

Pesatnya pertumbuhan industri franchise di Indonesia belakangan ini tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas para merek bisnis waralaba di Indonesia. Meskipun dalam setahun sekitar 500 peluang usaha muncul ke permukaan, namun hanya segelintir saja yang benar-benar bisa dikatakan bisnis franchise. Dari jumlah tersebut yang benar-benar murni franchise tidak sampai 10%. Mayoritas kriteria bisnisnya masih berupa BO atau business opportunity yang belum memiliki keunggulan dan proven.
Hal itu mencerminkan fakta, bahwa waralaba lokal belum memiliki daya saing kuat di Indonesia, apalagi untuk bisa bersaing dengan waralaba luar negeri seperti Amerika, Australia, Korea Selatan, Singapura, bahkan Malaysia. Negara-negara tersebut sudah mampu melahirkan merek bisnis franchise yang memiliki daya saing kuat dan memiliki keunggulan proven track record yang mumpuni.
Industri franchise memang baru booming pada lima tahun terakhir ini. Dan baru akhir-akhir ini saja pemerintah mulai peduli industri ini. Namun demikian, pemerintah belum begitu serius memperhatika industri yang sebetulnya padat karya dan banyak menciptakan entrepreneur baru, serta membuka lapangan pekerjaan dalam waktu cepat. Berbeda dengan pemerintah di negara lain seperti yang saya sebutkan diatas.
Pemerintah sana tidak tanggung-tanggung dalam membina industri franchise. Mereka memberikan fasilitas berupa pendidikan dan pelatihan dengan mendatangkan tenaga luar negeri. Begitupun bila ada pameran franchise di luar negeri, pemerintahnya turut membantu membiayai fasilitasnya.
Bahkan, jika ada gelaran pameran franchise di negaranya. Perdana menterinya langsung yang membuka pameran tersebut. Kalau di negara kita, paling tinggi juga dari Direktur Kementrian Perdagangan. Sekelas menteri mana pernah membuka pameran franchise, apalagi presidennya?
PP No 42, tentang peraturan waralaba di Indonesia memang sudah diluncurkan pemerintah. Namun sampai saat ini implementasinya masih kurang begitu digalakan. Beberapa usaha yang menyebutkan dirinya franchise masih banyak, meskipun belum memiliki STPW. Padahal, dalam peraturan itu jelas-jelas disebutkan, bahwa yang menyebutkan dirinya sebagai perusahaan franchise harus memiliki beberapa kriteria dan pesryaratan, termasuk memiliki surat tanda pendaftaran waralaba.
Dari situ bisa dinilai, bahwa peraturan dari pemerintah belum lah cukup untuk mendukung waralaba lokal lebih maju dan berkualitas baik. Di negara-negara seperti Inggris, Singapura, Philipina dan Thailand justru perkembangan bisnis franchisenya jauh lebih maju dari Indonesia. Padahal, di negara tersebut tidak ada peraturan yang mengatur tentang bisnis franchise.
Namun pemerintah mereka lebih konsentrasi dan fokus membina industri franchise dan berani membiayai, serta memberikan fasilitas. Sedangkan di kita, ada pelatihan dari luar negeri saja tidak ada yang mau ikut, dan pemerintah juga tidak mau peduli dengan pendidikan franchise di Indonesia.
Memang, kita jangan sepenuhnya berharap kepada pemerintah. Para pelaku di industri franchise lah yang harusnya lebih konsisten dan ulet dalam mengembangkan industri franchise. Kalau bukan mereka siapa lagi, sebab maju mundurnya industri ini tergantung para pelaku bisnisnya.
Untuk itu, janganlah hanya motivasinya untuk mendapatkan uang semata dalam menawarkan bisnis franchise. Marilah mulai fokus dan ulet menggairahkan industri franchise dengan cara memupuk terus spirit entrepreneuship untuk jangka panjang, yaitu selalu berusaha menciptakan usaha jangka panjang dan menciptakan keunggulan bisnis, bukan terlalu ekspansif dengan mengejar calon franchisee baru.
Mencari keunikan usaha, konsep, system operasi, proses produksi dan atau produk/jasa, mempunyai prototype yang sudah terbukti sukses serta menangani managemen yang tangguh.
Anang Sukandar
Chairman Asosiasi Franchise Indonesia