

Salah satu hal yang cukup langka namun cukup sering dimintakan kepada saya untuk diceramahkan adalah hal ‘etika bisnis’. Dan pertanyaan sederhana yang pernah dilontarkan di antaranya adalah ‘apakah dalam situasi bersaing yang ketat seperti sekarang ini kita boleh mengekspos kekurangan competitor?’ Tentu saja saya jawab : boleh! Tetapi caranya harus santun tidak perlu menyebutkan nama competitor atau secara halus disamarkan serta tata bahasanya juga apik. Jangan seperti juru kampanye atau tukang obat pinggir jalan, serta sangat disarankan tidak tendensius atau blak-blakan seperti tidak menganut norma-norma. Kalau caranya vulgar, wah, ini sudah kategori ‘black campaign’ yang mirip dengan pembunuhan karakter.
Sejatinya pelaku bisnis yang professional tidak akan melakukan tindakan black campaign, namun hal tersebut tidak dapat dihindari. Di bisnis consumer-goods saja sudah sering terjadi, tentunya Anda ingat isu pengawet dalam makanan, isu pemutih, isu haram, dsb. Ternyata professionalisme suatu bisnis bukan dilihat dari hebatnya merek, bombastisnya promosi, atau luasnya wilayah dan pangsa pasar yang dikuasai. Banyak pelaku bisnis yang sudah kelas kakap pun masih tidak memiliki citra professional dalam pengelolaan bisnisnya, termasuk dalam cara berkompetisi. Ada yang melakukan pembajakan karyawan, sabotase pasokan bahan baku, sabotase produk di pasar, dan berbagai cara bisnis lainnya yang bergaya ‘preman’. Termasuk yang paling klasik dan halus dengan cara melakukan ‘black campaign’, menjelek-jelekan pesaingnya, menghembus rumor sampai dengan menyewa wartawan lepasan untuk menulis berita yang miring.
Black campaign sebenarnya tidak perlu dilakukan bila pelaku bisnis menyadari etika berbisnis yang harus dijunjung tinggi. Pelaku waralaba A tidak harus serta merta menyerang pesaingnya waralaba B yang muncul dan bertumbuh pesat, karena persaingan memang dibutuhkan, bukan dimatikan.
Kadangkala black campaign ini juga ditambah bumbu oleh pelanggan atau melibatkan pihak lain yang sengaja bertujuan menciptakan pencitraan negatif baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan yang vulgar adalah black campaign yang dilakukan secara terang-terangan, frontal dan kurang beretika. Dalam memilih mitra bisnis waralaba, sangat dianjurkan kepada calon franchisee agar Anda mempertimbangkan bila ternyata mitra franchisor Anda lebih cenderung melakukan black campaign sebagai jalan pintas, ketimbang cara-cara yang lebih professional. Kian banyak pemain kategori sejenis dengan hampir tidak memiliki differensiasi yang unik dan kuat, membuat persaingan mulai tidak sehat.
Lalu untuk Anda yang diserang kampanye negative oleh pesaing. Bagaimana Anda akan menghadapinya ?
Pertama, jangan terpancing dan bertindak over-reactive. Sebenarnya pelanggan kita atau masyarakat juga tidak bodoh-bodoh amat, tidak semuanya menelan isu. Di antara mereka tentu ada yang cukup kritis menyikapi dan menilai cara vulgar sebagai cermin dari manajemen yang tidak professional.
Kedua, tingkatkan terus secara konsisten area yang disorot dan menjadi sasaran black campaign, misalnya pelayanannya kurang cepat, maka perbaikilah kecepatan pelayanan. Tindakan menutup celah adalah tindakan cerdik, sehingga tidak jarang black-campaign yang dilakukan pesaing mengalami ‘mirroring effect’, atau menerpa balik, yang bicara ngawur itu memang yang ngawur, singkatnya.
Ketiga, lakukan edukasi secara berkelanjutan. Iklan advertorial, talkshow di radio, newsletter, gathering, adalah beberapa contoh untuk melakukan counter terhadap kampanye isu. Testimonial dari pihak yang cukup kredibel akan membantu pemulihan atau bahkan memperkokoh citra. Lihat saja Oli Top 1 yang berusaha tetap tenang dan menepis isu dengan melibatkan tokoh-tokoh kredibel, sekali pun biayanya mahal.
Sebagai konsultan kami juga tidak jarang menghadapi hal tersebut, dan tidak jarang klien juga memicu kemungkinan terjadinya black-campaign dengan mengumbar isu. Tapi itulah pelanggan, yang kadang belum jadi atau tidak jadi pelanggan saja sudah mengumbar cerita. Biasanya kami lebih suka menghindari dan tidak terpancing dalam argumentasi, bahkan menghindari adalah pilihan tindakan yang cukup beralasan.
Kita memang justru lebih suka membayangkan bisnis yang lebih bersih, dimana dengan sikap yang elegan pelaku bisnis tetap menghadapi kompetisi dengan kepala dingin, fokus kepada pelanggan dengan pelayanan prima, bukan ‘petantang-petenteng’ bak preman Jembatan Lima…..
Mending belajar dari kampanye rokok yang adu kreativitas komunikasi padahal mereka menghadapi tantangan yang lebih berat, social campaign : merokok itu berbahaya buat kesehatan.
Jahja B Soenarjo
Ketua Umum CEO Business Forum Indonesia
Konsultan, Pembicara & Praktisi
DIREXION Strategy Consulting