Balik Modal

Ada kebutuhan mendesak untuk pengaturan lebih detail terkait transparansi informasi penawaran waralaba, BO, lisensi, kemitraan, atau apa pun istilah yang digunakan.

Mengapa demikian?

Persoalan utama yang dihadapi oleh praktisi waralaba adalah distorsi informasi yang disengaja maupun tidak disengaja oleh para pelaku bisnis yang menawarkan kerjasama waralaba atau semacam waralaba.

BEP

Istilah BEP sering dimaknai jangka waktu untuk balik modal. Padahal aslinya BEP berarti titik atau target nilai penjualan yang memberikan kontribusi laba kotor penjualan yang mampu menutup seluruh biaya operasional bisnis tersebut. Itu sebabnya disebut “titik impas”.

Nah, titik impas ini pun bisa mengalami distorsi  karena bisa dilihat dari sisi arus kas (cash flow) dan dari sisi Laporan Laba rugi. Ada unsur biaya yang sudah dibayar di muka seperti biaya sewa, pajak reklame, stok, dan sebagainya.

Jadi pernyataan BEP sebaiknya diluruskan dan diseragamkan pemahamannya menjadi titik impas menurut Laporan Laba Rugi, dan memperhitungkan biaya sewa yang wajar (seandainya tempat usaha itu milik sendiri).  

Jangka Waktu Balik Modal

Istilah Jangka Waktu Balik Modal untuk waralaba sering dikaitkan dengan “payback period”. Namun bagi investor yang sudah terbiasa dengan konsep keuangan dan proyeksi keuangan, ada istilah lain yang ingin mereka ketahui, yaitu ROI. Tulisan ini akan membahas payback period karena ini yang lebih sering digunakan.

Payback Period

Jangka waktu balik modal yang menggunakan payback period biasanya menghasilkan angka yang lebih menarik dibandingkan dengan ROI (Return On Investment). Hal ini dikarenakan akumulasi laba yang diperhitungkan biasanya mengabaikan unsur bunga pinjaman, pajak tahunan, depresiasi dan amortisasi. Payback period dimaknai saat ketika akumulasi EBITDA mencapai nilai Capex (capital expenditure, atau belanja modal).

Laba yang dimaksud dalam EBITDA merupakan perhitungan Laporan Laba Rugi, bukan laporan arus kas. Apa bedanya? Dalam Laporan Laba rugi, seseorang harus memahami Biaya Modal dari transaksi atau produk (barang/jasa) yang dijual, jadi bukan biaya pembelian (belanja HPP) bulan berjalan.

Nah, terkait Capex, perlu disepakati bersama bahwa belanja modal itu terkait unsur-unsur yang bisa didepresiasikan (aset, termasuk biaya renovasi) dan diamortisasikan (misal biaya awal waralaba, biaya persiapan bisnisnya). Artinya, investor harus memahami bahwa Capex hanya sebagian dari Total Investasi yang dibutuhkan.

Salah paham sering timbul karena investor menyangka payback period itu mengembalikan “total investasi”. Padahal total investasi itu meliputi biaya-biaya yang harus dibayar di muka, seperti biaya sewa, biaya pajak reklame tahun pertama, biaya deposit sewa, biaya belanja HPP, cadangan tunai awal. Biaya-biaya ini (biaya sewa dan pajak reklame bayar di muka, biaya belanja stok ATK) pada akhirnya akan menjadi biaya operasional di dalam Laporan Laba Rugi. Biaya sewa bayar di muka dirata-ratakan sesuai jangka waktu dari Laproan Laba Ruginya.

Asumsi

Hal lain yang perlu transparansi adalah asumsi-asumsi yang digunakan. Pemberi Waralaba yang menampilkan proyeksi keuangan harus mengkomunikasikan dengan jelas asumsi-asumsi yang digunakan dan yang berpotensi mengakibatkan pergeseran jangka waktu balik modal, seperti biaya sewa tempat usaha, UMR wilayah, daya beli masyarakat setempat terkait nilai rupiah per transaksi atau per orang, peta persaingan setempat.

Semoga penjelasan di atas mencerahkan pemahaman para pembaca.

Utomo Njoto
Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.
Website: www.consultft.com
Email : utomo@consultft.com