Multi-Strategy

Waralaba sejatinya merupakan salah satu cara mengembangkan usaha, dan menurut UU Perdagangan waralaba merupakan salah satu cara distribusi produk (barang atau jasa) secara tidak langsung. Karena merupakan “salah satu cara”, maka sesungguhnya pelaku usaha biasanya melakukan langkah yang saya sebut sebagai “multi-strategy”. Tentu saja tulisan ini akan membahas multi-strategy terkait waralaba saja.

Waralaba dan distribusi tidak langsung non-waralaba

Yang dimaksud dengan distribusi tidak langsung non-waralaba adalah yang melibatkan “distributor” dan “pengecer” maupun pihak lain seperti sub-distributor dan agen. Pelaku usaha yang sudah memiliki distributor dan pengecer bisa saja menambahkan waralaba sebagai strategi distribusi produknya.

Tentu saja keputusan untuk menggunakan strategi waralaba memiliki beberapa konsekuensi yang harus diantisipasi. Jaringan waralaba biasanya memiliki keseragaman formula penentuan harga di suatu lokasi. Sementara toko-toko pengecer dari jaringan distribusi non-waralaba biasanya memiliki kebiasaan tawar-menawar harga sehingga seringkali menawarkan harga yang di bawah harga yang ditentukan melalui formula perhitungan harga di jaringan waralaba.

Pewaralaba harus kreatif mendefinisikan “nilai tambah” yang biasanya “intangible”, misalnya dengan menambah jangka waktu masa garansi. Nilai tambah lain berupa voucher untuk pembelian produk lain bisa saja dilakukan, tapi praktek ini berpotensi dianggap mengganggu oleh toko-toko pengecer karena bersifat nominal sehingga dipersepsi sebagai diskon yang head-to-head dengan harga jual mereka.

Waralaba dan e-commerce

Selain konteks distribusi tidak langsung, pewaralaba sangat mungkin menekuni distribusi yang menggunakan strategi e-commerce. Terkait strategi yang satu ini, idealnya order yang diperoleh melalui internet ini diberikan kepada terwaralaba yang lokasinya paling dekat dengan alamat pembeli.

Dalam praktek, kebijakan ideal ini memang tidak mudah dilaksanakan. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan stok di gerai terdekat tersebut. Oleh karena itu kadang pewaralaba membangun divisi khusus untuk menangani order melalui internet yang biasa dikenal sebagai e-commerce. Divisi ini memiliki stok yang terpisah dan dikhususkan untuk melayani e-commerce.

Waralaba dan Lisensi

Khusus di Indonesia, penggabungan strategi Waralaba dan Lisensi bisa terjadi ketika pewaralaba melakukan kerjasama joint venture (JV). Hal ini terjadi karena Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 53 tahun 2012 menyebutkan bahwa “Pemberi Waralaba tidak dapat menunjuk Penerima Waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan Pemberi Waralaba baik secara langsung maupun tidak langsung.”

Isi pasal dalam Permendag tersebut di atas mengakibatkan hubungan antara pewaralaba (pemilik merek) dengan “kemitraan JV antara pemilik merek dengan pihak lain” tidak diakui sebagai hubungan waralaba, meskipun hubungan yang dikehendaki dan disepakati para pihak adalah hubungan waralaba. Akibatnya, hubungan seperti ini terpaksa menggunakan landasan hubungan Pemberian Lisensi.

Patut dipahami bahwa dalam kejadian tersebut di atas, meski memiliki suatu kerjasama yang menggunakan Perjanjian Lisensi, mungkin saja pada saat yang sama pemilik merek memiliki kerjasama yang menggunakan Perjanjian Waralaba dengan pihak-pihak lainnya. Tentu saja ia harus mendaftarkan prospektus penawaran waralaba dan memperoleh bukti pendaftaran STPW, bila menggunakan Perjanjian Waralaba dengan pihak lain. 

Waralaba dan MLM

Waralaba yang menerapkan konsep gabungan dengan multi-level-marketing dalam arti mencari downline, atau mencari investor lagi, bukan hal yang wajar dalam praktek waralaba. Bahkan di laman FBI diungkapkan sebagai berikut:

… pyramid schemes—also referred to as “franchise fraud” or “chain referral schemes”—are marketing and investment frauds in which an individual is offered a distributorship or franchise to market a particular product. The real profit is earned, not by the sale of the product, but by the sale of new distributorships. Emphasis on selling franchises rather than the product eventually leads to a point where the supply of potential investors is exhausted and the pyramid collapses.

(https://www.fbi.gov/scams-and-safety/common-fraud-schemes/pyramid-schemes)

… skema piramida yang dikenal pula sebagai franchise fraud (kecurangan dalam waralaba) atau skema referal berantai adalah kecurangan dalam pemasaran dan investasi dalam hal seseorang ditawari hak menjadi distributor atau waralaba untuk memasarkan suatu produk tertentu. (Kecurangan ini terjadi) ketika laba-yang-sebenarnya diperoleh bukan dari jual produk, tapi dari (komisi) ketika berhasil menjual distributorship. Penekanan pada menjual waralaba dan bukan menjual produk akan mengakibatkan suatu ketika sulit menemukan investor baru dan akhirnya (bangunan) piramida rekrutmen ini ambruk.

Dalam waralaba kita melihat bahwa ada pewaralaba yang terus-menerus bergantung pada rekrutmen terwaralaba baru (menjual waralaba terus) dan tidak memperhatikan kelayakan bisnis para terwaralabanya. Ketika pewaralaba seperti ini mengalami kesulitan menjual waralabanya, maka pewaralaba biasanya menghilang dan para terwaralabanya tentu saja menjadi pihak yang dirugikan.

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com