

Dalam seminar-seminar saya bagi para calon franchisee, ada beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan oleh peserta seputar franchise. Secara umum, pertanyaan-pertanyaan dapat saya simpulkan:1) Apakah franchise atau waralaba pasti untung? 2) Apakah semua pekerjaan akan dilakukan oleh franchisor? 3) Apakah Franchise Fee akan dikembalikan kalau terus menerus merugi?
Berbeda dengan cerita di atas, saya juga sering mendengar keluh kesah para franchisor terhadap franchiseenya seperti ini:1) Franchisee kurang mau terlibat dalam operasional bisnis, 2) Franchisee tidak mau mengeluarkan biaya untuk marketing, 3) Franchisee kurang kreatif, terlalu menuntut dan minta selalu dilayani franchisor, 4) Franchisee mengeluh dan menyalahkan franchisor, 5) Franchise tidak mau membayar royalti dan biaya-biaya dukungan lain dengan alasan masih rugi.
Baca Juga : Seni Berhubungan dengan Franchisee
Merenungkan apa yang diharapkan oleh franchisee dan apa yang dirasakan franchisor, saya melihat ada ketidaksesuaian atau mismatch antara franchisor dengan franchisee. Hal-hal yang diharapkan oleh franchisee justru menjadi keluhan franchisor. Ini tentu tidak mendukung kinerja bisnis, baik bagi franchisee maupun franchisor. Saya menduga, faktor ini yang mengakibatkan tingkat kesuksesan atau successrate franchise di Indonesia masih belum maksimal.
Franchise, secara normatif menuntut kerja sama aktif dan efektif kedua pihak, franchisor dan franchisee. Masing-masing memiliki fungsi dan peran sendiri-sendiri. Apabila diperankan secara efektif dapat mendongkrak tingkat kesuksesan, baik bagi franchisor maupun franchisee. Di negara-negara maju, di mana franchise telah beroperasi cukup lama, tingkat kesuksesan dapat mencapai lebih70%,namun di Indonesia 50% mungkin sudah menggembirakan. Memang, untuk angka ini belum pernah ada survei yang dilakukan.
Mengapa masih rendah? Dikaitkan dengan usia penerapan franchise secara massal, Indonesia memang masih sangat muda. Booming franchise terjadi sekitar tahun 2003 – 2006, di mana pada periode tersebut bermunculan franchise baru dalam jumlah sangat besar. Dalam usia yang masih muda ini, tentu masih banyak hal harus dipelajari oleh franchisor maupun franchisee.
Dalam tulisan ini, saya ingin fokus membahas bagaimana sebaiknya franchisor memilih franchisee, atau disebut investigasi calon franchisee. Investigasi yang baik akan menghasilkanfranchise yang lebih sesuai dengan harapan franchisor. Dengan demikian mismatch seperti saya sampaikan dapat dihindari. Berikut kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan investigasi calon franchisee.
- Passion
Calon franchisee harus memiliki passion atau minat yang mendukung bisnis franchise yang akan dijalankan. Ketika menjalankan bisnis sesuai passion, orang akan punya dimensi luas dan lebih jeli dalam melihat permasalahan. Selain itu juga memiliki tingkat kesempurnaan dan kreativitas yang tinggi dalam proses operasional maupun hasil. Itu semuanya akan mendorong tingkat kepuasan pelanggan yang merupakan salah satu faktor keberhasilan sebuah bisnis.
- Entrepreneurship
Menjalankan bisnis franchise tidak ubahnya menjalankan bisnis sendiri. Franchisee juga adalah seorang entrepreneur yang harus mampu menjalankan bisnis dengan segala bentuk risiko yang dihadapi di dalam perjalanannya. Bagi masyarakat Indonesia, entrepreneurship juga masih dalam tahap pengembangan. Yang saya maksud, mentalitas entrepreneurhip masih tercampur dengan investasi. Franchise atau waralaba dalam penilaian masyarakat cenderung dipahami sebagai sebuah instrumen investasi, sehingga pertimbangan utamanya lebih condong pada yield atau keuntungan pasti yang akan diperoleh daripada terhadap risiko dan potensi keuntungan.
Kriteria entrepreneurhip ini penting, karena franchisee memang haruslah seorang entrepreneur yang menjalankan bisnis dengan perspektif risiko dan potensi keuntungan yang selalu harus dipertimbangkan dalam setiap Keputusan yang mereka ambil. Franchisee yang memiliki entrepreneurship tinggi akan lebih mampu mengambil keputusan dan tindakan-tindakan yang mendukung keberhasilan bisnis. Sebaliknya apabila pola pikir franchisee adalah investor, maka akan cepat panik apabila bisnis menghadapi masalah, apalagi bila tidak segera memberikan keunguntan.
- Business Knowledge
Seorang franchisee juga dituntut memiliki pengetahuan bisnis yang baik terkait bidang industri maupun prinsip-prinsip umum bagaimana sebuah bisnis dijalankan. Akan sulit seorang yang tidak punya wawasan bisnis menjalankan franchise, terutama untuk bisnis yang besar dan kompleks di mana ada banyak diferensiasi fungsi dalam organisasi bisnis tersebut.
Memang secara teknis franchise dilengkapi dengan Standard OperatingProcedure (SOP), namun bisnis bukanlah sebuah rangkaian kegiatan teknis prosedural. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan agar SOP dapat dijalankan secara konsisten dan pada akhirnya tujuan bisnis dapat dicapai. Franchisee yang tidak memiliki wawasan bisnis yang cukup akan menemui kesulitan apabila menghadapi masalah-masalah bisnis yang merupakan tarik menarik atau constraint antara budget, poeple, market, serta process.
- Local knowledge
Perjalanan sebuah usaha tidak dapat dilepaskan dari lingkungan geografis di mana bisnis tersebut beroperasi. Franchisee menjalankan outlet bisnis di sebuah lokasi tempat. Oleh karena itu franchisee juga harus mengetahui peta permasalahan di lokasinya. Franchisee yang memahami lokasi akan mudah dalam menanggapi hal-hal terkait: budaya, akses terhadap sumber daya, serta peta pasar potensial yang menjadi wilayah operasinya.
- Financial capacity
Terakhir seorang franchisee juga harus memiliki kemampuan keuangan yang cukup. Modal menjalankan bisnis bukanlah hanya sebatas fasilitas dan sarana fisik yang harus disiapkan di awal. Bukan pula sebatas dengan kegiatan-kegiatan persiapan yang dilakukan sebelum bisnis dimulai. Cadangan dana yang harus dipertimbangkan adalah untuk mengoperasikan bisnis dengan baik pada tahap-tahap awal operasi.
Secara normal, bisnis berjalan secara tumbuh, pada masa-masa awal diperlukan lebih banyak biaya untuk menumbuhkan pendapatan. Apabila tidak dibiayai secara proporsional, operasi bisnis akan tidak efektif dan akibatnya tidak mampu menumbuhkan pendapatan. Untuk itu seorang franchisee juga perlu menyisihkan dana cadangan operasional yang cukup.
Dengan menerapkan lima kriteria di atas, saya punya keyakinan franchisor akan mendapatkan orang-orang yang tepat sebagai franchisee, dan pada gilirannya akan mendorong tingkat kesuksesannya. Memang di tengah main stream masyarakat yang cenderung melihat franchise sebagai investasi, langkah tersebut terkesan sebagai melawan arus. Namun apabila arah itu yang harus ditempuh untuk mencapai keberhasilan, mengapa tidak diperjuangkan?
Bije Widjajanto
Ben WarG Consulting