

Salah satu pertanyaan yang cukup sering dilontarkan klien saya adalah, “Berapa jumlah gerai yang sebaiknya dimiliki oleh pewaralaba?”
Tidak ada jawaban yang pasti, karena hal ini terkait pertimbangan masing-masing pewaralaba. Meski demikian saya akan mencoba menyampaikan berbagai pendapat yang ada, dan silakan anda temukan yang mana yang cocok bagi anda.
Pewaralaba tidak boleh punya gerai!
Ada kelompok yang dengan tegas mengutarakan pendapat bahwa pewaralaba tidak boleh punya gerai. Hal ini untuk menjaga netralitas pewaralaba dalam memasok produk yang dijual melalui jaringan waralabanya. Kalau punya gerai, dikhawatirkan pewaralaba akan mengutamakan gerai miliknya dan mengorbankan gerai terwaralaba, terutama ketika terjadi kekurangan pasokan produk.
Tentu hal ini tergantung integritas pewaralaba yang bersangkutan. Walau tidak punya gerai, kalau terjadi favoritisme kepada terwaralaba tertentu, maka alasan pemerataan ini tidak akan teratasi. Di sisi lain, pemerataan adalah istilah yang tidak sederhana.
Di kala terjadi kekurangan pasokan, keputusan jumlah pasokan produk ke gerai tentu dilandasi banyak faktor: catatan kelancaran pembayaran, kecepatan perputaran barang di gerai tersebut dan entah faktor apa lagi yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan dalam membagi jatah produk yang sedang langka itu. Dengan lain perkataan, bila pewaralaba memiliki integritas tinggi dan konsisten dengan parameter pembagian jatah tersebut, sebenarnya tidak ada masalah bila pewaralaba mengoperasikan gerai milik sendiri.
Kelompok ini sebenarnya tidak bisa berkembang di Indonesia karena ada persyaratan dalam regulasi waralaba di sini bahwa pewaralaba harus memiliki gerai, yang tercermin dari Penjelasan Pasal 3b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah menunjuk pada pengalaman Pemberi Waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
Pewaralaba cukup memiliki 1 gerai saja
Ada pewaralaba yang tidak berminat untuk membuka cabang, tapi langsung mewaralabakan bisnisnya kepada orang lain. Mereka hanya berencana untuk memelihara satu-satunya gerai milik mereka. Dengan menganut aliran ini, mereka juga sudah memenuhi persyaratan dalam PP nomor 42 tahun 2007 tersebut.
Pola seperti ini kadang menimbulkan pertanyaan di benak calon investor, kalau memang bisnisnya sangat menguntungkan, mengapa pewaralaba tidak membuka sendiri lagi beberapa gerai? Meski demikian, apabila para terwaralabanya terbukti berhasil, tentu daya tarik waralabanya akan tinggi
Berdasarkan kebutuhan kantor regional
Saya pribadi berpendapat, karena begitu luasnya wilayah Indonesia, pewaralaba perlu kantor regional untuk menekan biaya operasional dalam memberikan sistem support atau dukungan konsultasi dan pengawasan kualitas pada jaringan gerai mereka. Umumnya dibutuhkan sekitar tiga atau empat titik strategis, misal Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Bisa juga menggunakan pola: Sumatera, Jawa, Kalimantan Sulawesi dan Indonesia Timur.
Kantor regional tersebut biasanya menyatu dengan gerai milik pewaralaba. Kegunaannya antara lain juga untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman lapangan mengenai situasi khas persaingan bisnis di wilayah tersebut.
Selain kantor regional, gerai milik pewaralaba bisa juga dikembangkan di sekitar kantor regional ini. Ada beberapa pertimbangan tentunya, misal alasan “skala ekonomis” alias untuk menutup biaya menempatkan seorang manager regional dan timnya yang tidak cukup kalau hanya punya satu gerai saja. Biasanya margin keuntungan gerai milik sendiri minimal berada pada angka 3x biaya-biaya waralaba yang bisa dipungut dari terwaralaba yang mencapai target kinerja moderat.
Tidak harus waralaba
Beberapa pewaralaba terlihat hanya menunggu terwaralaba. Bila peluang bisnisnya memang bagus, seyogyanya pewaralaba selalu membuka gerai baru dari waktu ke waktu. Bila kesulitan permodalan, bisa saja menggunakan strategi lain seperti sewa bagi hasil, atau joint venture sambil menunggu munculnya investor sebagai terwaralaba.
Bagaimana, sudah siapkah anda berekspansi?
Utomo Njoto
Senior Franchise Consultant dari FT Consulting
Website: www.consultft.com
Email : utomo@consultft.com