Master Franchise Atau Monopoli?

master franchise atau monopoli majalah franchise

Di dunia franchise kita mengenal istilah master franchise. Master franchise adalah Penerima Hak ekslusive dari franchisor untuk mengembangkan merek usahanya dalam satu negara. Selain menjadi kepanjangan tangan franchisor, master franchise juga lazimnya bekerja sama dengan pihak ketiga di suatu negara. Dengan kata lain, dia membuka peluang atau men-sub-franchise-kan bisnisnya kepada calon franchisee di negaranya.

Dengan demikian, bisnis yang master franchise pegang statusnya tetap menjadi franchise, karena dia tidak memonopoli franchise tersebut. Begitulah bisnis yang dikembangkan master franchise seharusnya. Maka tidak heran jika merek franchise seperti McD, KFC, Starbucks di negara-negara lain tidak hanya dimiliki master franchisenya saja, tetapi juga dimiliki franchisee. KFC dan McD di Malaysia misalnya, Master franchisenya membuka peluang usaha bagi masyarakat yang ingin menjadi franchiseenya.

Saya kira begitulah seharusnya master franchise. Tugas dia tidak hanya menjadi pengelola jaringan franchisenya sendiri saja, tapi juga membangun jaringan franchise bersama masyarakat di negaranya. Sebagaimana franchisor, master franchise juga memberikan support dan pendampingan kepada para franchisee. Dia juga berhak mengambil royalty dari para franchiseenya. Sehingga bisnis franchise bisa dirasakan oleh masyarakat luas dan tetap menjadi usaha kerakyatan.

Tapi nyatanya master franchise di Indonesia berbeda. Kebanyakan merek-merek franchise asing yang notabene merek besar dikelola sendiri oleh master franchisenya. Merek-merek franchise seperti McD, KFC, A&W, Pizza Hut, Starbucks, Burger King, Dunkin Donuts dll tidak menawarkan peluang franchisenya di Indonesia. Ini tentu saja terkesan menjadi bisnis yang monopoli, padahal prinsip franchise adalah demonopoli, dan memang itu keistimewaan franchise.

Saya tidak bisa menyalahkan para master franchise yang mereknya disebutkan di atas. Mungkin mereka membuat perjanjiannya dengan franchisor di negaranya seperti itu (Dipegang sendiri jaringan bisnisnya), tanpa ada kewajiban difranchisekan ke pihak ketiga. Barangkali franchisor di negaranya tidak mau pusing berurusan dengan franchisee. Dia lebih mudah berurusan dengan satu orang saja (perusahaan) yaitu master franchisenya.

Apalagi umumnya para master tersebut merupakan para konglomerat yang memiliki group bisnis. Sebut saja McD yang dipegang Grup Sosro, KFC yang dipegang Gelael Group, Starbucks yang dipegang Mitra Adiperkasa, dan lain sebagainya.

Tapi saya kira pertimbangan terakhir tersebut kurang elegan. Karena di Malaysia pun para master franchisenya adalah konglomerat. Tapi mereka mau berbagi dengan masyarakat dengan memberikan peluang bisnisnya. Di Singapura saja beberapa waktu lalu McD membuka kesempatan franchise kepada calon investor. Jadi saya kira tergantung niat Master Franchisenya. Bukan semata-mata pertimbangan franchisornya saja.

Pemerintah sebetulnya sudah membuat PP untuk membatasi pergerakan franchise asing yang tidak membuka peluang kepada pihak ketiga. Pemerintah membatasi 150-250 gerai franchise milik sendiri, selebihnya jika ingin dikembangkan maka harus membuka franchise. Namun sayang, PerMen tersebut malah disomasi di WTO karena mengadakan regulisasi yang tak bershabat dan membatasi. Padahal pemerintah membuat PP untuk menghilangkan monopoli. Pemerintah mau demonopoli, karena waralaba kan hakekatnya demonopoli.

Saya melihat ada beberapa kekhawatiran franchisor / master franchise mengapa dirinya enggan melepaskan franchisenya kepada masyarakat luas. Antara lain, takut bisnis franchisenya tidak setandar. Dengan memiliki sendiri maka dia akan lebih mudah mengontrol untuk menajaga standar. Tapi di negara negara lain kan bisa. Atau mungkin saja Indonesia dinilai terlampau  besar  daerahnya ??? Dengan demikian konsep bisnis seperti ini sudah bukan franchise lagi.

Akan tetapi, keuntungan menjadi Master Franchise yang melepas hak franchisenya ke pihak ketiga adalah bisa memperluas dan mempercepat jaringan bisnisnya tanpa modal dan tenaga SDM sendiri, sebagaimana konsep bisnis franchise yang dikenal sebagai konsep pemasaran dan strategi perluasan.

Menurut saya sasaran daripada franchise sebetulnya mengatasi masalah SDM, dana dan resiko. Maka franchisor harus berbagi, dia punya usaha harus sudah berhasil dulu. Yang salah di Indonesia itu usahanya belum jadi tapi sudah difranchisekan. Kalau franchise dari luar umumnya usahanya sudah jadi.

Menurut pengamatan saya, master franchise yang melepas franchisenya di Indonesia cukup bagus pergerakan bisnisnya. Sebut saja Bangi Kopitiam dan EF. Franchise asing ini tidak kalah dengan franchise asing dipegang group bisnis. Malah saya lihat beberapa franchise asing yang dipegang group (non subfranchise) menurun pergerakannya.

Beberapa malah banyak yang tutup. Konon kabarnya biaya sewa lokasi terlampau mahal. Mungkin kalau master franchise yang disubfranchisekan bisa saja tidak terlampau terpuruk walaupun merugi, karena biasanya lokasi, SDM dan kontrol sudah dilakukan franchisee. Masing-masing ada keuntungan dan kerugiannya. Tapi saya melihat ada sisi kemuliaan bagi master franchise yang mensubranchiskean usahanya, karena dia mau berbagi dan mengembangkan wirausaha di Indonesia.