Pemahaman tentang Pandemi COVID-19 pada Masyarakat Menengah Bawah Urban dan Suburban

Berita tentang pandemi COVID-19 yang beredar di media, online atau elektronik, ataupun yang muncul di timeline dan wall media sosial yang kita miliki, tak berhenti, bertubi-tubi. Hal ini terasa sejak muncul kasus pandemi ini pertama kali di awal tahun 2020 di kota Wuhan, China.

Pelbagai informasi yang diterima tentang COVID-19 sangat beragam, dari jumlah penderita hari per hari, jenis obat-obatan dan herbal yang dianggap mumpuni, perkembangan tentang vaksin dan hal-hal lain yang terkait. Tidak jarang pendapat-pendapat yang muncul di media mainstream maupun sosial media tersebut saling berseberangan, misalnya antara mazhab pro vaksin dan antivaks, antara yang pro dokter Lois dan yang tidak setuju dengannya, antara yang anti penggunaan obat-obatan anti virus dan yang menganjurkan penggunaannya, dengan berbagai alasan dan data-data pendukung, scientific or not. Perdebatan dan pembicaraan juga bahkan hingga manakah vaksin terbaik dari sisi efikasi dan efek samping buat tubuh, dan dimana lokasi mendapatkan pilihan tersebut.

Perdebatan-perdebatan yang terjadi dan memenuhi timeline, dan menggambarkan betapa sudah modern dan intelek-nya masyarakat Indonesia tentang COVID-19. Rasanya dalam pemikiran kita, semua hal tentang COVID-19 sudah terinfo dan tersampaikan ke semua kalangan, tua muda, besar kecil, kaya miskin,  dan di desa maupun di perkotaan.

Ternyata tidak demikian adanya. Penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam yang  kami lakukan di bulan Februari tahun 2021, terhadap masyarakat urban, sub urban dengan sosial ekonomi menengah ke bawah (pengeluaran keluarga per bulan kurang dari  IDR 3.000.000), dan tingkat pendidikan tertinggi SMA, di  8 wilayah di Indonesia memperlihatkan pemahaman tentang pandemi COVID-19 cukup rendah. 

Secara umum mereka mengetahui bahwa COVID-19 dapat menyerang semua kelompok usia (lebih dari tiga perempat responden mengetahui hal ini), tapi secara khusus bagaimana proses penularan, bagaimana jika tertular, dan apakah COVID-19 menyebabkan kematian ternyata masihcukup rendah difahami. Pada semua hal tersebut, jumlah responden yang faham rata-rata kurang dari setengah dari total responden).  Bahkan beberapa kalimat skeptis meluncur keluar dari masyarakat, mengenai akibat COVID-19 dan bahwa mereka harus aktif mengunjungi fasilitas kesehatan untuk berobat ketika sakit, diantaranya adalah  “ah, kalau memang akan sembuh, (cukup dengan) minum air putih juga (akan) sembuh”, atau “jika memang sudah datang ajalnya ya sudah, bagaimana lagi (kita tak akan bisa mengelak dengan ikhtiar apapun)”.

Dari wawancara yang dilakukan, tergambarkan tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap terpaparnya virus COVID-19 juga relatif  rendah, rata-rata hanya separuh dari yang diwawancarai merasakan kehawatiran. Tingkat kekhawatiran cenderung sebanding dengan tingkat keparahan serangan yang ada di wilayahnya. Oleh karena itu, responden yang berdomisili di Pulau Jawa, relatif  lebih khawatir terpapar dari yang berdiam di wilayah lain.

Sedangkan jika dilihat dari kepatuhan terhadap Protokol Kesehatan (ProKes) agar terhindar dari penularan COVID-19, maka yang paling mereka patuhi hanyalah memakai masker, dan yang mengaku patuh pun hanya sekitar separuh dari responden yang diwawancarai. Walaupun sepertinya kepatuhan ini rasanya seperti peribahasa lain di bibir lain kenyataannya, karena dari observasi lapangan terlihat yang benar-benar memakai masker di kesehariannya jumlahnya lebih sedikit lagi.  Sedangkan menjaga jarak, menggunakan hand sanitizer – mencuci tangan selalu, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan, masih sangat jarang dilakukan.

Hal-hal ini menunjukkan masih sangat perlunya dilakukan sosialisasi ke kelompok masyarakat ini tentang COVID-19. Begitu bertubinya informasi yang masuk, apalagi sebagian diantaranya malah saling kontradiktif, menyebabkan informasi langsung dari petugas atau tokoh yang mereka segani menjadi sangat penting.

Sangat berharap saat ini pemahaman masyarakat tentang COVID-19 sudah semakin membaik. Setelah puncak kedua pandemi, bulan Juni-Juli 2021, yang mayoritas terinfeksi oleh virus Delta, tidak ada lagi serangan-serangan puncak COVID-19 yang menyebabkan korban berjatuhan.

Lisa Noviani  (Praktisi Marketing Research dan Pengamat Pasar)