STPW; Antara Regulasi dan Implementasi

Bicara tentang Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW), maka bicara juga soal undang-undang atau aturan yang mengaturnya. Pasalnya, STPW merupakan sebuah ketentuan dalam sistem bisnis waralaba yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Permendag RI) No. 71 tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007.

Dalam kedua peraturan diatas disebutkan bahwa STPW adalah bukti pendaftaran prospektus atau pendaftaran perjanjian yang diberikan kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba setelah memenuhi persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam peraturan pemerintah.

Untuk mendapatkan STPW pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus usaha waralabanya ke Kementerian Perdagangan. Sementara untuk penerima waralaba wajib mendaftaran perjanjian waralaba untuk mendapatkan STPW. Masa berlaku untuk STPW adalah lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Implementasi

Sejatinya, STPW adalah sebuah kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh setiap pemilik bisnis waralaba baik franchisor maupun franchisee. Ibaratnya  kalau bagi pengendara kendaraan bermotor STPW adalah SIMnya. Karena itu jika sebuah bisnis waralaba belum memiliki STPW boleh dibilang bisnisnya belum sah disebut usaha franchise. Namun, demikian perlu diingat bahwa STPW adalah surat pendaftaran, jadi bukan ijin usaha atau ijin franchise.

Karena dalam proses pendaftaran waralaba untuk mendapatkan STPW sebuah usaha franchise akan diuji mengikuti kepada ketentuan undang-undang berlaku, apakah ia sudah masuk dalam standar franchise atau belum.

Kriteria yang dimaksud dalam peraturan pemerintah No. 42 tersebut, adalah :

  • Harus memiliki ciri khas usaha; suatu keunikan yang terdapat pada produk/jasa, sistem operasi, proses produksi dsb yang tidak dimiliki oleh usaha lain di industrinya dan tidak mudah ditiru.
  • Terbukti sudah memberikan keuntungan, yang berarti usaha tersebut telah sukses dan dapat memperlihatkan neraca & rugi laba 2 tahun terakhir dari pemberi franchise dan para franchisee.
  • Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis atau yang disebut Standard Operating Procedure – Sop lengkap dan komprehensif.
  • Mudah diajarkan dan diapplikasikan, dalam jangka waktu tidak terlampau lama (<< 30 hari) dengan adanya buku panduan dan program pelatihan yang baik dan berkesinambungan.
  • Adanya dukungan yang kontinue dan terus menerus dari pemberi franchise pada penerima franchise dan pihak terakhir dapat meminta adpis dan bantuan setiap saat.
  • Haki yang telah didaftar dan mempunyai kaitan/hubungan dengan hak paten, – penemuan, – rahasia dagang, dan – design industri.

Makanya,  untuk mendaftarkan bisnis waralaba bagi franchisor adalah menunjukkan fotokopi prospektus penawaran waralaba dan fotokopi legalitas usaha. Dan untuk penerima waralaba permohonan pendaftaran diajukan dengan melampirkan dokumen, fotokopi legalitas usaha, fotokopi perjanjian waralaba, fotokopi prospektus perjanjian waralaba dan fotokopi kartu tanda penduduk pemilik atau pengurus perusahaan. Semua permohonan diajukan kepada Menteri.

Lalu sejauh mana tingkat implementasi dari peraturan yang mengatur tentang waralaba ini?  Sebagai  Ketua Asosiasi jujur saya tidak terlalu jauh mengamati sudah seberapa banyak para pemilik bisnis waralaba yang  sudah mendaftarkan bisnisnya. Selain karena itu menjadi kewenangan pemerintah, faktor sosialisasi yang kurang begitu kuat menjadikan anjuran untuk mendaftarkan usaha waralaba hanya sayup-sayup terdengar.

Lebih lanjut, saya menilai ada sejumlah kendala yang dihadapi oleh Pemerintah sendiri dalam pendaftaran waralaba,  dimana dalam proses penentuan apakah sebuah bisnis itu franchise atau bukan mereka kurang tenaga ahli untuk melakukan itu.

Padahal untuk proses pendaftaran bisa dilakukan di Kanwil Perdagangan dan bagi waralaba asing juga bisa mendaftar di Kedutaan untuk mengidentifikasi apakah benar bisnis tersebut ada dan berkembang cukup baik di Negara asalnya. Proses pendaftaran ini untuk memastikan bahwa usaha yang menyebut franchise ini, betul franchise dan ada usahanya.

Namun sayang lagi-lagi kendala, peraturan yang dibuat tidak diimbangi dengan kekuatan dan kemampuan untuk menjalankannya. Dan kesadaran dari pemilik franchise nasional untuk mendaftarkan sepertinya masih kurang. Sementara, kesadaran untuk mendaftar STPW masih jauh lebih besar dilakukan oleh franchise asing.

Sekali lagi, saya sebagai Ketua Asosiasi menyarankan kepada para pemilik waralaba untuk mendaftarkan usahanya ke Kementerian terkait guna menjaga pertumbuhan waralaba yang lebih baik dan sehat. Dan kepada Pemerintah sebagai pemangku kekuasaan diharapkan untuk memberikan fungsi pengawasan dan pengendaliannya secara lebih baik.

Anang Sukandar

Chairman Asosiasi Franchise Indonesia