Tips Cara Membuat Perjanjian Franchise dan Business Opportunity

Dasar hukum dan syarat perjanjian terletak pada KUHP pasal 1338, yaitu: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sedangkan syarat sahnya sebuah perjanjian mengacu kepada pasal 1320 KUHP, yaitu adanya kata sepakat, masing-masing pihak memiliki kompetensi untuk membuat perjanjian, perjanjian harus mengenai sesuatu hal yang jelas, dan adanya sebab yang halal (tidak boleh berisikan hal yang bertentangan dengan hukum dan norma).

Dalam membuat perjanjian bila “menjual bisnis” berbasiskan seperti apa yang sering disebut dengan Business Opportunity (BO), umumnya isi perjanjian lebih sederhana dibandingkan dengan perjanjian franchise. Biasanya isi perjanjian dalam BO hanya berisikan lebih kurang mengenai pelatihan membuat produk dan pelatihan karyawan pelaksana. Kalaupun ada bahan baku yang selalu diambil dari atau didistribusikan oleh pemilik bisnis utama, maka sebaiknya dibuat perjanjian distribusi atau jual-beli secara tersendiri.

Hal ini disebabkan agar perjanjian “membeli BO” dapat segera berakhir bila pelatihan membuat produk dan pelatihan karyawan pelaksana selesai dilaksanakan. Sedangkan perjanjian distribusi yang memiliki ketentuan tersendiri, seperti harga beli, lama kurun perjanjian, pengecualian-pengecualian, pemutusan hubungan, serta “reward-pinalty” menjadi eksklusif dan berdiri sendiri, seperti perjanjian dagang pada umumnya.

Sedangkan perjanjian franchise sarat akan masalah Kekayaan Intelektual karena memakai nama bisnis atau brand milik Franchisor. Selain itu juga memiliki ketentuan mengenai lokasi dan batasan atas teritori operasi, dukungan yang terus menerus (continuous supports), hak-kewajiban yang saling mengikat, serta batasan cara pengembangan dan pemutusan hubungan bisnis. Pemerintahpun turun tangan dalam mengatur masalah franchising demi keamanan masyarakat peminat bisnis berbasiskan sistem franchise (Franchisee).

Oleh sebab itu juga, perjanjian franchise selalu terlihat berat sebelah, karena “ketakutan” Franchisor atas penyalah gunaan Kekayaan Intelektual yang dimiliki Franchisor yang dapat merusak citra dari Franchisor, serta belum adanya ketentuan yang mengatur keamanan hak dari Franchisor (kewajiban Franchisor tercermin dari hak Franchisee yang diatur dalam PP no.42, tahun 2007, tentang Waralaba, serta PerMenDag no.53, tahun 2012, tentang pelaksanaan bisnis Waralaba).

Sering terjadi Franchisor membuat perjanjiannya dengan cara menyadur dari perjanjian orang lain (Franchisor lain atau perjanjian bisnis serupa) yang kemudian diterapkan sebagai perjanjian sendiri. Hal ini kadang-kadang memang lebih berarti dari pada mengarang perjanjian sendiri. Tetapi, sebuah perjanjian itu berisi hal yang spesifik yang ditentukan untuk bisnis tersebut, sehingga penyaduran dari perjanjian bisnis lain lebih banyak menyesatkan dari pada menolong diri sendiri. Konsultan franchise-pun tidak ahli dalam membuat perjanjian franchise, karena memang bukan bidangnya.

Jadi serahkanlah pembuatan perjanjian tersebut kepada yang ahli seperti firma hukum. Bahasa hukum sangat detil dan berbeda dengan bahasa sehari-hari. Tetapi firma-firma hukumpun tidak semuanya paham mengenai isi yang perlu diperjanjikan, tetapi yang pasti mereka dapat menutup “ketakutan” dari Franchisor bila bisnisnya dijalankan oleh orang lain (Franchisee).

Karena itu, konsultan franchise dapat dipakai untuk membantu memberi masukan kepada konsultan hukum, untuk bekerjasama guna dapat dicapainya perjanjian yang tidak begitu berat sebelah. Sebenarnya, perjanjian yang terlihat berat sebelah tersebut tidak perlu didesain bila Franchisor selektif dalam memilih calon Franchisee-nya. Demikian juga dengan “kesebalan” calon Franchisee atas perjanjian franchise yang terlihat berat sebelah tidak perlu dimasukan kedalam hati bila calon tersebut memang benar-benar menjalankan syarat ketentuan yang diperjanjikan bersama.

Hal yang seringkali merugikan bagi kedua belah pihak yang berikat dalam perjanjian franchise adalah janji dari orang marketing Franchisor. Janji-janji ini walaupun tidak dimasukan dalam perjanjian franchise, ternyata tetap melekat dalam benak Franchisee. Sehingga ketika pelaksanaan operasi bisnis dijalankan, mulailah Franchisee merasa “tertipu” sedangkan Franchisor terheran-heran karena janji tersebut jelas-jelas tidak diperjanjikan dalam perjanjian franchise.

Maka itu, kepada para Franchisor perlu untuk mengingatkan para marketer-nya untuk tidak mendahului atau melebih-lebihkan hal-hal yang tidak mampu dilakukan atau yang tidak akan diperjanjikan.

Jadi, inti dari tips ini adalah, pertama dalam membuat perjanjian franchise dan atau BO, pakailah konsultan hukum yang sudah paham mengenai hal bisnis dan atau franchising. Dalam hal franchising, minta bantuan konsultan franchise bila konsultan hukum belum berpengalaman tentang franchising. Kedua, siapkan karyawan yang menangani marketing dalam franchising untuk tidak “over selling”. Ketiga, sebelum perjanjian ditandatangani, duduk bersama dan uraikanlah isi perjanjian dalam bahasa yang awam serta sebab akibat secara logika pemilik bisnis. Keempat, terlihat seperti akan banyak biaya yang keluar, tetapi pemilik bisnis akan mendapatkan yang terbaik dan aman untuk perjanjian bisnisnya.

Selamat berbisnis,


Royandi Yunus, IFBM Consulting