

Sebagaimana kita ketahui bersama, pola usaha waralaba adalah pola usaha yang sangat “menggiurkan” bagi pemilik usaha. Bagaimana tidak? Seorang pemilik usaha dapat dengan waktu singkat melakukan ekspansi yang masif atas usahanya dengan “menggunakan” modal dan sumber daya milik franchisee-nya.
Oleh karena potensi yang luar biasa ini, adalah kemudian menjadi normal bagi pemerintah untuk turun tangan mengatur sektor usaha ini.
Penulis selaku pribadi sangat setuju atas campur tangan pemerintah dalam melakukan pengaturan atas sektor waralaba, sepanjang pengaturan tersebut bertujuan untuk memperkuat sektor waralaba nasional. Akan tetapi, penulis juga mencatat terdapat pendapat di kalangan pelaku usaha waralaba nasional yang menyatakan keberatan terhadap beberapa syarat / aturan yang ditetapkan pemerintah di bidang waralaba ini.
Beberapa keberatan yang penulis catat diantaranya adalah keberatan untuk memasukkan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit ke dalam prospektus, serta aturan pembatasan gerai milik sendiri (company-owned outlet) bagi pelaku usaha toko modern dan jasa makanan. Hal ini menjadikan calon franchisor menjadi enggan untuk menggunakan pola waralaba (yang dalam hal ini berarti harus juga mendaftarkan prospektusnya serta memperoleh surat tanda pendaftaran waralaba/STPW).
Pada akhirnya, tidak sedikit dari calon-calon “franchisor” tersebut di atas yang memilih pola kerja sama lain, semisal melalui perjanjian kerja sama usaha atau perjanjian lisensi. Dalam hal ini, berdasarkan pengalaman penulis, perjanjian kerja sama usaha sering kali tidak dapat merangkum keseluruhan aspek perlindungan terhadap merek yang dikerjasamakan. Sementara itu, perjanjian lisensi juga sering kali kurang menyentuh aspek komersial dari usaha waralaba itu sendiri. Oleh karena itu, untuk lebih mengakomodir aspek-aspek komersial dari transaksi waralaba, dan tanpa mengurangi unsur perlindungan merek, penulis menemukan bahwa suatu pola alternatif yang dinamakan “Deconstructed Franchise Arrangement” dapat dipakai disini.
Deconstructed franchise arrangement pada intinya adalah tindakan “memecah” suatu perjanjian waralaba menjadi beberapa perjanjian yang mendiri namun saling terkait. Biasanya perjanjian-perjanjian yang digunakan dalam pola deconstructed franchise arrangement adalah:
- Perjanjian Lisensi (License Agreement);
- Perjanjian Bantuan Teknis (Technical Assistance Agreement); dan
- Perjanjian Pemasokan (Supply Agreement).
Perjanjian Lisensi dalam hal ini diperuntukkan untuk mengatur perihal pemberian izin penggunaan merek (lisensi merek) dari franchisor kepada franchisee. Sementara itu, Perjanjian Bantuan Teknis biasanya mengatur perihal dukungan/support dari franchisor kepada franchisee, termasuk pula pengaturan mengenai hal-hal yang bersifat operasional, seperti penyediaan SOP (Standard Operating Procedures) dan pengaturan perihal kepatuhan franchisee terhadap SOP tersebut. Perjanjian Pemasokan pada pokoknya mengatur perihal pasokan/supply dari franchisor kepada franchisee untuk kepentingan usaha waralaba.
Perlu kiranya penulis kemukakan bahwa selain perjanjian lisensi (yang biasanya selalu ada karena dalam waralaba selalu ada unsur pemberian izin penggunaan merek), perjanjian-perjanjian yang lain dapat mengikuti jenis dan pola usaha yang diwaralabakan. Sebagai contoh, apabila dalam usaha waralaba yang bersangkutan tidak ada kegiatan pemasokan/supply barang, akan tetapi terdapat kegiatan penempatan dan rotasi tenaga kerja (manpower placement), maka perjanjian pemasokan/supply agreement dapat saja diganti degan perjanjian lain yang mengatur perihal penempatan atau rotasi tenaga kerja tersebut.
Penulis menemukan bahwa, pola deconstructed franchise arrangement ini merupakan salah satu pola alternatif yang ideal bagi calon “franchisor” (yang karena satu dan lain hal tidak ingin menggunakan pola waralaba) karena pola ini memiliki fleksibilitas untuk mengakomodir aspek-aspek komersial, dan juga tidak mengurangi aspek perlindungan terhadap merek milik franchisor.
Terlepas dari hal-hal yang penulis kemukakan di atas, tentunya apabila pelaku usaha memiliki kapasitas untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah sebagai seorang franchisor, menggunakan pola waralaba yang konsekuen dengan melakukan pendaftaran usaha waralaba serta memiliki STPWadalah merupakan hal yang paling ideal.
Demikian, semoga bermanfaat.
© 2019, Emir Pohan
Konsultan Hukum Waralaba berkantor di Jakarta
Email: emir.pohan@eplaw.id