“SAYA BISA SAJA SALAH”

Belakangan terakhir ini sungguh menegangkan dalam penantian yang hampir tak berujung. Sebagai anak bangsa, kita semua pasti merasakan kegelisahan atas riak riak yang terjadi di negara kita. Apa yang dianggap “benar”, tiba tiba kita harus menerimanya sebagai hal yang dianggap “salah”, dilain pihak apa yang menurut pandangan kita sebagai masyarakat awam sebagai suatu hal yang” salah”, ternyata dibenarkan oleh pihak pihak lain dengan berbagai dalil kebenaran. Sungguh tidak mudah untuk mengambil kesimpulan dan menarik benang merah atas apa yang terjadi di negara yang kita cintai ini.

Hal ini tidak jauh berbeda dalam kehidupan dunia usaha. Sering kebenaran menjadi kabur jika merugikan kita, apalagi jika kebenaran diteriakkan dan dikoreksi oleh bagian lini yang paling bawah dalam struktur organisasi kita. Rasanya kita sebagai atasan bahkan pucuk pimpinan tidak mudah menerima dan cenderung untuk menolak menerima kebenaran yang pahit dan tidak mengenakkan, bahkan berusaha membentengi diri dengan sejumlah argumen dan mencari sekutu sehingga kebenaran yang ada terabaikan dan terlupakan.

Saya pernah membaca cerita dari Loeke & Schwaltz ( 2003) tentang seorang wanita bernama Julie, dia merupakan seorang eksekutif yang sedang mengikuti program pelatihan. Karena terbiasa memberikan saran yang solutif untuk menjalanin hidup, ia merasa nyaman memberi jawaban kepada orang lain. Namun, masalahnya timbul pada suatu saat ada seorang klien dengan tegas menolak apapun yang dikatakan Julie kepadanya.

Secara naluriah ia kemudian menilai orang itu kaku, ngotot dan tidak bersedia jujur dalam memandang diri sendiri. Lewat beberapa petunjuk, semakin nampak jelas bahwa Julie takut atau khawatir untuk berbuat salah dan merasa amat enggan untuk dikritik. Meski tidak menyadari hal ini sebelumnya, mengiyakan sudut pandang yang kebetulan berbeda dengan sudut pandangannya sendiri membuatnya merasa tidak berdaya dan terancam harga dirinya.  Hasilnya, Julie menghabiskan banyak energi untuk ngotot membela diri. Karena sangat cerdas, ia kurang memiliki kemampuan untuk memandang dunia melalui sudut pandang orang lain selain dirinya sendiri.

Dalam dunia franchise, kita sering juga merasakan hal yang sama. Franchisor sering merasa jauh lebih pintar dan lebih tahu mengenai bisnisnya daripada franchisee sehingga sering saran ataupun masukan kurang didengarkan, bahkan diabaikan. Padahal mungkin saja jika kita mau mendengarkan dengan rendah hati, kita mau membuka hati kita untuk menyimak dan mengesampingkan dulu sudut pandang kita, bisa saja kita menemukan banyak masukan dan pandangan yang berguna. Inovasi akan selalu bergulir terus, dan kita membutuhkan pertumbuhan bisnis yang stabil, untuk itu akan selalu dibutuhkan kerendahan hati untuk mendengarkan pandangan orang lain agar secara bersama pihak franchisor maupun franchisee dapat bersama menghasilkan krativitas dan inovasi dalam mengembangkan bisnis franchisenya.

Dalam hubungan pengusaha dan karyawannya pun hal inipun sering terjadi.  Toby, seorang karyawan bagian pemasaran di mata bosnya selama ini dianggap sales yang berhasil berprestasi. Tahun ini perusahaannya membuka bisnis baru yang secara produk memang lebih mahal dan kompleks. Toby mulai mencari investor yang tertarik dengan produk barunya. Banyak yang menolak dan sulit untuk membuat calon investor mau menyediakan waktu untuk mendengarkan presentasinya. Suatu saat sesudah presentasi pada pertemuan pertama dengan calon investor, Toby merasa investor satu ini tertarik dengannya mengingat banyak pertanyaan yang ditanyakan kepada Toby.

Toby melakukan follow up beberapa kali tetapi belum mendapat tanggapan apapun, baik melalui telpon maupun email. Betul betul tidak ada respon. Toby mulai frustasi dan merasa bahwa dia memang gagal sebagai sales. Bosnya tidak memberikan masukan, malah pesimis dan mulai berpikir untuk mencari sales baru. Beruntunglah Toby memiliki teman dekatnya, bernama Gail yang memberikan sudut pandang yang berbeda. ‘Bukankah kau selama ini sudah berhasil membukukan penjualan yang fantastis dan kau yang mengatakan kalau calon investornya pada pertemuan pertama tsb antusias mendengar presentasi mu?”. Mungkin saat ini ia sedang sangat sibuk.

Coba hubungi dia kembali  dua minggu kemudian dan tulislah email lagi seakan akan kamu belum pernah menulis email-email sebelumnya kepadanya.  Toby mengikuti nasehat temannya dan ternyata investor tersebut menjawab email-nya selang 15 menit kemudian dan mengatakan bahwa dia pergi keluar negeri selama tiga minggu sehingga baru bisa sekarang menjawab email-nya dan menginginkan pertemuan lanjutan untuk membahas prospek bisnis yang ditawarkan oleh Toby.

Dari cerita di atas dapat kita pahami bahwa kita apapun jabatan dan posisinya, kita bisa saja salah dalam memandang suatu hal, baik berhubungan dengan orang lain maupun terhadap diri sendiri. Dibutuhkan kerendahan hati seperti yang disarankan oleh Jim Collins dalam bukunya “Good to Great”, bahwa pemimpin yang berhasil membuat perusahaan menjadi besar dan sukses adalah pemimpin yang memiliki kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengamati. Dibutuhkan keseimbangan paradox antara kerendahan hati dan ketegaran yang kuat dalam menghadapi tantangan bisnis kedepan.

Ir Mirawati Purnama Msi