Ragam Varian “Waralaba”

Tulisan ini untuk menjelaskan beberapa bentuk kerjasama yang mirip “waralaba”. Kita akan abaikan istilah legal yang digunakan, seperti kemitraan, BO, lisensi, paket usaha, dan waralaba. Tulisan ini untuk menjelaskan beberapa bentuk kerjasama waralaba dan sejenisnya.

Joint Venture

Joint Venture yang sering disingkat dengan JV (je-vi) adalah bentuk kerjasama yang paling sering terjadi. Seorang pemilik bisnis diajak atau mengajak teman SMA nya untuk sama-sama setor modal membuka cabang di lokasi yang baru. Dalam JV ini biasanya yang dilakukan adalah profit sharing. Oleh karena itu potensi konflik biasa terjadi pada biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan operasional. Kecermatan dalam mencatat biaya juga menjadi issue penting dalam kerjasama JV ini.

Dalam JV yang terlibat dalam mengelola bisa salah satu pihak, bisa pula semua pihak yang menanamkan modalnya ke dalam perusahaan JV tersebut. Jadi tergantung kesepakatan dan kompetensi para pihak.

Catatan: Meski entitas JV yang salah satu penyetor sahamnya adalah Pemilik Waralaba atau pemegang saham dari entitas Pemilik Waralaba dapat menjadi Penerima Waralaba, dalam regulasi waralaba di Indonesia entitas JV Penerima Waralaba tidak boleh ada saham dari Pemilik Waralaba atau pemegang saham dari entitas Pemilik Waralaba. Artinya selama larangan ini tidak direvisi, maka hubungan antara entitas JV seperti itu dengan Pemberi Waralaba harus menggunakan dasar hukum yang bukan-waralaba.

Waralaba

Berbeda dengan JV, waralaba memungkinkan pemilik merek untuk meminta imbalan atas penggunaan Merek dan sistem bisnisnya sebelum pengeluaran biaya-biaya  operasional. Tentu saja hal ini dipandang lebih menguntungkan bagi pebisnis yang telah membangun merek (dan unsur Hak Kekayaan Intelektual lainnya) dan sistem bisnisnya dengan baik.

Model waralaba tentu saja bukan tanpa kelemahan. Salah satu yang paling sering dikeluhkan adalah mengenai potensi kerugian Pemberi Waralaba. Dalam hal ini tentu saja potensi kerugiannya lebih pada citra merek dan peluang bisnis waralabanya. Hal ini dikarenakan waralaba (murni) dioperasikan oleh Penerima Waralaba. Di sini Marketing (pemasaran) dan Sales (penjualan) dapat dilihat perbedaannya. Kegiatan membangun citra merek, merencanakan dan mengeksekusi program kegiatan promosi dilakukan oleh Pemberi Waralaba, namun keberhasilan penjualan sangat tergantung pada komitmen Penerima Waralaba dalam menjalankan Pedoman Oeprasional (SOP), kualitas produk dan layanan yang diberikan kepada pelanggan, dan sebagainya.

Licensed & Operated

Saya meminjam istilah yang digunakan oleh jaringan hotel di Tiongkok yang memiliki lebih dari 2.609 gerai di akhir 2014 (sumber: Wikipedia), yaitu Homes Inn. Istilah ini lebih tepat untuk menjelaskan perbedaan waralaba murni dengan waralaba perhotelan. Waralaba berbagai merek dan manejemen hotel, Alfamart dan Indomaret sebenarnya menggunakan pola ini: pemberian lisensi dan manajemen operasional.

Dengan pola ini Penerima Waralaba tetap menanggung risiko bisnis seutuhnya, hanya saja tidak perlu pusing urusan operasional harian, termasuk pengelolaan kepegawaian. Seluruh aspek operasional diserahkan kepada Pemberi Waralaba, atau pelaksana Manajemen Operasional bisnis tersebut.

Dalam hal ini entitas, pengelola Manajemen Operasional bisa berbeda dengan entitas Pemberi Lisensi, namun umumnya kedua entitas ini terafiliasi dalam arti Pemberi Lisensi memiliki saham di entitas pengelola Manajemen Operasional tersebut.

Penerapan skema atau pola ini menuntut kecermatan dalam pencatatan pembukuan, karena Penerima Waralaba atau Penerima Lisensi berhak mengaudit Laporan Keuangan yang disajikan oleh entitas pengelola Manajemen Operasional. Tentu saja penyajian Laporan Keuangan yang sudah diaudit oleh pihak auditor independen yang sudah disepakati bersama di awal akan lebih baik dalam penerapan pola Licensed & Operated ini.

Dalam kasus tertentu, Penerima Lisensi dapat meminta kepada Pemberi Lisensi untuk menempatkan kepala bagian keuangan dari pihaknya. Tentu saja yang ditempatkan bukan sekedar orang kepercayaan tapi harus memiliki kompetensi sesuai kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemberi Lisensi.

Sewa Imbal Hasil (Revenue Sharing)

Untuk meminimalkan potensi konflik terkait Laporan Keuangan, maka pola Sewa Imbal Hasil (revenue sharing) mungkin lebih menarik bagi para pihak yang bekerjasama. Pola ini memiliki risiko yang relatif lebih adil bagi para pihak.

Pemilik lokasi memiliki risiko bahwa bisnis tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki, namun pemilik bisnis memiliki risiko kerugian di level Laba/Rugi operasional. Dalam banyak kasus, kesepakatan bentuk exit strategy dan kapan melakukan cut loss perlu dibahas sebelum mengikat kerjasama dengan pola ini.

Dengan menerapkan pola kerjasama ini, pemodal menjadi pemilik properti dan pemilik merek menjadi pelaku usaha di lokasi. Artinya seluruh pemasukan maupun Laba/Rugi operasional bisnis merupakan hak dan tanggungan pemilik merek. Perijinan dan perpajakan juga tanggungjawab pemilik merek. Pemilik lokasi hanya menyediakan lahan properti untuk berjalannya bisnis yang dikerjasamakan. Jadi berbeda dengan pola Licensed & Operated yang entitas operatornya adalah Penerima Lisensi.

Sub-varian dari pola kerjasama ini adalah mengenai kelengkapan lahan properti yang disewa, apakah sekedar tempat usaha yang kosong, atau sebagian fasilitas disediakan oleh pemilik propertinya, atau seluruh kebutuhan modal usaha disediakan oleh pemilik propertinya.

Fairness

Ujung-ujungnya, semua bentuk kerjasama yang hendak diterapkan harus menerapkan prinsip win-win dan fairness. Perhitungan proyeksi bisnis harus disiapkan dengan cermat dan disepakati para pihak. Exit strategy dan cut loss juga perlu disepakati bersama.

© 2019, Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com