Menjaga Komitmen Bisnis di Masa Sulit

Ketika waralaba lokal/nasional merasa kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan waralaba asing, permasalahan yang sebenarnya adalah pada komitmen pewaralaba lokal/nasional terhadap dunia waralaba kita.

Itikad Baik & Reputasi

Waralaba merupakan bisnis jangka panjang. Tak jarang saya mengatakan bahwa waralaba itu ibarat lomba lari marathon. Bukan lomba lari sprint. Beberapa merek waralaba yang dikemas dengan menarik dan berhasil meluncur dengan cepat, tapi tak bertahan lama, mengakibatkan reputasi bisnis waralaba tercoreng. Itikad baik pewaralaba dipertanyakan oleh terwaralaba.

Strategi marketing yang disebut-sebut sebagai “the most powerful marketing concept” ini akhirnya dipandang skeptis oleh para calon terwaralaba. Situasi ini cukup menyulitkan upaya penawaran waralaba. Padahal beberapa pewaralaba jelas memiliki model bisnis yang bagus, memiliki itikad baik dan komitmen yang all out.

Kesediaan para terwaralaba untuk memperpanjang perjanjian waralaba mencerminkan persentase tertentu terkait tingkat kepuasan terwaralaba. Memang tidak mudah untuk meraih 100% perpanjangan waralaba.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari keterlambatan jangka waktu kembali modal dibandingkan dengan proyeksi bisnis dalam penawaran waralaba hingga kurang baiknya dukungan, bimbingan dan konsultasi manajemen operasional sehari-hari selama jangka waktu waralaba. Di sisi lain, adapula terwaralaba yang nakal, mengganti merek di akhir masa kerjasama (meski beberapa terbukti tidak berhasil menyamai kinerja ketika menggunakan merek pewaralaba).

Bila pewaralaba cukup bijak, sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengobati kekecewaan para terwaralaba sebagai perwujudan itikad baik pewaralaba. Salah satu wujud itikad baik pewaralaba yang biasa saya anjurkan adalah rabat biaya perpanjangan waralaba bagi terwaralaba yang tidak berhasil meraih balik modal sesuai proyeksi semula.

Masa Sulit

Hampir semua merek yang terkenal mengalami masa sulit dalam pertumbuhan jaringan waralabanya. Subway pernah disudutkan oleh pemberitaan yang sangat keras mengkritik mereka. Di bulan Maret tahun 1998 terbetik berita: Why Subway Is “The Biggest Problem In Franchising” Tidak tanggung-tanggung, yang memberitakan hal negatif ini adalah CNNmoney yang mengutip majalah FORTUNE.

McDonald’s pun juga mengalami hal serupa ketika sahamnya tergerus cukup dalam di sekitar tahun 2002. Pada bulan September 2002, harga saham perusahaan ini anjlok dari nilai tertinggi USD 45.31 di bulan Maret 1999 menjadi USD 17.66. Harga saham ini terus merosot hingga sekitar USD 13 pada bulan Maret 2003.

Meski demikian, komitmen untuk bertahan dan terus memperbaiki diri dengan berbagai bentuk inovasi telah berhasil menyelamatkan dua raksasa waralaba kelas dunia tersebut. Artinya, pewaralaba lokal yang sedang menghadapi masalah harus terus mengobarkan semangat untuk memperbaiki diri dan berupaya keras untuk keluar dari krisis yang dihadapinya.

Kaizen

Hal yang berikutnya adalah komitmen untuk melakukan KAIZEN, yaitu terus-menerus memperbaiki diri. Ironisnya, tidak sedikit pewaralaba yang enggan untuk melakukan re-investasi untuk memperbaiki waralabanya.

“Begini saja laku kok,” kurang lebih begitu paradigma yang keliru dari para pewaralaba yang tidak memiliki komitmen untuk Kaizen.

Bagaimana dengan Anda?

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com