

Konsep franchise atau BO merupakan salah satu cara memodernisasi usaha sehingga bisa menjadi daya tarik investasi bagi peminatnya. Seperti kata Jahja B Soernarjo, “You’re not just running the business, but you are also creating your own future.”
Ketua Kehormatan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Anang Sukandar sejak awal sudah mengingatkan agar para pendatang baru di industry franchise dan BO harus memiliki niat yag luhur untuk mengembangkan bisnisnya sehingga membawa manfaat bagi para mitranya.
Diakui, maraknya merek pendatang baru ini menjadi pilihan yang beragam bagi para investor untuk memulai bisnis. Sebagian ada yang menawarkan low invenstment atau mediaum, atau high investment. Terlepas dari besaran investasi, merek pendatang baru ini diharapkan bisa memberikan nilai tambah bagi peminatnya.
Karena itu, Anang Sukandar menyarankan agar para franchisor tidak sekadar cari untung, tetapi ditargetkan sebagai usaha jangka panjang yang memberi benefit keuntungan bagi mereka yang mau menanamkan uangnya di bisnis tersebut.
Menurut Jahja, pengamat franchise dari Direxion menuturkan, merek pendatang baru di industry franchise dan BO ini bisa kuat dan bertahan menghadapi persaingan selama mengikuti empat elemen. Pertama, strategi yang dijiwai oleh visi, sehingga bisnis baru ini jelas mau dibawa kemana, dan bagaimana strategi yang akan menjadi langkah pokok menuju sasaran tersebut.
Kedua, merek, sebagai identitas bisnis maupun produk juga harus jelas, dan mesti dikomunikasikan kepada pasar sasaran. Ketiga, faktor manajemen, sebagai sistem yang memandu jalannya bisnis. Dan keempat, manusia, sebagai elemen inti yang membuat bisnis tersebut bergerak dinamis atau statis, kreatif atau pasif.
Dia mengakui, bisnis yang masuk ke waralaba atau BO karena melihatnya sebagai alternatif strategi pengembangan bisnis yang lebih cepat sekaligus lebih minim modal, atau juga sebagai salah satu strategi distribusi produk. Namun, para pemain baru ini akan menghadapi persaingan yang ketat sehingga perlu mematangkan differensiasi dan giat melakukan berbagai inovasi. “You’re not just running the business, but you are also creating your own future. Usahakan tidak sekedar ikut-ikutan, atau kalaupun terpaksa, dapatkah Anda melakukan yang harus lebih baik dari kompetitor yang sudah ada,” katanya.
Karena itu, menurut Jahja, merek-merek pendatang baru ini jangan sampai melakukan kesalahan-kesalahan umum yang berakibat bisnis tidak bertahan lama. Kesalahan umum, menurut Jahja, pertama, terlalu agresif dan gegap gempita ekspansi tanpa memperhatikan kontinuitas usaha franchisee. Bahkan, ungkap Jahja, ada anggapan kalau buka 100 lalu tutup 30 sampai 50 itu masih wajar, toh tetap ekspansi buka lagi. “Tidak heran banyak usaha model ini buka-tutup, khususnya bila gerai non atau semi-permanen dan modal kecil. Sudah banyak anggapan bahwa banyak franchisor hanya mengejar setoran awal,” katanya.
Kedua, one-man ataupun one-couple show. Bisnis berkembangan hinga puluhan gerai, tapi manajemen tidak juga dibangun secara professional, masih diurus sendiri atau suami-isteri sampai ke tetek-bengek, “Ini merupakan cermin sulitnya menumbuhkan jiwa wirausaha yang siap menuju model bisnis professional,” katanya.
Selanjutnya, tandas Jahja, bagi para peminat BO maupun waralaba tentunya harus mengevaluasi dengan seksama bagaimana BO tersebut selama ini dijalankan dan dikembangkan.
Utomo Njoto, pengamat franchise dari FT consulting mengakui, tidak banyak pewaralaba yang memahami betul situasi keuangan bisnisnya dalam konteks menghadirkan hubungan yang win-win dengan investor. Entah sengaja atau tidak, katanya, tak jarang publikasi proyeksi keuangan yang ada terlihat menyesatkan. “Ada hidden cost/expenses, yaitu unsur biaya yang tidak ditampilkan. Angkanya too good to be true. Kadang biaya gaji dan sewa tempat dibikin sedemikian rendah. Lalu omset dibikin sedemikian tinggi. Akibatnya, ketika dijalankan ternyata angka-angka ini fiktif, angka sales yang dicantumkan kadang hanya tercapai di kurang dari 30% outlet milik pemberi waralaba,” katanya.
Selain itu, tambah Utomo, beberapa pewaralaba juga tidak membangun protopipe bisnis dengan baik, serta kurang pengetahuan dan pengalaman menduplikasi gerai bisnisnya.
Menurut Utomo, sejak dini, pewaralaba harus bisa mempersiapkan langkah antisipasi guna membuat bisnisnya sustain. Langkah untuk mengantisipasinya, kata Utomo, pewaralaba harus mampu menjelaskan konsep atau model bisnis yang diwaralabakan, sumber pendapatan, profil pelanggan, dan strategi pemasarannya.
Sistem bisnisnya juga harus dibangun dengan cermat, mulai dari sistem SDM, analisis kinerja bisnis, dan pengawasan standar kualitasnya. Prototipe harus dibangun dengan cermat. Kemudian model waralaba yang diterapkan juga harus jelas serta spesifik alias tailored, bukan hasil toleh kanan toleh kiri, dan menjiplak bisnis sejenis.
Bagi investor, kata Utomo, tak ada nasihat yang lebih berharga daripada “harus jeli meneliti angka-angka yang disajikan pewaralaba”. Selain itu, mengukur kompetensi diri dan tingkat komitmen yang bisa diberikan pada bisnis yang hendak dimiliki merupakan hal yang penting pula untuk dipertimbangkan investor.
Sementara itu, Bije Widjajanto, pengamat franchise dari Benwarg Consulting menjelaskan, untuk bisa bertahan, merek pendatang baru harus mempersiapkan beberapa faktor kritis. Pertama produk yang ditawarkan harus benar-benar mempunyai manfaat dan dibutuhkan oleh pasar.
Kedua, produk tersebut harus dikemas dalam sebuah konsep bisnis yang tepat, permanen dan skala bisnis yang cukup. Ketiga, bisnis tersebut harus diperhitungkan dengan cermat antara investasi, pertumbuhan perputaran serta kemampuannya mengembalikan modal.
Keempat, perlu disusun sistem operasi bisnis yang rapi dan mampu mengakomodasi seluruh arus informasi operasional yang bisa menjadi alat kontrol. Dan kelima, yang paling penting harus didukung dengan organisasi yang profesional dan mampu mengembangkan strategi dan memberi dukungan efektif terhadap operasional seluruh jaringan gerai waralaba yang dimilikinya.
“Hal di atas menurut saya hukumnya mutlak bagi pemberi waralaba untuk memastikan jaringan waralabanya dapat bertahan hidup dan sukses. Waralaba yang sukses secara sederhana dapat dilihat dari rasio gerai waralaba yang diperpanjang setelah masa waralabanya berakhir,” kata Bije.
Menurut Bije, penerima waralaba yang tidak memperpanjang perjanjian waralabanya bisa disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama karena bisnisnya tidak menguntungkan, baik karena tidak adanya dukungan ataupun karena memang produk dan konsep bisnisnya tidak potensial. Kedua, pengusaha pemberi waralabanya tidak lagi bermanfaat bagi investor penerima waralaba.
Memang, maraknya merek pendatang baru di industry waralaba dan BO bisa mengindikasikan bisnis dengan pola ini menjadi semacam acuan untuk menggerakkan ekonomi mikro. Sehingga, masyarakat ikut merasakan manfaat dengan mulai berbisnis sesuai dengan daya jangkau investasi mereka.
Tetapi, seperti yang menjadi kekhawatiran semua pengamat, para pemain baru di bisnis waralaba adan BO ini harus punya komitmen yang serius untuk pengembangan jangka panjang bisnisnya, untuk terus menerus memperbaiki sistem serta tingkat profitabilitas yang win-win dengan para terwaralabanya. Dengan demikian, ke depan, bisnis ini akan tumbuh bukan hanya dari sisi kuantitas, tetapi kualitasnya pun bisa dipercaya oleh para calon inevstornya
Rofian Akbar