

Membuat merek tandingan untuk melindungi merek sendiri adalah strategi yang dapat diambil untuk mempertahankan penguasaan pasar. Tidak terkecuali dalam bisnis franchise. Sejauh mana manfaatnya?
Dalam dunia pemasaran, fighting brand adalah sebutan untuk produk yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang bertujuan untuk melawan kompetitor yang menawarkan produk sejenis dengan harga lebih murah. Jika pada umumnya sebuah brand dibuat untuk menyasar pasar tertentu, fighting brand dibuat untuk secara spesifik menyasar kompetitor yang berpotensi merebut pasar yang dimiliki oleh produk utama perusahaan.
Penggunaan fighting brand adalah salah satu strategi tertua dalam branding. Ketika perekonomian memburuk, konsumen yang daya belinya melemah akan cenderung mencari produk yang lebih murah. Pertanyaan pun timbul di benak para pengusaha; Haruskah mereka menurunkan harga, dengan kesadaran bahwa itu akan mengurangi profit? Ataukah tetap menjaga harga sambil berharap ekonomi membaik, dengan ketakutan bahwa konsumen yang pergi tidak akan kembali lagi? Tidak adanya strategi yang memuaskan dari kedua pilihan tersebut melahirkan strategi merek tandingan sebagai alternatif.
Sebagaimana persaingan bisnis pada umumnya, dalam bisnis franchise pun beberapa pemain disinyalir melindungi brand utama mereka dengan membuat fighting brand. Hal ini sulit diketahui dengan pengamatan sekilas, karena seringkali nama perseroan yang menaungi brand utama dengan fighting brand-nya bisa berbeda, walaupun memiliki manajemen yang kurang lebih sama.
Pakar pemasaran dan pengamat franchise, Yuswohady, memberikan pendapatnya mengenai hal ini. “Biasanya yang membuat fighting brand adalah brand yang sudah kuat, memimpin pasar. Kemudian ada kompetitor yang bermain di harga lebih rendah, di mana brand yang kuat tidak bisa mengikuti ke bawah. Karena kalau ikut ke bawah maka ada peluang citranya ikut turun ke bawah, makanya dia harus menggunakan brand lain,” terangnya.
Yuswohady menambahkan, “Seringnya fighting brand dibuat dengan asal-asalan, sekedar menyamakan posisi harga dengan produk kompetitor bawahnya. Sehingga walaupun fighting brand ini hancur karena terjadinya perang harga, tidak masalah. Karena yang diharapkan justru berhasil menyeret kompetitor untuk ikut perang harga. Sementara kompetitor berdarah-darah dalam perang harga, brand induknya memperkuat posisi di layanan dan kualitas.”
Ketika ditanya tentang merek-merek franchise yang diketahui memiliki atau merupakan fighting brand, Yuswohady mengaku sulit menjawab. “Biasanya memang fighting brand ini tidak begitu dikenal, jadi sulit mendeteksi keberadaannya. Biasanya jika sudah berhasil melukai kompetitornya, fighting brand ini hilang begitu saja. Memang kurang lebih seperti itu nature-nya.”
Dalam penerapan terbaiknya, sebuah fighting brand memang tidak hanya dapat mengeliminasi kompetitornya, namun juga membuka pasar yang baru. Sayangnya, sejarah fighting brand memang diwarnai deretan panjang merek tandingan yang memberi pengaruh sangat kecil pada persaingan, bahkan menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan yang membuatnya. Lantas bagaimana mengantisipasi kegagalan sebelum mengambil manuver yang berani ini?
“Sebagai pengusaha, sebelum memutuskan untuk membuat fighting brand, pastikan memahami pasar dan pesaing dengan baik. Jangan sampai fighting brand mengkanibal merek utama akibat salah segmen, sehingga konsumen sendiri turut beralih. Amati juga apa kelemahan mendasar kompetitor, jangan fokus ke harga produknya yang murah saja. Jangan pula resources untuk merekutama habis untuk mengurusi fighting brand. Selalu ingat bahwa kepentingan utamanya adalah agar brand utama tidak diganggu,” ungkap Yuswohady.