Sub-Franchisor. Apa Bedanya dengan Master Franchisee?

Sub-Franchisor. Apa Bedanya dengan Master Franchisee?

Istilah sub-franchisor ini digunakan oleh Andrew J. Sherman dalam buku “Franchising & Licensing” untuk membedakan antara Pemberi Waralaba dengan Pemberi Waralaba Lanjutan. Dalam praktek kita menemukan istilah Master Franchisee yang ternyata tidak melakukan sub-franchising. Jadi, Master Franchisee yang melakukan sub-franchising inilah yang disebut sebagai sub-franchisor.

Hal apa saja yang harus dicermati para investor yang hendak menjadi “Master Franchisee yang berhak melakukan sub-franchising”?

Temukan pewaralaba yang tepat

Menemukan pewaralaba yang tepat memiliki makna yang sangat luas. Mulai dari konsep bisnisnya sudah teruji, tetap menguntungkan walau margin keuntungan dibagi untuk tiga pihak (franchisor, sub-franchisor, sub-franchisee), hingga sistem support dan pelatihannya mumpuni.

Sebagus apapun bisnis tersebut, sekalipun pewaralaba memiliki sistem support yang baik, dalam hal sub-franchising dibutuhkan pemberdayaan sub-franchisor untuk melakukan sistem support atau peran yang dibutuhkan sebagai sub-franchisor.

Baca Juga: Master Franchise Atau Monopoli?

Korban sudah berjatuhan

Beberapa waralaba asing saya tengarai telah memakan korban karena melakukan sub-franchising tanpa perhitungan yang cermat terkait margin keuntungan yang harus dibagi-bagi kepada tiga pihak tersebut. Tentu saja yang menjadi korban utama adalah di level gerai (pewaralaba utama atau Master Franchisee mungkin juga jadi korban karena biaya yang besar untuk mendapatkan hak sub-franchising itu).

Bagaimana dengan waralaba dalam negeri? Sama saja. Investor level gerai menjadi korban. Ketidakpahaman pewaralaba dalam negeri mengenai sub-franchising bahkan sering dimanfaatkan para “pedagang waralaba” yang membeli hak teritorial dengan uang panjar tertentu serta iming-iming jumlah franchise fee yang besar (ratusan juta). Sering terjadi, pedagang waralaba ini memiliki kepatuhan yang sangat rendah pada standar sistem, karena fokus mereka pada keuntungan menjual waralaba sebanyak-banyaknya di wilayahnya, sehingga sistem support seolah dikembalikan dan membebani pewaralaba yang makin frustrasi karena tidak tercapainya standarisasi yang diharapkan (apakah anda salah satu korban kasus ini?).

Sub-franchising yang benar

Sub-franchising merupakan strategi untuk meng-akselerasi kecepatan penambahan gerai. Meski demikian, persiapannya harus cermat. Biaya-biaya waralaba harus dapat dibagi dengan tiga pihak; kalau sampai 2x sub-franchising berarti 4 pihak.

Mungkin pembaca bertanya-tanya, apa iya ada yang sub-franchising hingga 2x? Saya pernah mendengar ada waralaba asing menggunakan Master Franchise (level negara), Regional (propinsi), Area (kotamadya atau kabupaten), lalu Operator (outlet). Menguntungkan kah? TIDAK!! Sekarang sudah tidak terdengar lagi merek itu.

Pernah pula saya mendampingi investor yang hendak membeli waralaba dari Singapura. Ketika saya pelajari perjanjian waralabanya, sebagai sub-franchisor dia diwajibkan oleh pewaralaba untuk mengunjungi gerai sub-franchisee minimal 1x setiap 2 minggu. Saya bertanya, “Tahukah anda berapa biaya kunjungan ini nanti? Siapapun yang menanggungnya, sub-franchisor atau sub-franchisee, terutama kalau luar pulau, tentu akan sangat membebani kinerja bisnisnya. Indonesia bukan Singapura yang ke mana-mana mudah ditempuh dan relatif murah.”

Bila anda tidak jeli membaca perjanjian, hal kecil ini bisa menjadi sandungan. Kalau bisnis ini sensitif dalam hal kualitas layanan, dan benar-benar membutuhkan kunjungan sesering itu, tentu bukan kompromi frekuensi kunjungan yang diharapkan. Biaya-biaya waralaba yang harus disesuaikan, supaya kunjungan itu tetap bisa dilaksanakan tanpa mencederai kinerja dari investasi sesuai harapan sub-franchisor dan sub-franchisee.

Hal penting lainnya adalah, anda harus siap membangun dan mengelola tim manajemen untuk melakukan pengawasan standar kualitas, serta memberikan dukungan konsultasi manajemen dan operasional bisnis kepada jaringan sub-franchisee anda nantinya. Sub-franchisor bukan sekedar jualan sub-franchising.

Keserakahan

Akhirnya saya harus sampaikan sekali lagi, keserakahan adalah musuh utama dalam waralaba. Biaya-biaya waralaba harus didukung oleh kinerja historis bisnis yang sudah berjalan. Menginginkan biaya-biaya waralaba yang tinggi sah-sah saja, asalkan dapat dibuktikan bahwa kinerjanya tetap win-win bagi semua pihak yang terlibat. Akselerasi penambahan jumlah gerai sah-sah saja, asalkan dihitung dengan cermat dan menguntungkan bagi semua pihak.

Banyak pewaralaba yang berkeinginan memperoleh biaya-biaya waralaba yang tinggi, tanpa peduli kemampuan dan kinerja yang riil di lapangan. Bahkan waralaba diperlakukan seperti barang dagangan, makin banyak peminat, makin tinggi nilainya. Ironisnya, perilaku masyarakat kita, crowd follows crowd (kerumunan mengundang kerumunan), makin menunjang praktek ini.

Regulasi waralaba

Sesuai dengan regulasi waralaba yang berlaku di Indonesia saat ini, perlu diperhatikan bahwa pewaralaba utama tidak diperkenankan menawarkan sub-franchising sebelum memasuki tahun ketiga, karena harus mengajukan prospektus penawaran sub-franchising yang harus dilengkapi dengan laporan keuangan 2 tahun terakhir. Prospektus ini persyaratan mutlak untuk pengajuan pengurusan STPW sebagai sub-franchisor. Entah kalau ada tafsir yang berbeda dari persyaratan tersebut.

Ini berarti proyeksi keuangan harus disesuaikan, kalau dari pihak pewaralaba asing memiliki proyeksi seolah-olah mulai tahun kedua atau tahun pertama sudah ada sub-franchisee. Ketidakpedulian pada proyeksi keuangan sangat berbahaya bagi arus kas bisnis anda nanti (mungkin anjuran kecermatan ini tidak terlalu penting bagi anda yang super-tajir).

Semoga tulisan ini memberi inspirasi yang bermanfaat bagi anda, terutama di tengah penawaran waralaba asing yang makin gencar. Tercatat saat ini beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Thailand secara aktif melakukan penawaran waralaba melalu perwakilan dagang resmi negaranya, atau asosisasi dan lembaga swasta seperti broker waralaba. Semboyan ini tetap berlaku: “teliti sebelum membeli”.

Sukses selalu !!!

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com