengalaman serta reputasinya juga jauh lebih hebat. 

Tetapi, kata Utomo Njoto, tidak perlu underestimate terhadap waralaba lokal. Selama ini, banyak kalangan yang melihat waralaba lokal atau waralaba asli Indonesia itu hanya sebatas pada level UKM. Dan sayangnya, dari para pelaku itu ada juga yang menjadi petualang, artinya, bermain dengan sistem waralaba tetapi sesungguhnya bukan waralaba. 

“Jangan hanya melihat pada yang level UKM dan petualang. Coba lihat yang serius mengembangkan waralabanya. Lihat pula yang belum waralaba, tapi memiliki jaringan gerai yang kinerjanya cukup baik, seperti Hokben, Bakmi GM,” kata Utomo Njoto.

Pengamat franchise dari FT Consulting itu ingin memperlihatkan ada sisi yang sangat baik dan positif dari pebisnis lokal. Mereka itu adalah pelaku usaha yang memiliki reputasi baik, dan bisnisnya juga berjalan sangat baik. Utomo ingin menunjukkan bahwa Indonesia sebetulnya memiliki pebisnis handal yang bisa bersaing dengan merek-merek asing. 

Dan Utomo pun mengingatkan, jika beberapa merek asing dalam beberapa tahun terakhir ini membombardir pasar Indonesia, itu bukan otomatis mereka lebih unggul. Waktu akan membuktikan apakah mereka betul-betul bisnis yang kuat dan memiliki sistem yang baik seperti pendahulunya, atau hanya sekadar coba-coba. “Kita tunggu lima tahun lagi baru terjawab pertanyaan ini. Seberapa baik kinerja waralaba asing yang mulai menyerbu kembali dalam dua tahun terakhir ini,” katanya.

Menurut Utomo, bisnis franchise tidak tergantung negara asal, melainkan tergantung konsep bisnisnya, dan perhitungan matang terkait proyeksi kinerja bisnisnya. 

Namun Utomo Njoto harus mengakui, merek-merek asing yang sudah berpengalaman di negaranya, mereka akan lebih unggul di pasar Indonesia. Tapi, dia meyakini, secara umum, kekuatan modal penerima waralaba yang berperan besar. Seperti apa pandangan Utomo Njoto terhadap dominasi waralaba asing di Indonesia, dan perkembangan waralaba lokal. Berikut wawancaranya beberapa waktu lalu dengan Zaziri dari Majalah Franchise. Petikannya:

Bagaimana Anda melihat dominasi waralaba asing di Indonesia? Apakah ini memberikan dampak positif bagi Indonesia?

Ini tergantung perspektif kita. Akan menjadi negatif kalau kita dihantui kekuatiran “penjajahan ekonomi”. Akan menjadi positif kalau kita melihat bahwa putra-putri Indonesia justru bisa “menimba ilmu” di dalam organisasi mereka nanti.

Anda tidak khawatir?

Saya pribadi hanya khwatir investor kita yang tidak memahami konsep pengelolaan keuangan, tidak menghitung resiko, tidak membaca perjanjian dengan detail. 

Mengapa demikian? Karena ini bisa berakibat menguapnya sejumlah dana ke negara lain (karena merugi) tanpa memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi negara kita. Karena kadang biaya-biaya waralaba, terutama biaya waralaba dan biaya royalti “tidak fair”, dan memang harus dikaji ulang di tiap negara.

Mengapa waralaba lokal lebih sedikit dibandingkan waralaba asing?

Waralaba lokal kita lemah di Komitmen Jangka Panjang, banyak yang bertujuan meraup uang di muka sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya. 

Hal kedua, mereka lemah di Kompetensi, alias tim manajemen dan SDM mereka pas-pasan. Mereka tidak serius berinvestasi di Human Capital. Mereka juga kurang serius membenahi atau berinvestasi pada “perbaikan sistem bisnisnya dari waktu ke waktu”. Mengapa? Sekali lagi karena mereka berorientasi pada keuntungan jangka pendek. 

Hal ketiga, beberapa di antara mereka bermasalah dalam hal reputasi. Karena terburu-buru mewaralabakan (termasuk yang menggunakan istilan non-waralaba seperti kemitraan atau BO), maka beberapa kegagalan dan sikap “tidak fair” mereka merusak reputasi mereka sendiri. Padahal beberapa dari mereka mungkin sangat talented di bidang tertentu (misal branding, marketing). Mereka butuh tim yang melengkapi di bidang keuangan dan operasional bisnisnya.

Apa yang mengakibatkan waralaba asing mendominasi dibanding waralaba lokal?

Saya kira lebih pada faktor “kekuatan ekonomi’ saja. Yang bisa memperoleh hak waralaba asing itu umumnya kan pihak-pihak yang super-kaya. 

Di sisi lain, beberapa waralaba asing memang sudah beroperasi cukup lama di negara asalnya. Jadi dari segi pengalaman dan sistem bisnisnya, mereka relatif lebih mumpuni. 

Bagaimana meningkatkan jumlah dan pertumbuhan waralaba lokal?

Banyak merek yang sudah mapan, tapi tidak bersedia diwaralabakan tapi tidak kalah dengan waralaba asing. Mereka bisa didorong untuk waralaba, mungkin untuk go international

Kalau yang UKM, perlu sinergi dengan pemodal yang tulus, yang turut membantu dari sisi manajemen. Tentu saja UKM ini harus memiliki keunikan yang khas.

Siapa yang paling bertanggung jawab untuk mendorong pertumbuhan waralaba lokal?

Yang pasti bukan pihak asing yang bertanggungjawab. Regulasi waralaba sekarang terlihat justru menyurutkan minat pemain besar untuk masuk ke dalam waralaba. Alih-alih mempermudah dan mendorong merek yang sudah mapan di negeri sendiri, regulasi waralaba malah over-regulated, dan tidak wajar dalam pandangan saya. 

Peran pemerintah harusnya bagaimana?

Pemerintah kurang mendengarkan para praktisi. Sudah saatnya pemerintah membuka kembali jalur komunikasinya, mendengarkan keluhan dan alasan pengusaha yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mewaralabakan bisnisnya tapi menghindari waralaba itu. 

Merek waralaba lokal, jangankan ekspansi bersaing di negara sendiri saja nampaknya masih kalah. Pendapat Anda?

Nggak lah. Jangan hanya melihat pada yang level UKM dan petualang. Coba lihat yang serius mengembangkan waralabanya. Lihat pula yang belum waralaba, tapi memiliki jaringan gerai yang kinerjanya cukup baik, seperti Hokben, Bakmi GM, Warung Tekko.

Apakah menurut Anda, waralaba asing lebih mendapat tempat di pasar Indonesia? 

Kita tunggu lima tahun lagi baru terjawab pertanyaan ini. Seberapa baik kinerja waralaba asing yang mulai menyerbu kembali dalam dua tahun terakhir ini. Merek mapan seperti KFC dan McD mungkin mendapat pasar. Tapi kita tidak pernah tahu fairness dari sisi kinerja keuangannya. Menarikkah laba bisnis ini bagi Penerima Waralabanya?

Merek asing kalau masuk ke suatu negara biasanya serius melakukan survey, pengumpulan data, dan profesional. Jadi yang berhasil biasanya yang memang profesional.

Yang asal-asalan saya kira banyak juga yang tumbang.

Negara mana saja yang waralabanya sangat kuat dan lebih menjanjikan sukses di Indonesia?

Menurut saya tidak tergantung negara, melainkan tergantung konsep bisnisnya, dan perhitungan matang terkait proyeksi kinerja bisnisnya.

Apa keunggulan merek-merek waralaba asing yang baru masuk ke Indonesia?

Kalau memang mereka sudah berpengalaman di negaranya, tentu saja sistem dan pengalaman mereka yang membuat mereka lebih unggul. 

Secara umum saya cukup yakin, kekuatan modal Penerima Waralaba yang berperan besar. 

Bagaimana melihat potensi waralaba asing bisa berkembang dan mendapatkan pasar di Indonesia?

Pada akhirnya ukuran kue (pasar), daya beli masyarakat, kekuatan permodalan, reputasi dan kompetensi manajemen dalam menghadapi persaingan memperebutkan kue itu akan menentukan keberhasilan setiap pebisnis, waralaba maupun non-waralaba, merek lokal maupun asing.