Tekan Risiko Konflik Soal Proyeksi Keuangan, Franchisor Harus Perhatikan 4 Hal Ini

Melesetnya Proyeksi Keuangan = Penipuan? Analisa Hukum Bagi Franchisor

Waralaba di Indonesia sering digambarkan sebagai suatu sistem bisnis yang menyediakan “formula” bagi para pebisnis pemula untuk dapat sukses, bahkan dalam kategori usaha yang berisiko tinggi (high-risk). Jargon-jargon waralaba yang dikesankan dapat mencetak pengusaha handal dalam waktu singkat dengan menggunakan sistem dan pengalaman dari franchisor, menyebabkan usaha waralaba sangat diminati oleh pebisnis pemula yang mungkin pada saat terjun ke dalam bisnis waralaba tersebut, tidak memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman yang cukup. Dalam keadaan seperti ini, sangat dimungkinkan para pebisnis pemula kemudian membuat keputusan untuk bergabung dengan waralaba tertentu, tanpa adanya suatu feasibility study yang jelas.

Dari sisi franchisor, terkadang minimnya pengetahuan calon franchisee dapat menjadi suatu keadaan yang ideal, karena biasanya calon franchisee yang demikian akan lebih patuh dan mudah untuk diatur. Namun, perlu kiranya diketahui bahwa kurangnya pengetahuan dan pengalaman franchisee dalam suatu bisnis dapat menjadi bibit masalah di kemudian hari.

Permasalahan yang penulis amati yang biasanya muncul adalah ketika angka proyeksi keuangan yang disampaikan oleh franchisor tidak tercapai. Alhasil, franchisee kemudian menjadi sangat kecewa dan membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Hal yang penulis amati sering terjadi adalah si franchisor dituduh telah melakukan penipuan, atau telah cedera janji akibat tidak tercapainya performa keuangan yang diperlihatkan dalam proyeksi keuangan tersebut. Apabila “tuduhan” ini kemudian mencapai ranah hukum, bukan tidak mungkin si franchisee akan menggugat franchisor-nya ke pengadilan atau justru melaporkan si franchisor ke pihak kepolisian dengan alasan penipuan.

Perlu kiranya diketahui bahwa skenario di atas ternyata telah terjadi di Amerika Serikat, negara yang justru memiliki aturan sistem waralaba yang sangat mumpuni. Mike Shehadi, seorang franchisee dari jaringan waralaba “Roasting Plant” Coffee Shop yang berdomisili di Dearborn Heights City, Michigan, Amerika Serikat, melaporkan franchisor-nya telah memalsukan angka dan proyeksi keuangan, dimana tercantum proyeksi pendapatan per tahun adalah sebesar USD1.1 juta, dengan tingkat laba yang besar. Namun, setelah usaha tersebut dijalani olehnya, ternyata outlet waralaba yang dimiliki Mike Shenadi tidak berhasil mencapai performa keuangan yang tercantum dalam proyeksi tersebut. Mike Shehadi kemudian menggugat “Roasting Plant” Coffee Shop telah melakukan penipuan, dan menuntut USD9.5 juta sebagai ganti rugi.

Belajar dari kejadian di atas, untuk mencegah terdapatnya tuduhan franchisor melakukan penipuan terkait dengan proyeksi keuangan, franchisor dapat melakukan upaya-upaya preventif sebagai berikut:

  • menambah perlindungan hukum dengan meminta calon franchisee menandatangani pernyataan bahwa ia telah membaca dan memahami seluruh informasi dan risiko pada bisnis waralaba terkait;
  • franchisor memberikan disclaimer bahwa proyeksi keuangan yang ada hanya merupakan proyeksi semata, dan belum tentu akan tercapai;
  • terdapat bagian khusus dalam prospektus waralaba yang membahas perihal risiko bisnis; dan
  • mencantumkan juga hal-hal tersebut di atas dalam perjanjian waralaba.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada baiknya apabila franchisor juga secara aktif memberikan penjelasan kepada calon franchisee perihal risiko bisnis waralaba yang akan dijalani sebelum calon franchisee tersebut menandatangani perjanjian waralaba, sehingga calon franchisee menjadi benar-benar mengerti mengenai risiko bisnis yang ada.

Demikian semoga bermanfaat.

Emir Pohan & Markus Sugiarto