Menghindari Risiko Hukum Akibat Penolakan Pendaftaran Merek – Perspektif Franchisor

Menghindari Risiko Hukum Akibat Penolakan Pendaftaran Merek - Perspektif Franchisor

Tidak dapat dipungkiri bahwa merek merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan suatu usaha. Suatu merek yang memiliki reputasi yang bagus akan memberikan jaminan usaha bagi pemiliknya, sehingga pemilik merek biasanya akan rela untuk mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk melindungi mereknya dari ancaman-ancaman yang dapat merusak reputasi merek tersebut. Penulis mencatat sedemikian penting reputasi suatu merek bagi usaha waralaba, sehingga biasanya klausul yang mengatur mengenai perlindungan merek dalam suatu perjanjian waralaba diatur sedemikian detail untuk memberikan perlindungan terhadap segala hal yang dapat menyebabkan tercemarnya reputasi dari merek dan/atau menyebabkan franchisor kehilangan kontrol dan/atau kepemilikan terhadap mereknya.

Bagaimana dari sisi franchisee? Bergabung ke dalam suatu sistem waralaba yang memiliki reputasi merek yang bagus, tentunya memberikan harapan bagi franchisee bahwa usaha waralaba yang ia jalani akan memberikan keuntungan. Sehingga, pada prakteknya usaha franchisee juga akan bergantung kepada reputasi merek dari franchisor. Oleh karena itu, dalam setiap usaha waralaba, adalah penting bagi franchisor untuk menjaga keberlakukan merek, karena usaha waralaba-nya akan banyak bergantung pada keberlakuan mereknya sendiri.

Penulis mencatat bahwa pada saat pembahasan draft Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (“PP Waralaba”), satu topik yang cukup hangat dibahas adalah perihal pendaftaran merek. Pada saat itu, terdapat 2 (dua) pendapat yang berseberangan terkait dengan pendaftaran merek franchisor. Satu pihak menginginkan agar ketentuan dalam PP Waralaba mencantumkan franchisor harus telah mendapatkan sertifikat merek terlebih dahulu baru dapat mewaralabakan mereknya, sementara pihak lainnya menginginkan agar syarat tersebut diperlunak karena pendaftaran merek memerlukan waktu yang cukup lama, ialah kurang lebih 2 (dua) tahun.

Sebagaimana diketahui bersama, pada akhirnya PP Waralaba mengatur franchisor diwajibkan telah mengajukan pendaftaran terhadap mereknya terlebih dahulu sebelum menawarkan waralabanya. Dalam hal ini, ia tidaklah perlu menunggu hingga sertifikat merek terbit, asalkan franchisor dapat menunjukkan bahwa ia telah mendaftarkan mereknya (in casu mendapatkan tanda terima pendaftaran merek), maka hal tersebut adalah cukup. Hal ini kemudian ternyata menimbulkan permasalahan pada prakteknya. Penulis menemukan terdapat beberapa usaha yang sudah terlanjur “menjual” waralabanya dan memiliki banyak franchisee, akan tetapi di tengah perjalanannya, pendaftaran merek franchisor ditolak oleh kantor merek. Permasalahan ini kemudian tidak jarang menimbulkan gejolak bagi usaha waralaba tersebut.

Lalu, bagaimanakah cara franchisor dapat mengantisipasi permasalahan tersebut di atas, terlebih, untuk menghindari tuntutan hukum dari franchisee-nya apabila hal tersebut di atas terjadi?

Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat beberapa metode yang dapat ditempuh franchisor untuk menghindari risiko hukum tersebut di atas, sebagai berikut:

  1. Menunggu hingga sertifikat merek terbit, baru mewaralabakan usahanya.

Hal ini merupakan bentuk antisipasi yang paling konservatif dan menurut penulis merupakan bentuk yang paling aman bagi franchisor.

  • Mencantumkan “trademark alternative clause” dalam perjanjian waralaba.

Franchisor dalam hal ini mencantumkan dalam perjanjian waralabanya suatu klausul yang pada pokoknya menentukan bahwa franchisor berhak untuk menggunakan merek alternatif apabila terjadi hal-hal diluar dugaan (semisal penolakan merek tadi). Penggunaan klausul semacam ini dapat menghindari risiko adanya tuntutan dari franchisee, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pencantuman klausul semacam ini berpotensi untuk mempengaruhi “nilai jual” dari waralaba tersebut, dalam artian bahwa calon franchisee dapat “berprasangka” franchisor telah mempersiapkan diri bahwa suatu saat merek-nya tidak lagi dapat dipakai.

  • Bergantung pada keterbukaan dalam prospektus waralaba.

Franchisor dalam hal ini semata-mata hanya bergantung pada keterbukaan yang telah franchisor sampaikan dalam prospektus waralaba. Dengan beranggapan bahwa franchisee telah mengerti atas segala keadaan dan risiko yang telah tercantum dalam prospektus, termasuk keadaan dimana terdapat kemungkinan merek franchisor ditolak pendaftarannya oleh kantor merek, maka franchisor akan dapat membela diri dengan mengatakan franchisee sebenarnya telah mengerti akan risiko tersebut. Tentu saja dalam beberapa perkara yang penulis tangani, pihak franchisee tidak serta merta menerima begitu saja alasan ini. Dan karenanya, penulis berpendapat bahwa metode pertama dan kedua di atas harus lebih diutamakan. 

Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga bermanfaat.

© 2019, Emir Pohan

Advokat & Konsultan Hukum

Email: emir.pohan@outlook.com