Service Excellence; Tidak Cukup Hanya Andalkan Diferensiasi dan Inovasi

Diferensiasi dan inovasi menjadi keniscayaan untuk mendapatkan perhatian konsumen. Tetapi, tanpa service excellence persaingan akan mudah dikalahkan. 

Levina Yulianti sering menghabiskan waktu di sebuah café, baik untuk menyelesaikan pekerjaannya, maupun meeting dengan kliennya, atau untuk sekadar nongkrong dengan kawan-kawannya.

Hampir semua café yang menawarkan kenyamanan untuk keperluannya itu pernah dia coba. Dan suatu ketika, dia melihat ada promosi dari sebuah café buy one get one dengan menggunakan kartu kredit. “Lumayan bisa lebih hemat,” pikir Chief Operations Markplus yang saat itu sedang berdua dengan sahabatnya dan ingin menghabiskan waktu luang untuk mengobrol.

Ketika membuka dompet, kartu kredit yang dicarinya tidak ada. Dia lupa meninggalkan kartu kreditnya di rumah. 

Terpaksa Levina harus mengeluarkan uang cash ekstra karena tidak bisa membayar dengan kartu kreditnya. Rupanya, pelayan café tahu problem yang dihadapi oleh Levina. 

Sambal tersenyum ramah, pelayan itu bertanya dengan sopan, “oh, Mbak punya kartu kredit ini ya.” 

“Ya, sayangnya teringgal di rumah,” jawab Levina yang sudah menyodorkan uang cash untuk membayar semua menu yang dibelinya.

“GPP kok, mbak, tetap saya kasih gratisnya, mbak membayar tunai saja,” timpal pelayan itu sambal tetap tersenyum.

Pelayan itu nampaknya mengerti, salah satu motif Levina masuk ke cafenya itu karena promo beli satu gratis satu. Dan indikasinya bisa dia lihat dari ketika Levina membuka dompet mencari-cari kartu kreditnya.

Menurut pengamat pemasaran dari MarkPlus itu, apa yang dilakukan oleh pelayan café itu telah menyentuh perasaan customer. “Ini tentunya tidak sesuai SOP, tapi menurut saya ini sangat personal karena saya dipercaya, walau tanpa kartu kredit saya diberikan fasilitas yang seharusnya saya dapat,” kata Levina.

Dan sejak saat itu, kata Levina, saya selalu berupaya mencari gerai kopi tersebut kapanpun saya ingin mengkonsumsi kopi. “Bukan karena rasa kopinya yang enak, tapi karena pelayanannya yang TOP,” katanya.

Levina menjelaskan, pelayanan yang diberikan oleh sebuah café berdasarkan pengalamannya itu telah menunjukkan service yang sangat prima alias service excellence. “Service yang excellence menurut saya adalah yang bisa membuat saya merasa WOW,” katanya.

Tasya Nur Intan Dewi, Direktur PT Kreasi Solusindo Akademika juga menceritakan pengalaman para customer maskapai Westjet yang mendapatkan effect wow saat melakukan perjalanan. Pada sebuah perjalanan di bulan Desember, tepatnya pada hari marry Christmas, penerbangan ini menyediakan sebuah alat komunikasi  interaktif. Dalam alat ini ada suara Santa Clause yang menyapa dan menayakan permintaan para penumpang. “ho ho ho ho Hallooo, kamu mau apa di hari christmas?

Para penumpang mengajukan permintaan. Ada yang meminta kaus kaki, HP, celana, TV LCD, dan berbagai permintaan lainnya. Ketika sampai di Negara tujuan, para penumpang mendapatkan kado yang berbeda sesuai dengan permintaan tadi melalui alat komunikasi. 

Para penumpang terkejut. Mereka tidak mengira permintaan itu dikabulkan. Rupaya, dalam masa penerbangan, pihak maskapan melakukan komunikasi secara cepat dengan tim mereka di Negara tujuan untuk menyediakan semua permintaan yang disampaikan para penumpang dalam kabin penerbangan itu. 

Aksi maskapai itu menjadi trending topic di berbagai media social. Impact-nya terhadap brand penerbangan ini sangat besar karena telah memberikan kesan WOW terhadap penumpangnya.

Menurut Tasya, service seperti greeting, sopan dan keramahan, serta penampilan awak kabin yang rapih serta safety adalah hal yang biasa yang diberikan semua maskapai. Hal ini memberikan kesan bagi semua pelanggan. 

Tetapi Westjet menjadikan service excellence-nya sebagai promosi. Dengan biaya tambahan yang dikeluarkan, penerbangan itu mendapat promosi yang sangat hebat. “Idenya yang sangat mahal,” kata Tasya.

Tini, sebut saja begitu harus marah-marah ke seorang suster dan ke front office di rumah sakit di bilangan Permata Hijau karena dua kali mendapatkan janji yang tidak sesuai jadwal yang ditetapkan rumah sakit.

Mendapatkan nomor urut pertama mengharuskan Tini datang lebih awal. Sekitar 30 menit sebelum jadwal yang dijanjikan, dia sudah datang. Tepat di jam yang dijanjikan, dokter spesialisnya belum terlihat. Menunggu 5 hingga 10 menit masih bisa ditolelir. Setelah 20 menit, Tini makin gelisah. Dia bertanya kepada suster penjaga yang sebelumnya memeriksa tensi darah. 

Tini kemudian meminta suster untuk meneleponnya. Dokter spesialis menjawab telepon, dan menyebutkan dia masih di rumah dan baru menyiapkan mobilnya untuk berangkat ke rumah sakit. 

Tini makin marah karena suster tidak tahu dimana dokter itu tinggal karena tidak bisa memperkirakan kapan dokter itu akan tiba. “Jakarta ini macet luar biasa, dan dokter belum berangkat hingga jam segini?” kata Tini dengan nada tinggi ke suster.

Rumah sakit mengembalikan uang yang sudah dibayarkan sebagai biaya administrasi awal untuk bertemu dokter. Tini semakin kesal karena harus menerima cast setelah dia membayarkan dengan kartu kreditnya.

Ini pengalaman kedua di rumah sakit yang sama. Sebelumnya, Tini mengantar anaknya ke dokter spesialis kulit. Dokter pun hampir satu jam molor dari jadwal yang dijanjikan. Tini menuliskan ketidakpuasan itu kepada customer service melalui saluran online. Pada pengalaman kedua ini, Tini memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi ke rumah sakit itu. 

“Ini dikira pasien yang butuh rumah sakit. Ini memang betul, tetapi layanan seperti ini membuat pasien hanya sebagai objek,” katanya dengan nada kesal. 

Seorang pasien yang melihat kekecewaan Tini mendekat dan akhirnya dengan nada yang agak tinggi juga meminta agar dokter memastikan datang di jam sesuai jadwal. “Payah memang rumah sakit di kita, tidak salah kalau banyak pasien lari ke luar negeri,” kata pasien itu seperti menghibur Tini.

Jahja B. Soenarjo, pengamat franchise dari DIREXION Strategy Consulting menjelaskan, dalam menghadapi persaingan, apalagi memasuki era perdagangan bebas, salah satu kunci bersaing yang jitu selain inovasi dan diferensiasi, adalah dengan pelayanan prima.

Menurutnya, service excellence atau yang kerap disebut ‘pelayanan prima’  adalah kondisi di mana pelanggan merasa sangat puas dan memiliki persepsi ‘yang terbaik’ secara total terhadap suatu produk, dan nyaris tanpa keluhan alias ‘zero-complaint’. 

Terkait Dengan service, menurut Jahja, banyak sekali ditemukan pengalaman para customer yang memuaskan dan memberikan kesan WOW. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman customer yang memberikan kesan dengan menjulurkan lidah sambil mengatakan weleh weleh terhadap sebuah layanan perusahaan.

Jahja B Soenarjo juga mengaku sering mengalami layanan yang buruk dari sebuah perusahaan.

Menurut Jahja, sebagai alat untuk bersaing, layanan prima wajib diterapkan oleh semua perusahaan di berbagai industri. “Wajib diterapkan, apapun bisnisnya,” katanya.

Di sektor jasa, kata Jahja, service excellence adalah mutlak, sperti diterapkan oleh perbankan. “Citibank adalah salah satu contoh perbankan yang sangat memperhatikan kualitas pelayanan, sama halnya bank-bank asing yang sudah berkelas dunia,” katanya. 

Namun di jasa  keuangan lain, seperti perusahaan asuransi, masih banyak yang belum menerapkan karena mereka masih mengejar ‘setoran’ dan armadanya adalah tim free-lance agents, sehingga faktor kualitas layanan sering terabaikan, karena lebih menekankan salesmanship (selling-oriented) untuk mencapai target. 

Jahja menjelaskan, di Indonesia, belum banyak perusahaan yang memiliki orientasi pada pelayanan prima. Umumnya hanya perusahaan besar yang sangat menyadari pentingnya kualitas pelayanan dalam membangun nilai, yang tidak hanya dibangun oleh faktor tangible, tetapi juga intangible

Faktor intangible, misalnya, bermain dengan emosi konsumen. Ketika customer duduk di kafe kopi yang mahal bukan hanya untuk menikmati sofa dan ruang berAC, namun juga dengan layanan yang baik. Ketika customer menjadi nasabah prioritas suatu bank, tentunya bukan karena mendapat hadiah pada saat ultah, namun karena dalam setiap interaksi dengan bank tersebut, customer diperlakukan dengan pelayanan yang sangat berbeda.

Menurut Jahja, pelayanan yang prima akan meningkatkan nilai  produk dan akhirnya membuat konsumen lebih puas. Dan bagi Jahja, layanan prima bisa diterapkan oleh semua perusahaan. Kesulitas utamanya ada pada mentalitas dan pada konsistensi dalam menerapkannya.

Burang Riyadi, pengamat franchise dari IFBM juga menjelaskan arti penting dari service excellence. Menurutnya, service excellence sebagai komunikasi kepada pelanggan atau bahkan stakeholders secara holistik. Maksudnya adalah, service excellence dalam suatu usaha adalah upaya komunikasi yang menyeluruh kepada pelanggan dan lingkungan yang berinteraksi dengan usaha tersebut untuk memberikan kesan yang terbaik terhadap usaha yang dijalankan.

Burang menggambarkan service excellence itu seperti dalam gambarannya tentang seorang konsumen sebuah restoran. Customer ini mendapatkan pelayanan yang sangat baik saat dia berbelanja. Dia disambut dengan baik oleh para crew restorannya. Suasana di restorannya dipersiapkan dengan baik, bersih, nyaman dan lengkap. 

Kemudian, makanan yang dipesannya datang dengan cepat dan sajiannya dalam kondisi yang sangat baik kualitasnya. Transaksi pun berjalan lancar dan konsumen mendapatkan nilai tambah saat diberikan diskon. 

Pelanggan diberikan ucapan terima kasih yang tulus saat meninggalkan restoran tersebut. 

Gambaran ini merupakan standar dari layanan terbaik dari sebuah resto. Namun, kata Burang, perusahaan bersikap fleksible untuk memberi perhtian lebih pada customer-nya. 

Misalnya, seperti yang disaksikan sendiri oleh Burang, setelah keluar resto dan mendapatkan keramahan dan layanan yang sangat baik, pada sebuah tengah malam, customer mendapati mobilnya mogok. 

Saat para crew restoran tersebut keluar untuk pulang kerja, mereka menjumpai pelanggannya tadi yang sedang kesulitan karena mobilnya mogok. Dengan penuh rasa empati mereka langsung membantu pelanggannya, mendorong mobilnya. “Ini adalah bentuk service excellence yang genuine,” kata Burang Riyadi.

Menurut Burang, dalam praktiknya,  Saat ini hampir seluruh perusahaan skala menengah dan ke atas menerapkan service excellence pada usahanya. Terutama sekali perusahaan-perusahaan jasa yang melakukan kontak langsung dengan para pelanggannya. Sebut saja, kata Burang, jasa Spa seperti Mustika Ratu dan Martha Tilaar, atau perusahaan-perusahaan sejenis yang sebenarnya mereka memang bersaing dalam memberikan pelayanan. 

Bahkan industri lain, kata Burang seperti Bengkel, Salon, Restoran, dan bahkan ritel consumer goods juga berlomba saat ini menerapkan service excellence.

Dan menurut Burang, tidak sulit untuk menandai sebuah perusahaan menerapkan service excellence. Yaitu, jika suatu usaha melakukan program komunikasi kepada para pelanggannya secara intensif, maka sebenarnya perusahaan tersebut telah melakukan program service excellence. “Tetapi kadang kala sistematika melakukan program service excellence tidak dilakukan dengan sistematika yang berstandar global,” katanya.

Ditambahkan oleh Burang, pengaruh atau dampak service excellent terhadap bisnis perusahaan sangat kuat. Menurutnya, service yang prima akan membuat pelanggan menempatkan produk atau jasa layanan yang diterima pada pilihan utama saat mereka berbelanja. Reaksi pertama dari pelanggan adalah melakukan belanja lebih banyak. Pelanggan kemudian akan memberikan kesan positif serta merekomendasikan produk atau jasa yang sudah pernah dia beli kepada lebih banyak orang. 

“Saya juga katakan bahwa service excellent bukan hanya ditujukan kepada pelanggan, tetapi juga ditujukan kepada seluruh stake holder. Service excellence perlu ditujukan juga kepada teman sejawat, penduduk sekitar, para suplier, dan lainnya. Dengan demikian seluruh pihak yang terkait dapat menjiwai bisnis tersebut,” katanya.

Namun Burang mengingatkan, service excellence sebaiknya berorientasi kepada pelanggan. “Tidak hanyasekedar menjalankan apa yang menjadi kepentingan perusahaan. Filosofinya adalah, semakin pelanggan puas maka usaha juga akan semakin menguntungkan,” katanya.

Djoko Kurniawan, Senior Consultant of Business, Franchise & Service Quality mengakui, service excellent merupakan layanan yangmampu memenuhi ekspektasi customer dan jika mungkin melampaui harapan customer. “Setiap customer yang datang pasti mempunyai harapan. Untuk itu sebagai pemberi layanan yang baik, Anda harus mampu membaca dan menganalisa keinginan mereka,” katanya.

Akan tetapi, Djoko menyayangkan, masih banyak perusahaan yang belum menyadari bahwa service adalah kunci sukses sebuah perusahaan. “Mereka masih mengandalkan marketing dan melupakan service. Padahal marketing & service adalah senjata ampuh yang tidak bisa dipisahkan,” katanya.

Dia menjelaskan, marketing punya tugas untuk mendatangkan customer dan service berperan untuk mendorong terjadinya transaksi melalui pelayanan yang luar biasa. 

“Tetapi walaupun belum banyak (yang menyadari), yang sudah melakukannya terlihat sangat serius. Ini bisa dilihat dari struktur organisasi perusahaan yang mulai memasukkan jabatan-jabatan penting untuk pelayanan customer,” katanya.

Djoko pun mengingatkan, service excellence akan mampu membuat sebuah bisnis tetap eksis dan mampu bertahan di tengah persaingan yang demikian ketat. “Customer akan mau bersama dengan Anda jika mereka dilayani dengan prima. Dengan memberikan pelayanan yang prima berarti perusahaan sudah berhasil ‘merebut hati customer’ dan berarti telah memenangkan persaingan dari competitor,” katanya. 

Customer yang dilayani dengan baik, kata Djoko, ujung-ujungnya akan menjadi loyal dan bisa menjadi advocator atau orang yang akan bercerita tentang kebaikan sebuah brand dan mendorong orang lain untuk menjadi customer.

Karena itu menurut Djoko, semua perusahaan harus menerapkan service excellence agar dapat bertahan hidup. “Era modern sekarang ini tidak lagi tentang produk yang bagus saja. Produk yang bagus memang sebuah keharusan dan service excellence menjadi nilai tambah sebuah produk,” pungkasnya.

Rofian Akbar