Pilihan Sistem Operasional; Franchisee or Franchisor Operator


Sistem operasional bisnis franchise di Indonesia memberi dua pilihan, mau terlibat langsung atau hanya menunggu hasil.
 
Di Indonesia, sistem operasional bisnis franchise agak sedikit unik. Para pranchisor di bisnis ini melakukan modifikasi yang disesuikan dengan budaya investasi yang berkembang sesuai kecenderungan para peminat waralaba. Meskipun sesungguhnya, secara konseptual, operasional di bisnis franchise hanya mengenal satu sistem. Yaitu, para investor atau pembeli hak waralaba atau istilah teknisnya franchisee merupakan bagian dari sistem operasional yang harus terjun langsung dalam operasional bisnis.
 
Di Amerika, sistem operasional seperti ini sangat ketat. Kisah Bambang Rahmadi mungkin bisa menjelaskan bahwa system franchise hanya mengenal satu sistem operasi. Saat itu, pada 1989, di kawasan Orchild Road Singapura, Bambang Rahmadi, mengikuti training sebelum disahkan sebagai pembeli hak waralaba master franchise Mc Donald’s.
 
Bayangkan, orang sekelas Bambang yang baru melepaskan jabatan Presiden Direktur Panin Bank, dan juga menantu wakil Presiden Sudharmono, harus mengenakan seragam T-shirt merah dan topi berlabel M khas Mc Donald’s. Dalam pelatihan yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, Bambang harus melakukan berbagai pekerjaan kasar seperti pelayan pada umumnya.
 
Di Indonesia, kultur entreprenenurship agak sedikit lemah. Sehingga para franchisor melakukan pengembangan sistem operasional. Ada dua sistem operasional yang dikembangkan, yang masing-masing memiliki keungggulan, yaitu franchisee operator dan franchisor operator.
 
Franchisee Operator
Sistem ini seperti sudah disinggung sedikit di atas menunjukkan adanya keterlibatan penuh dari investor atau franchisee dalam operasional bisnis. Utomo Njoto, pengamat franchise dari FT Consulting menjelaskan, konsep franchisee operator adalah kondisi dimana franchisee turun langsung mengawasi operasional bisnisnya. Beberapa dari mereka bahkan turun langsung mengawasi bisnisnya.
 
Sistem ini menghajatkan franchisee memiliki beberapa prasyarat, yaitu kemampuan mengelola bisnis secara keseluruhan, meliputi pengelolaan keuangan dan SDM. Hal itu tentu saja beriringan dengan support training yang diberikan franchisor.
 
Sistem ini sebetulnya secara konsep merupakan yang paling tepat dalam bisnis franchise. Setidaknya menurut Anang Sukandar, Ketua Kehormatan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), bahwa pada awalnya bisnis franchise muncul untuk mengatasi dua hal, persoalan SDM dan permodalan yang dimiliki oleh pengusaha (franchisor). Sebab itu, keterlibatan franchisee dalam mengelola operasionalisasi bisnis franchisenya jelas dibutuhkan.
 
Riset yang dilakukan oleh konsultan perencana investasi dan keuangan dari Zapfindo Arzieta Perdana (ZAP Finance) juga menyebutkan, sistem franchisee operator lebih menjamin kesuksesan karena franchisee ikut turun tangan pada bisnisnya. “investasi dalam bisnis franchise memiliki tantangan dimana si pemilik (franchisee), mau tidak mau harus ikut turun tanga,” Prita Hapsari Ghozie dari ZAP Finance.
 
Prita menjelaskan, berdasarkan survey yang dilakukan terhadap berbagai pengalaman para pemilik waralaba menyebutkan, jika bisnis mau sukses dan untung, maka sang pemilik (franchisee) juga harus ikut turun tangan dalam operasional meskipun tidak perlu setiap hari. Berbeda, katanya, dengan Investasi di logam mulia, saham, maupun properti hampir tidak memerlukan campur tangan si investor dalam pengelolaannya. “Karena tugas kita hanyalah memilih produk investasi, kemudian kita bisa diamkan investasi tersebut,” jelasnya lebih lanjut.
 
Sistem franchisee operator di Indonesia diterapkan oleh beberapa bisnis franchise. Sebut saja diantaranya franchise broker properti juga menggunakan sistem franchisee operator. Rata-rata franchisor yang memberlakukan franchisee operator beralasan, mereka ingin franchisee turut kreatif dalam menjalankan bisnisnya. Sebab bisnis apa pun, memerlukan keterlibatan pemiliknya untuk mencapai kesuksesan.
 
Namun, kata  Anang Sukandar,  karakteristik masyarakat Indonesia lebih menyukai bisnis franchise sebagai alat investasi yang dapat memberikan pendapatan pasif. Karena itu franchisor di Indonesia menawarkan konsep operasional yang lain, dalam menggarap peminat bisnis waralaba.
 
Franchisor Operator
Sistem ini juga dikenal dengan istilah franchise investor. Yaitu, franchisee hanya menyediakan dana investasi dan meminta franchisor yang mengoperasikan bisnisnya
 
Sistem kedua ini lebih banyak diminati oleh peminat hak waralaba di Indonesia. Beberapa merek besar yang menerapkan system ini antara lain, Alfamart dan Indomaret.
 
Sistem ini berkembang di Indonesia karena factor latar-belakang pembeli hak waralaba yang menjadikan bisnis bukan sebagai—meminjam istilah Robert T, Kiyosaki– perpindahan dari satu kuadran kehidupan ke kuadran yang lain. Sebagian besar dari mereka masih menganggap sampingan atau tidak mau melepas pekerjaan utama. Mereka menunggu untuk melihat keberhasilan bisnis itu terlebih dahulu.
 
Background dari pembeli hak waralaba di Indonesia tidak hanya masyarakat umum yang ingin terjun langsung ke bisnis. Sebagian besar dari mereka adalah professional yang masih bekerja di sebuah perusahaan. Bahkan ada politisi dan birokrat  yang menjadikan hak waralaba sebagai investasi masa depan.
 
Sistem ini tentu saja memudahkan bagi franchisee karena tidak perlu susah payah menjalankan bisnis. Semua tanggung jawab operasional dipercayakan kepada franchisor.
 
Sistem seperti ini banyak yang berhasil. Setidaknya jika melihat prestasi yang dilakukan oleh Alfamart dan Indomaret, yang bisnisnya terus berkembang dengan menggunakan sistem operasional seperti ini.
 
Namun menurut pengamat franchise dari Ben Warg Consulting, Bije Widjajanto system ini memiliki kelemahan. Semua persoalan di gerai langsung ditangani oleh franchisor. “Tindakan pasif franchisee seperti ini sering kali menjadi penyebab utama gagalnya gerai franchise,” kata Bije seperti ditulis dalam bukunya ‘Franchise Cara Aman Memulai Bisnis’
 
Rofian Akbar