PROYEKSI INVESTASI DI BISNIS FRANCHISE. APAKAH BERBEDA DENGAN PROYEKSI BISNIS SEBELUM DIFRANCHISEKAN?

PROYEKSI INVESTASI DI BISNIS FRANCHISE. APAKAH BERBEDA DENGAN PROYEKSI BISNIS SEBELUM DIFRANCHISEKAN?

Waralaba atau franchise adalah salah satu dari sekian banyak sistem pemasaran. Tetapi karena sistem ini tinggi tingkat keberhasilannya (bila dijalankan oleh pebisnis yang mastery di bisnisnya dengan sistem franchise yang benar), maka orang mulai menganggapnya sebagai sebuah industri tersendiri. Pada prinsipnya franchising adalah duplikasi dari pengalaman sukses sebuah bisnis untuk dijalankan oleh orang lain. Itu sebabnya jika Franchisee berinisiatif untuk menjalankan metodanya sendiri (atau menerapkan pengalamannya sendiri) pada bisnis tersebut, Franchisor akan keberatan. Franchisor akan meminta Fanchisee untuk menjalankan bisnis tersebut sesuai dengan pengalaman sukses Franchisor.

Bila Franchisee ingin menjalankan metoda bisnisnya sendiri, maka Franchisor sudah pasti tidak/ belum memiliki pengalaman sukses dengan cara tersebut (atau telah memiliki pengalaman tersebut dengan hasil tidak lebih berhasil dari metoda sesuai pengalaman yang diterapkan dalam sistem franchise-nya), oleh sebab itu Franchisor menolaknya. Penolakan sangat terkait dengan nama baik dari Merk/ Brand milik Franchisor yang Franchisee “sewa”.

Jadi, apa yang diminta oleh Franchisor untuk dijalankan Franchisee adalah sebuah desain, proses, dan tata cara yang sudah terbukti berhasil, yang disebut sebagai Bisnis Model.

Mengenai bisnis model ini, apakah persis sama dengan desain, proses dan prosedur bisnis awalnya? Apakah investasi serta biaya-biaya yang dikeluarkan sama dengan bisnis aslinya?  Desain dan proses adalah sama. Tetapi investasi, prosedur serta biaya-biaya umumnya ada perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dihindari.

Mengenai investasi, mengapa bisa ada perbedaan? Pada saat pertama kali Franchisor berbisnis, biasanya aset dari usaha yang dijalankan banyak menggunakan barang-barang pribadi yang sering tidak dihitung nilainya. Misalnya, kompor pribadi, lemari es milik orang tua, meja milik mertua, kursi milik saudara, dan lain-lain yang lebih sering dianggap sebagai hibah atau pinjaman untuk tidak dikembalikan lagi. Sehingga pengeluaran untuk investasi yang dihitung hanyalah barang-barang/ aset yang harus dibeli karena tidak ada yang dapat “menghadiahkan” guna mencapai efisiensi.

Tetapi ketika bisnis tersebut dipasarkan secara franchising, maka investasi yang dibutuhkan tidak mungkin dibuat daftarnya berdasarkan hadiah orang. Belum lagi ketika Franchisor mendapat pengalaman mengenai jenis aset tertentu yang harus dipenuhi spesifikasinya karena ketahanan serta kualitas yang didapat dari aset-aset tertentu tersebut. Maka aset-aset tersebut tidak dapat ditawar kualifikasinya. Akibatnya investasi bisnis model dari bisnis tersebut akan jauh lebih besar dari pada nilai aset ketika Franchisor pertama kali berbisnis.

Sebenarnya, bila dihitung balik antara investasi awal Franchisor dengan bisnis modelnya, biasanya investasi awal Franchisor selalu lebih besar dari investasi di bisnis modelnya. Hal ini disebabkan pembaharuan investasi untuk mencapai bisnis model tersebut akan terjadi berkali-kali, hanya pengadaannya berdasarkan uang dari keuntungan bisnis, sehingga tidak terasa. Jadi lebih tepatnya, investasi pada bisnis model adalah bentuk pengadaan yang sudah tinggi efisiensinya, karena didapat dari pengalaman sukses.

Mengenai prosedur kerja. Proses pada prosedur ini tetap sama dengan bisnis awal, hanya tata caranya (khususnya dalam teknik pencatatan keuangan) yang biasanya berubah. Hal ini umumnya dikarenakan penerapan aturan pencatatan (khususnya keuangan) yang sudah baku (misalnya aturan akuntansi). Contohnya, bila Franchisor yang mendistribusikan barang-barang yang dibutuhkan Franchisee untuk berjualan, maka catatan penjualan pada laporan keuangan Franchisee akan berbeda dengan catatan keuangan pada bisnis awal.

Pada bisnis awal, umumnya barang yang dijual adalah barang yang diistilahkan sebagai mutasi gidang, karena barang tersebut dari gudang Franchisor. Ketika dijual menjadi Saels gudang. Sedangkan di Franchisee, karena biasanya barang tersebut langsung disimpat di outlet, maka penjualannya bernama Sales outlet. Seacara proses sama, tetapi tata cara berbeda. Belum lagi hal-hal prosedur yang disebabkan karena struktur organisasi. Organisasi bisnis awal Franchisor biasanya lebih besar dari bisnis model, sedangkan bisnis model yang dipakai oleh Franchisee biasanya lebih ramping dan efisien.

Demikian juga dengan biaya. Bisnis Model yang dijalankan Franchisee akan dikenakan tambahan biaya Royalty Fee dan Biaya Pemasaran Bersama. Investasi bertambah dengan Franchise Fee, yang menyebabkan perbedaan dalam jumlah penyusutan.

Oleh sebab itu, bisnis model tersebut harus diuji terlebih dahulu oleh Franchisor, apakah dapat memberikan keuntungan sesuai/ mendekati keuntungan rata0rata industri bisnis tersebut. Biasanya pada awal pengukuhan Bisnis Model yang akan di-franchise-kan, keuntungan bisnis akan menurun. Maka tugas Franchisor adalah melakukan “leverage” pada bisnis tersebut sehingga keuntungan dapat kembali mendekati rata-rata keuntungan industri dan tetap menarik.

Kesimpulannya, bisnis yang ingin dipasarkan secara franchising, tidak akan sama nilai investasi dan biaya operasinya dengan bisnis awal. Perlu dihitung kembali kelayakannya agar tetap menarik dan memberikan keuntungan bagi calon Franchisee. Perhitungan kelayakan ini juga berlaku bagi organisasi Franchisor, yaitu perlu dihitung kelayakannya (termasuk jumlah minimum Franchisee yang harus direkrut berikut kemampuan perekrutannya) agar Franchisor-pun dapat kembali modal dan beruntung. Itu sebabnya franchising disebut win-win, karena kedua belah pihak yang berikat bisa sama-sama mendapat keuntungan yang memadai.

Royandi Yunus

IFBM Consulting