PENTINGKAH FRANCHISOR – FRANCHISEE RELATIONSHIP?

Satu peristiwa, pernah saya terlibat dalam sebuah perbincangan beberapa franchisor yang saling berbagi tentang bagaimana mereka mengelola hubungan dengan para franchisee-nya. Ada berbagai macam pandangan dan keyakinan yang berkembang di antara mereka. Ada yang menganggap penting, sangat penting, agak penting bahkan ada yang berkeyakinan bisa ditanggungkan. Banyak alasan logis yang mereka jadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan kebijakannya dalam mengelola franchisor – franchisee relationship. Seorang franchisor mengedepankan alasan-alasan ekonomi, yang lain menilik dari alasan praktis, dan ada pula yang memandang dari perspektif etika moral. 

Dari sudut pandang ekonomi ada yang berpendapat, terlalu besar biaya kalau harus melembagakan hubungan dengan seluruh franchisee, apa lagi kalau jumlah merekah sudah besar. Royalti yang mereka hasilkan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk hubungan tersebut. Sementara kubu praktis melihat bahwa betapa repotnya kalau semua franchisee berhubungan hanya kepada franchisor, akan terjadi lag of responds. Lebih baik langsung kepada karyawan teknis yang menanganinya, franchisor cukup mendapat laporan. Di lain pihak, yang melihat dari kacamata etika moral beranggapan bahwa apapun taruhannya, franchisor harus menjaga hubungan dengan semua franchisee. Salah satu alasan mereka membeli franchise adalah karena kepercayaannya kepada franchisor. Sebagai orang yang dipercaya, kurang etis kalau kemudian hubungan tersebut tidak dikelola dengan baik. 

Pendeknya, ada berbagai pembenaran yang dibangun untuk menunda hubungan franchisor-franchisee yang akhirnya hubungan tersebut bukan saja tertunda. Pada beberapa kasus, justru ada yang terabaikan. Dari perbincangan tersebut, dapat saya tarik benang merah yang menjadikan inti persoalan dan kesamaan pandangan dari para franchisor dalam mengelola franchisor-franchisee relationship. Dalam tulisan saya kali ini, ingin saya bagikan beberapa hal penting yang dapat digunakan untuk memahami dan mengelola hubungan tersebut. 

Dalam setiap interaksi bisnis, baik itu person-to-person, person-to-coporate ataupun corpporate-to-coporate, ada beberapa fase yang dilewati. Tidak ketinggalan dalam transaksi franchise, karena transaksi franchise pada hakikatnya merupakan pembelian hak oleh franchise kepada franchisor. Sesaat setelah terjadi transaksi, franchisor maupun franchisee dalam perasaan senang dan bangga, hubungan mereka sangat mesra, dan saling percaya di antara mereka tinggi. Franchisee sangat tergantung kepada franchisor dan karena itu kerja sama di antara mereka sangat bagus. Untuk menggambarkan situasi di mana baik franchisor maupun franchisee merasa senang ini, beberapa orang memberi nama fase ini dengan nama “Glee”. 

Waktu berjalan dan bisnis mulai beroperasi, muncullah transaksi penjualan yang menjadi sumber pemasukan franchisee. Di sisi lain, biaya-biaya mulai bermunculan, belanja bahan baku, gaji karyawan, pemasaran, biaya utilitas dll. Perhatian franchisee terkonsentrasi pada keuangan, baik pendapatan maupun pengeluaran. Pada awal-awal operasi bisnis, biasanya perlu suntikan modal kerja untuk menutup biaya operasional, karena pemasukan biasanya masih terbatas. Konsentrasi franchisee yang tercurah pada masalah keuangan ini membuat orang menyebut fase ini dengan fase “Fee”.

Konsentrasi terhadap masalah keuangan ini, lebih lanjut akan memicu franchisee berpikir untuk merancang strategi dan program-program khusus agar sesegera mungkin mencapai kondisi cash flow break-event, yaitu kondisi di mana tidak perlu lagi suntikan modal kerja lagi. Tidak jarang franchisee mengesampingkan standar yang digariskan franchisor, bahkan lebih ekstrem, strategi mereka berlawanan dengan kebijakan franchisor. Oleh karena itu franchisee cenderung tertutup terhadap franchisor. Ketika akhirnya strategi yang disusun itu membawanya keluar dari masalah keuangan, mereka merasa bahwa keberhasilan ini atas usaha mereka sendiri. Pada fase ini, franchisee merasa lepas dari franchisor, fokus mereka tertuju pada diri sendiri. Oleh karena itu fase ini disebut sebagai fase “Me”.

Perjalanan selanjutnya, setelah keluar dari tekanan finansial, franchisee menjalankan bisnisnya sendiri dan berusaha menyelesaikan persoalannya sendiri. Namun semakin lama, masalah operasional semakin banyak bermunculan, mulai masalah suplai bahan baku, administrasi, penanganan keluhan pelanggan, tenaga kerja, pengembangan pasar dll. Bisnis mereka cenderung berjalan stagnan pada level rendah karena masalah-masalah tersebut. Keadaan ini membangkitkan keinginan untuk memanfaatkan dukungan franchisor. Mereka mulai mempelajari dan melihat hak-haknya untuk mendapatkan dukungan dari franchisornya. Oleh karena itulah fase ini disebut orang sebagai fase “See”. Pada fase ini hubungan franchisor-franchisee sudah mulai ada interaksi kembali. 

Fase terakhir dari pola hubungan franchisor-franchisee ini adalah ketika franchisee memahami dan memanfaatkan secara optimal dukungan yang diberikan oleh franchisor. Franchisor juga sebaliknya, menempatkan dukungan kepada franchisee menjadi kebutuhan untuk mengamankan bisnisnya dalam jangka panjang. Pada fase ini, franchisor dan franchise mencapai pola hubungan ideal, terjadi hubungan saling membutuhkan, saling tergantung dan ada kebutuhan untuk mencapai visi bersama-sama. Oleh karena itu fase ini disebut sebagai fase “We”.

Fase-fase hubungan tersebut perlu dipahami, terutama oleh franchisor. Franchisor adalah penentu yang akan membawa pada pola hubungan ideal. Kesalahan penanganan dalam salah satu tahap, terutama pada tahap-tahap di mana franchisor merasa independen terhadap franchisor, dapat membuat terputusnya hubungan bisnis di antara mereka. Selain sebagai penentu, saya juga melihat bahwa franchisor juga adalah pihak yang berkepentingan untuk menciptakan pola hubungan yang harmoni. Mengapa penting? Saya menilai ada beberapa faktor, di antaranya:

  • jaringan bisnis, franchisee adalah simpul-simpul jaringan bisnis yang harus dirawat dan ditumbuhkan oleh franchisor. Apabila tidak dirawat hubungan mereka akan putus dan akibatnya jaringan bisnisnya akan menciut. Ini berlawanan dengan visi franchisor untuk membangun jaringan seluas-luasnya. Bila hubungan mereka kuat, maka jaringannya juga akan kuat, dan bisnis franchise tersebut akan lebih tahan terhadap persaingan, pergeseran pasar ataupun faktor-faktor pengaruh dari luar lainnya.
  • etalase bisnis, franchisee adalah etalase atau show-case, yang memperlihatkan bisnis franchisenya kepada umum. Bila etalase tersebut bagus, maka orang akan tertarik untuk membelinya. Tak jarang, franchisee yang puas dan baik hubungannya dengan franchisor akan mereferensikan kepada relasinya yang ingin membeli franchise. Hubungan yang tidak terawat akan membuat etalase ini tidak menarik dan ini akan kontra-produktif strategi franchisor untuk mengembangkan jaringan lebih lanjut.
  • sumber penghasilan, dalam sistem franchise, franchisee adalah pihak yang harus membayar royalti dan royalti adalah nafas kehidupan bisnis franchisor. Oleh karenanya, hubungan mereka haruslah dalam keadaan baik. Saya tidak bisa membayangkan apabila hubungan mereka bermasalah, apakah franchisee bisa dengan senang hati untuk menyetor royaltinya. Di pihak franchisor, apakah mereka bisa memungut royalti tersebut dengan mudah. Bila pembayaran royalti tersendat, maka kehidupan bisnis franchise juga akan terganggu, dan bila berkelanjutan tentu menjadi hal yang berbahaya. Hubungan yang tidak harmoni dengan franchisee akan memutuskan jalur penghasilan bagi franchisor, dan tentu ini sama sekali bukan hal yang diinginkan oleh franchisor.

Tiga hal di atas, setidaknya sudah memberikan gambaran, mengapa hubungan franchisor-franchisee harus dikelola dengan baik. Tidak dipungkiri bahwa membangun hubungan yang harmoni antara franchisor dengan franchisee bukanlah hal sederhana. Banyak faktor menjadi kendala. Yang paling sulit adalah menangani perbedaan sudut pandang yang terkadang bisa berlawanan. Apalagi bila terkait transaksi antara franchisee dengan franchisor. Walaupun demikian, betapapun berat kendala yang dihadapi, kendala tersebut bukanlah yang harus dihindari, sebaliknya harus dicari penyelesaiannya. 

Agar dapat mengelola dengan baik pola hubungan franchisor-franchise, saya memandang perlu untuk mempelajari peta hubungan yang terbentuk yaitu: (1) hubungan interpersonal, yaitu hubungan antara franchisor dan franchisee yang keduanya merupakan pribadi yang bermartabat dan berdaulat; (2) hubungan strategis atau hubungan bisnis, yaitu hubungan yang terbentuk karena kedua pribadi tersebut memiliki visi dan misi yang sama dalam menjalankan bisnis; (3) hubungan legal, yaitu pola hubungan yang terbentuk berdasarkan tanggung jawab, kewajiban dan hak-hak yang harus saling dipenuhi demi terselenggaranya hubungan strategis; (4) hubungan teknis, yaitu hubungan yang terjadi selama pelaksanaan kegiatan operasional bisnis.

Dalam pelaksanaannya, supaya masing-masing hubungan tersebut bisa terkelola dengan baik, perlu melembagakan hubungan-hubungan tersebut menjadi sebuah sistem yang baku dan jelas. Kelembagaan hubungan ini dapat diwujudkan dalam bentuk forum-forum pertemuan resmi dan terjadwal, baik bilateral antara franchisor dengan satu franchisee, ataupun multilateral, di mana lebih dari satu franchisee dapat terlibat dalam sebuah forum. Masalah-masalah teknis dibahas dalam pertemuan bilateral agar permasalahannya tidak melebar. Sementara isu-isu strategis dan informasi-informasi umum dibahas dalam pertemuan yang lebih luas. Pertemuan multilateral yang melibatkan banyak franchisee dapat terselenggara dengan baik apabila masalah-masalah franchisee telah dibahas dan diselesaikan dalam pertemuan bilateral. 

Hubungan franchisor-franchisee yang melembaga dan terstruktur dapat menyederhanakan manajemen dan memperlancar arus komunikasi antara kedua belah pihak. Karena komunikasi lancar, baik secara bisnis maupun personal, hubungan mereka akan lebih harmoni. Dan akhirnya, jaringan franchise tersebut akan menjadi sangat kuat, masing-masing dapat mencapai goalnya masing-masing. Akhirnya visi dan misi pribadi baik franchisor maupun franchisee dapat dicapai dengan lebih pasti. 

Semoga bermanfaat.

Bije Widjajanto

Founder & Senior Consultant Ben WarG Consulting