Siapapun Bisa Jatuh, Pertahankan Dengan Inovasi

Anda pernah mendengar merek Adjinomoto. Sejak stasiun televisi dikuasi hanya oleh TVRI, merek ini sudah sangat akrab di telinga konsumennya. Merek ini selalu muncul di acara khusus iklan “Mana Suka Siaran Niaga.” Merek ini di endorse oleh Bagyo, pelawak terkenal saat itu, sehingga di setiap rumah, para ibu rumah tangga pasti mengkonsumsi merek ini. Sayang, merek ini mulai agak tenggelam  karena terkait dengan image brand ini.
 
Anda juga mungkin dulu pendengar ceramah AA Gym yang paling setia. Dari pengalaman tokoh yang duu disegani umat islam ini, ternyata, kiyai pun bisa jatuh. Tentu, konteksnya dalam hal ini adalah AA Gym sebagai personal brand karena memiliki positioning yang kuat di mata sebagian masyakat Islam di Indonesia. Bahkan, merek AA Gym bisa menjadi salah satu ikon bisnis.
 
Tetapi, lagi-lagi, persepsi dan kemauan publik dan konsumen tidak bisa dilawan. Ini membuktikan bahwa tidak ada posisi yang aman basgis ebuah mrek bisnis atau produk. Tidak ada jaminan bagi sebuah merek tetap bisa bertahan di posisi atasnya.
 
Bahkan dulu, Prsiden Taxi merupakan merek yang merajai transportasi di Jakarta. Namun, merek ini sangat buruk imagenya sehingga sulit untuk di pertahankan. Pemiliknya malah menggantinya dengan mrek baru agar bisanisnya tetap bertahan. Faktornya hanya satu, yaitu, pelanggan tidak menyukai aspek layanan yang diberikan oleh Presiden Taxi. Lagipula, merek ini sering membawa cerita-cerita butuk bagi penumpang sehingga customernya tidak merasa aman untuk menggunakan taxi ini.
 
Jatuhnya sebuah bisnis memang bukan phenomena baru atau cerita mengagetkan. Sudah banyak merek-merek yang tergelincir. Sebaliknya, banyak pula merek-merek yang terus Berjaya.
 
Menurut Alex Mulya, Pengamat Brand yang harus dihindari adalah cacat merek. Sebab, jika terjadi cacat merek, maka konsumen akan meninggalkannya jauh-jauh dan tidak akan kembali lagi. Nasib merek itupun tidak mungkin bisa dibangkitan lagi dari alam kuburnya.

Baca juga Tips Membuat Bisnis Tetap Unggul Ditengah persaingan
 
Berbeda jika sebuah merek atau bisnis yang tba-tiba disalib oleh pesaingnya yang agresif. Tentu, ini hal biasa. Merek yang banyak beriklan dan berpromosi umumnya lebih diterima oleh konsumennya. Sementara merek yang diam saja, biasanya tidak banyak mendpatkan market share, malah justru akan direbut sedikit demi sedikit.
 
JIka kesalahan hanya merupakan faktor misalnya kurangnya berkomunikasi, menurut Alex, tidak sulit untuk membangkitkan kembali merek itu. Tetapi jika sudah menyangkut rusaknya image dari merek bisnis atau merek, maka mustahil untuk membangkitkannya kembali.
 
Memang, mempertahankan sebuah merek untuk tetap bisa berkiprah memiliki banyak cara. Jika terkait dengan upaya untuk meningkatkan kinerja merek, setidaknya ada dua cara. Pertama,    Brand Rejuvenation, yaitu menghidupkan kembali merek yang sudah mati. “Amat jarang terjadi, saya nggak benar-benar bisa mengingat brand nya karena amat jarang,” kata Alex.
 
Kedua, Brand Revitalization, yaitu menyegarkan kembali brand lama yang sudah hampir habis market sharenya. Kasus yang terkenal: Sampoerna Hijau (dengan iklan yang drastis berubah lebih menunjukan kebersamaan dan komunitas), Green Sands (dari minuman berakohol ringan menjadi tanpa alkohol sama sekali, dan rejuvenasi distribusi dan iklan).
 
Baik rejuvenasi dan revitalisasi menurut Alex akan lebih mudah dilakukan kalau “kejatuhan” brand bukan disebabkan oleh dosa yang berat, atau cacat yang signifikan. “Kalau jatuh Cuma karena nggak dirawat dan kalah bersaing dengan kompetitor, itu artinya masih bisa dibetulkan karena toh image nya sebenarnya nggak rusak,” tegasnya.
 
Biasanya, lanjut Alex, brand seperti ini kalau dilihat awarenessnya turun sampai ke-level dibawah 30%. Dan brand image atau associationsnya sangat lemah, hanya dikenal lewat produk kategorinya saja tanpa ada asosiasi tambahan yang berarti. Dengan kata lain konsumen tidak banyak mengenal brand secara mendalam. Perceived quality pun jauh dibawah brand market leader. Jadi, tidak ada cacat, tetapi Cuma “lemah” saja.
 
Dijelaskan, membangunkan brand “lemah” jauh lebih gampang dibandingkan membetulkan brand “cacat”. Kalau “cacat” orang akan menghindar, dan mendapatkan kepercayaan susah setengah mati. Kalau Cuma “lemah”, asal bisa mendapatkan positioning baru (repositioning) bisa bangun kembali dengan rejuvenasi produk baru/varian baru dan iklan yang lebih gencar.
 
Memang, butuh cost tidak sedikit untuk membangkitkan sebuah merek yang lemah. Namun, cost yang dibutuhan tidak sebesar dengan membangun mrek baru. Sebab, merek ini hanya diremind saja ke konsumen. “Sedangkan membetulkan brand cacat biasanya lebih mahal dibandingkan membangun brand baru,” kata Alex.
 
Karena itu, meski Anda punya merek besar, ancaman tetap mengintip. Ancaman bisa datang dari hal-hal kecil, dan tidak memulu dari hal besar. Karena itu, memepertahankan merek bisnis yang kuat tidak gampang.

Pemilik merek harus bisa melakukan inovasi sebagai langkah untuk mempertahankan mereknya. Tanpa inovasi, sebuah merek bisa dengan mudah dikalahan oleh merek-merek pesaingnya.