

Seorang ibu pemilik sebuah franchise spa yang sedang berkembang pesat beberapa waktu lalu mengeluhkan perilaku karyawan barunya, hasil bajakan dari spa lain.
”Anaknya mengadu domba karyawan satu dengan yang lain, bahkan bukan hanya itu, dia berani membuat cerita karangan yang bisa berakibat image perusahaan jelek di mata investor. Saya benar-benar tidak menyangka lho!”
Ternyata dari pembicaraan terkuak fakta bahwa anak ini produk dari perusahaan dengan office politics yang kuat, dimana untuk survive dia harus ikut serta dalam permainan tersebut. Kebiasaan ini berlangsung selama bertahun-tahun sehingga sudah menjadi hal yang biasa dia lakukan.
“Berarti kebiasaannya diteruskan di tempat saya ya, wah pusing kepala jadinya!” keluh ibu yang berparas cantik tersebut. “Karyawan di tempat saya itu guyup mbak, rukun satu sama lainnya. Gara-gara satu orang ini bisa menimbulkan kegonjangan di antara mereka. Bahkan beberapa orang minta supaya anak ini segera dikeluarkan,” tambahnya seraya geleng-geleng kepala.
Masalah kekurangan karyawan yang memiliki jam terbang tinggi seringkali membuat kita panik, buru-buru merekrut kandidat hanya dengan melihat ketrampilannya atau kemampuan teknisnya. Padahal sisi manusia yang bernama soft skill atau soft competency adalah sesuatu yang tidak mudah berubah bahkan belum tentu bisa berubah dengan mengikuti serentetan pelatihan.
Kompetensi adalah faktor yang diyakini sebagai penentu keberhasilan kinerja seseorang. Kompetensi merupakan sebuah konsep yang dapat diartikan sebagai kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal (attitude), dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Jenis kompetensi ada dua yaitu soft competency dan hard atau technical competency.
Kompetensi soft adalah kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola pekerjaan dan membangun interaksi dengan orang lain, misalnya: problem solving, leadership, communication, integrity. Jenis yang kedua adalah kompetensi teknis atau hard competency yaitu jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional pekerjaan.
Sisi soft competency apalagi yang terkait dengan value seseorang sebaiknya menjadi saringan awal dalam merekrut kandidat karyawan, sehingga apabila dari awal sudah dideteksi ketidakcocokan sebaiknya tidak perlu direkrut ketimbang nanti membuat kita sakit kepala. Value seseorang terbentuk sejak dari awal orang hidup berdasarkan hal-hal yang diyakini oleh orang tersebut, sehingga mengharapkan mereka berubah dalam sekejap bisa dibilang mission impossible. Proses pendeteksian ini bisa dilakukan sendiri dengan menggunakan alat psikologi yang bisa digunakan oleh khalayak umum, atau bisa minta bantuan ahlinya kalau memang diperlukan.
Cara yang lebih sederhana adalah mencari tahu track record kandidat karyawan dari beberapa sumber referensi seperti dari tempat kerjanya dulu. Dalam kasus karyawan spa tersebut, pemilik franchise berkata, ”Kami ini sebenarnya kecolongan karena ternyata dia sudah masuk black list di beberapa tempat.”
Membangun budaya organisasi harus dimulai sejak dari tahap rekrutmen karyawan, apakah kandidat ini memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak. Menurut Robbins, budaya organisasi adalah persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Adapun menurut Cushway dan Lodge, budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi yang akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku.
Sebagai contoh seperti perusahaan 3M yang menciptakan produk inovatif Post-it Notes pada tahun 1980 dan Scotch Brite pada tahun 2004, budaya perusahaan memungkinkan penemunya terus menerus mencoba melakukan percobaan walaupun sudah gagal berkali kali. Perusahaaan memiliki value bahwa kegagalan merupakan proses pembelajaran, dengan gagal maka akan selalu ada perbaikan, akan selalu ada arah menuju yang lebih baik. Perusahaan juga yakin bahwa dengan pembelajaran yang gigih, akan mampu menciptakan inovasi yang berhasil.
Di perusahaan lain pada umumnya, sering sekali karyawan yang melakukan kesalahan, langsung diberi teguran, bahkan surat peringatan dan puncaknya bisa saja sampai dikeluarkan. Pada akhirnya budaya organisasi yang dipahami dan diyakini akhirnya melekat pada karyawannya dan membentuk cara kerja, perilaku dan kebiasaan karyawannya.
Dalam kasus diatas, budaya organisasi perusahaan Spa terkenal tsb yang tadinya guyup menjadi goncang karena adanya karyawan dengan value yang berbeda masuk ke dalam perusahaan dan membuat manuver yang membahayakan. Untuk itu penting mempertimbangkan kesesuaian soft skill dari kandidat karyawan maupun karyawan yang sudah ada dengan budaya organisasi yang kita bangun. Jangan sampai upaya kita membangun budaya organisasi hancur karena satu kesalahan kecil saja.
Ir Mirawati Purnama Msi