

“Expect the best, anticipate the worst” adalah kalimat favorit saya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia bisnis. Agar bisa mengantisipasi yang terburuk, kita perlu pengetahuan dan pengalaman, baik dari kita sendiri maupun pihak lain.
Dalam tulisan ini saya akan menyajikan beberapa hal yang perlu diantisipasi terkait kegagalan suatu waralaba.
Terwaralaba tidak siap mental
Euforia kewirausahaan sedang menular ke mana-mana. Makin banyak orang yang ingin punya usaha sendiri; makin banyak program untuk melatih, memotivasi, dan melahirkan wirausahawan-wirausahawati baru, makin banyak program award-award waralaba, BO, dan entreprenuership.
Beberapa orang memilih jalur menjadi terwaralaba. Namun persoalan yang mendasar seringkali berupa ketidaksiapan mental ketika perjalanan bisnis mereka melewati masa-masa sulit.
Beberapa pewaralaba bercerita bahwa terwaralaba mereka dengan mudah menutup bisnisnya tanpa beban sama sekali. Hal ini terutama terjadi pada waralaba dengan nilai investasi di bawah Rp 10 juta, yang pada umumnya menggunakan konsep gerobak. Meski demikian, sejumlah kecil bisnis waralaba dengan investasi ratusan juta mengalami hal serupa karena investornya superkaya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Pertama, rumitnya mengelola pegawai (SDM) merupakan salah satu faktor yang tidak terantisipasi oleh terwaralaba. Untuk waralaba dengan konsep owner operator, alias investor harus terlibat mengelola pegawainya, pewaralaba harus menjelaskan liku-liku pengelolaan pegawai dengan transparan.
Dalam setiap pameran waralaba, hampir semua calon investor mengharapkan dukungan penuh dari pewaralaba dalam hal pengadaan pegawai. Meski pewaralaba dapat membantu aspek ini, hal tersebut sebenarnya mustahil dijamin oleh pewaralaba, karena ketersediaan calon pegawai yang memenuhi syarat (berkualitas) di luar kendali pewaralaba. Di sisi lain, frekuensi keluar masuk (turnover) pegawai yang tinggi karena gaya kepemimpinan dan pengelolaan terwaralaba yang kurang baik akan membuat pewaralaba kewalahan menangani masalah pengadaan pegawai.
Faktor kedua adalah lemahnya pemahaman terwaralaba mengenai pengelolaan keuangan. Beberapa investor yang belum berpengalaman dalam mengelola keuangan bisnis seringkali mencampuradukkan keuangan hasil usahanya dengan keuangan pribadi. Tak jarang mereka menggunakan kelebihan arus kas usaha dan mengabaikan adanya hutang yang segera jatuh tempo.
Sebaliknya, bila pembelian barang dagangan dilakukan di muka, karena uang tunai penjualan retail terpakai untuk kebutuhan pribadi, maka tidak ada dana untuk mengisi kembali stok dagangan mereka. Ketidaklengkapan stok hampir dapat dipastikan berakibat pada penurunan kinerja penjualan dari gerai yang bersangkutan.
“Ketidakcukupan” laba bisnis
Ketika suatu peluang BO ditawarkan, harus jelas apakah peluang BO ini cukup untuk kebutuhan hidup keluarga investor atau sekedar untuk penghasilan tambahan saja. Bila mengharuskan owner operator, tentu laba usaha BO tersebut harus dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga investor.
Beberapa bisnis ditinggalkan begitu saja oleh para terwaralaba, atau mitra BO, karena ketidakcukupan laba usaha untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga mereka.
Hal ini kadang hanya dikarenakan faktor skala ekonomis. Artinya, suatu bisnis yang diwaralabakan atau ditawarkan dengan konsep kemitraan BO kadang membutuhkan jumlah hingga 3 unit untuk mencapai skala ekonomis dari segi efisiensi jumlah pegawai dan nominal laba usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga investor.
Skala ekonomis di sini terkait banyak hal. Sebagian besar UKM misalnya, biasanya berkutat dengan margin keuntungan yang relatif tipis alias kecil sementara volume penjualan seringkali kurang cukup tinggi. Akibatnya, skala ekonomis tidak tercapai.
“Expect the best, anticipate the worst”.
Utomo Njoto
Senior Franchise Consultant dari FT Consulting
Website: www.consultft.com
Email : utomo@consultft.com