Review, Review, Review … !

Sebagai pewaralaba maupun terwaralaba (maupun bisnis non-waralaba), proses REVIEW merupakan salah salah satu komponen yang sering terabaikan. 

Pewaralaba seyogyanya melakukan review dalam arti mengevaluasi kinerja bisnis terwaralabanya, lalu memberitahukan bila ada hal-hal yang kurang sesuai dengan parameter yang telah direncanakan atau yang menjadi pakem mereka, serta menyampaikan usulan langkah-langkah untuk memperbaiki kinerja tersebut.

Laporan Keuangan Bulanan

Beberapa pewaralaba tidak dapat menjalankan fungsi review ini karena para terwaralabanya tidak menyerahkan laporan keuangan bulanan. Dalam hal ini mungkin pewaralaba yang tidak meminta, atau tidak memiliki sistem seperti ini, atau terwaralaba yang enggan menyerahkan laporan ini dengan alasan pewaralaba hanya perlu laporan penjualan.

“Bukankah pewaralaba hanya perlu laporan untuk menghitung tagihan royalti? Jadi tidak perlu laporan keuangan lengkap,” demikian pendapat beberapa terwaralaba.

Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Sesungguhnya laporan keuangan ini diperlukan untuk dukungan konsultasi bisnis dalam bentuk review dan benchmarking. Sayangnya memang tidak sedikit pewaralaba yang kurang memperhatikan dan melaksanakan fungsi ini. Sering terjadi bahwa laporan keuangan terwaralaba tidak ditindaklanjuti dengan sebagaimana mestinya. Laporan ini langsung dimasukkan ke dalam rak arsip, dan diperlakukan sebagai persyaratan administratif belaka.

Benchmarking 

Selain membandingkan dengan parameter kinerja keuangan yang diharapkan tercapai, pewaralaba seharusnya melakukan benchmarking atau evaluasi dalam bentuk membandingkan kinerja antar gerai, berikut segala aspeknya. 

Benchmarking ini merupakan manfaat yang seharusnya dinikmati oleh terwaralaba yang bergabung dengan jaringan waralaba, mengingat benchmarking mustahil dilakukan bila ia menjalankan usaha sendirian dalam bentuk satu gerai. 

Melalui benchmarking, terwaralaba suatu kursus bimbingan belajar dapat mengetahui apakah biaya listriknya berlebihan ketika biaya listriknya dibandingkan dengan biaya listrik gerai lain yang jumlah muridnya kurang lebih sama. Ia pun mengetahui apa yang harus ia lakukan. Mungkin ia akan menemukan bahwa AC di gerainya dibiarkan menyala seharian walau hanya ada satu session saja yang menggunakan ruangan tersebut pada hari itu. Mungkin pula ia akan menemukan bahwa kapasitas daya listrik di ruko yang ia sewa ternyata berlebihan sehingga biaya per kwh nya menjadi lebih tinggi dari gerai lain yang lebih irit biaya listriknya.

Melalui benchmarking pernah terjadi satu pewaralaba menemukan bahwa biaya gaji (SDM) terlalu tinggi untuk nilai penjualan yang terjadi di salah satu gerai terwaralabanya. Usut punya usut, ternyata biaya lemburnya berlebihan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ditemukan bahwa lembur tersebut tidak wajar dan kepala cabang atau gerai tersebut kurang tegas dalam menerapkan prosedur pengendalian lembur. 

Efektivitas Kegiatan Promosi

“Mengharapkan hasil yang berbeda dari cara yang sama adalah suatu harapan yang sia-sia.” Meski ada argumen bahwa dalam konteks kegiatan promosi pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena beda tempat beda kebiasaan, kita tetap harus berhati-hati serta menghindari bentuk kegiatan promosi yang sudah pernah dilakukan dan hasilnya kurang efektif.

Bila kita tidak pernah mengevaluasi efektivitas bentuk kegiatan, pesan komunikasi, dan bentuk penawaran yang disampaikan, maka kita akan terjebak pada mengulangi kesalahan yang sama dan hasil yang tidak efektif akan menimpa kita berulang pula.

Salah satu manfaat bagi terwaralaba, yang seharusnya dimiliki oleh pewaralaba, adalah informasi mengenai peluang efektivitas dari beberapa bentuk kegiatan promosi yang pernah dilakukan di gerai-gerai dalam jaringan waralaba tersebut. 

Belajar dari McDonald’s

Menurut satu sumber, ketika McDonald’s tumbuh pesat jumlah gerainya, CEO dalam periode tersebut (sekitar 2000-2002) kurang memperhatikan kinerja masing-masing gerainya yang mengalami penurunan 6-20%. Bahkan ketika evaluasi berkala menunjukkan adanya penurunan kinerja dan kualitas “brand eperience”, bukannya berupaya memperbaiki kinerja dan terus mengukurnya, yang mereka lakukan justru meniadakan evaluasi tersebut. Konon alasannya adalah agar keseluruhan sistem tidak mengalami demoralisasi (ini seperti fenomena burung unta yang menyembunyikan kepalanya).

Tahun 2002 kegiatan penilaian kinerja gerai diimplementasikan kembali. Mereka melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan besar-besaran. Jajaran petinggi McD akhirnya menyadari bahwa brand mereka dipersepsi “kuno”, tidak ada “new experience” dari para pelanggan yang sudah dewasa … sehingga muncullah McCafe yang merupakan ide dari Charlie Bell. Interior yang berbeda jauh dengan standar gerai McD disertai dengan kualitas kopi yang baik merupakan salah satu langkah yang berhasil membangun “new experience” dan memperkuat brand McD. 

Review seyogyanya dilakukan sesering mungkin, misal setiap bulan. Dengan demikian penyimpangan dapat dideteksi, dan diambil tindakan yang diperlukan, sedini mungkin.

Review, review, review … bagaimana dengan Anda? Kapan terakhir kali anda sebagai terwaralaba maupun pewaralaba melakukan review atau evaluasi terhadap kinerja bisnis anda? 

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting