Kecukupan Modal Terwaralaba

Bila kita mengumpulkan brosur penawaran waralaba (franchise) dan BO, akan kita temukan kecenderungan pewaralaba membuat penawaran waralabanya serendah mungkin agar bisa menjangkau sebanyak mungkin calon investor. Jumlah modal yang dipublikasikan seringkali tidak memberi ruang bagi terwaralaba bila dalam 3 (tiga) bulan atau 6 (enam) bulan pertama mengalami arus kas negatif (baca: tekor biaya operasional).

Lebih parah lagi, ada pewaralaba yang hanya mencantumkan capex (belanja modal), dan tidak menyertakan dana untuk pembelian stok awal. Bahkan adapula yang tidak mencantumkan biaya renovasi dan sewa tempat, dengan alasan biaya renovasi dan sewa tempat bervariasi.

Investor yang kurang cerdas dan terburu nafsu melihat “kebutuhan modal yang rendah” seperti ini terjebak membayar commitment fee, atau booking fee, atau sebutan lain yang bermakna sama: ”bayar dulu sebelum wilayah itu diambil orang lain”.

Pewaralaba seharusnya membuat jelas kebutuhan investasi ini dengan transparan. Beberapa terwaralaba yang terjebak informasi yang menyesatkan seperti ini terpaksa menggadaikan mobil, dan aset lainnya untuk membiayai selisih dana investasi yang tidak ia duga sebelumnya. Beberapa orang berhasil meraih laba yang diharapkan, beberapa mengalami kegagalan dan tentu saja aset yang diagunkan, atau digadaikan, lenyap pula.

Batas Kredit Yang Layak

Dalam hal pewaralaba sudah transparan, perhitungan yang cermat untuk mengukur batasan kredit (pinjaman) kepada pihak ketiga seperti Bank dan pihak lain juga perlu dipahami dengan baik.

Pewaralaba harus memberikan pertimbangan dan gambaran dengan jujur dan jelas kepada calon investor, berapa persen sebenarnya yang layak untuk dicarikan pembiayaan dari pihak ketiga, meski ada Bank menyatakan siap membiayai 50% tanpa agunan (bahkan konon ada yang memberikan fasilitas pembiayaan 100% total dana investasi untuk gerai kedua, bila sudah memiliki gerai pertama sudah membukukan laba yang dianggap cukup).

Pewaralaba harus bisa memberikan gambaran mengenai skenario seperti apa yang membuat pinjaman itu bermanfaat, skenario seperti apa yang dapat mengakibatkan terwaralaba merasa bekerja bakti bagi pemberi pinjaman tersebut. Secara sederhana, yang dimaksud “merasa bekerja bakti” adalah misalnya profit sebelum pajak (juga terwaralaba tidak mengambil gaji) adalah Rp 6 juta, dan biaya bunga pinjaman dan cicilan pokoknya setiap bulan mencapai Rp 5,6 juta setiap bulan. Kondisi seperti di atas memang bisa disiasati dengan hanya membayar bunganya saja terus menerus. Tentu saja hal ini tergantung kesediaan pemilik dana, dan biasanya bunganya lebih tinggi daripada pinjaman yang disertai pengembalian pokok pinjamannya.

Cut Loss

Terkait kecukupan modal ini, terwaralaba juga perlu mengukur kemampuan finansialnya. Sejak awal ia perlu memahami kapan harus “keluar” (cut loss) bila perkembangan bisnisnya tidak sesuai harapan dan bagaimana cara-cara keluar yang direstui oleh pewaralaba.

Para pewaralaba harus siap dengan alternatif terbaik saat kemungkinan terburuk dialami oleh terwaralaba. Contoh, bila berupa BO gerobak: buy back gerobak (kondisi layak pakai) dengan harga yang disepakati bersama; atau pengalihan SDM yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk dialihkan ke gerai lain (sehingga terwaralaba tidak perlu mengeluarkan biaya uang pesangon); atau buy back stok barang yang dalam kondisi layak jual (terutama bagi waralaba retail).

Salah satu alternatif terbaik yang membuat terwaralaba tidak mengalami kerugian yang terlalu besar adalah pengambilalihan unit bisnis tersebut oleh pewaralaba dengan harga yang wajar, kemudian pewaralaba memperbaiki kinerjanya, lalu dijual kembali kepada calon terwaralaba yang berminat.

Alternatif terakhir ini memang tidak mudah bagi pewaralaba, terutama ketika jumlah SDM tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan yang ekstra-dekat ke gerai yang ditawarkan kepada pewaralaba untuk diambilalih.

Semoga bermanfaat dan … sukses selalu !

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com