

Menjadi pewaralaba harus memiliki integritas, alias beretika tinggi. Saya tidak menutup kemungkinan adanya pewaralaba yang buruk etikanya, tapi “terlihat sukses”. Mereka canggih dalam pencitraan.
Tapi mau sampai kapan bermain dengan pencitraan?
Apa kata (kesan) para terwaralaba anda tentang Anda? Apa kata para pemasok Anda tentang Anda?
Tepat waktu membayar pemasok
Beberapa pewaralaba makanan mengalami kehancuran karena selalu terlambat membayar pemasok. Mereka berpikir kalau pemasok lama pergi, toh akan datang pemasok baru. Mereka tidak sadar bahwa perilaku menunda pembayaran hanya akan dilayani oleh pemasok yang kualitas produknya juga buruk, yang akhirnya menyebabkan produk yang dijual jaringan waralaba itu ikut memburuk.
Bisnis sudah teruji
Integritas berarti pula tidak menjual bisnis yang masih belum teruji menghasilkan laba yang baik sebagai waralaba. Juga, jangan menjadikan terwaralaba anda sebagai cash cow (sapi perahan) untuk menutup kerugian gerai-gerai milik Anda.
Beberapa pewaralaba yang mengakibatkan kerugian terhadap sebagian besar terwaralabanya akhirnya sulit membangkitkan kembali merek waralabanya. Meski waralaba tidak menihilkan resiko, tapi bila kegagalan dialami lebih dari separuh terwaralaba, dan ini menjadi word of mouth yang negatif, maka cepat atau lambat merek ini akan makin sulit untuk menjual waralabanya.
Seperti cabang sendiri
Integritas berarti memperlakukan gerai milik terwaralaba seperti gerai milik sendiri. Jangan menunda support ketika dibutuhkan oleh terwaralaba. Jangan mengabaikan keluhan dan kesulitan yang dialami terwaralaba anda, hanya karena Anda tidak ikut menanamkan modal di sana.
Memang dalam bisnis ada berbagai kendala, terutama dalam ketersediaan SDM. Itu sebabnya semboyan “the lowest hanging fruit” perlu mendapat perhatian. Pada tahap awal, bukalah gerai waralaba yang berpeluang tinggi untuk sukses, hindari lokasi yang beresiko tinggi, dan fokus di wilayah-wilayah yang cukup mudah anda jangkau untuk memberikan support.
Harus diakui, kita menjumpai banyak komunikasi yang tidak efektif dalam praktek bisnis waralaba di Indonesia saat ini. Pewaralaba kadang sengaja tidak mengangkat telepon dari terwaralaba. Atau bila memang tidak sempat menjawab telepon terwaralaba, mereka tidak menelepon kembali. Banyak pula pebisnis yang mengaku stress setelah menjadi pewaralaba, karena ditelepon terus oleh para terwaralaba.
Mengapa hal itu terjadi?
Under Deliver
Satu hal yang pasti, biasanya terjadi under deliver karena over promise (janji yang berlebihan). Akibatnya terwaralaba menagih janji yang berlebihan itu. Misal ada pewaralaba menjanjikan bertanggungjawab untuk mencarikan pegawai, padahal tidak mudah untuk mencari pegawai.
Seyogyanya sejak awal pewaralaba harus bicara sejujurnya bahwa mencari pegawai adalah tugas terwaralaba, dan pewaralaba akan membantu. Kalau sudah janji membantu, harus jelas pula langkah-langkah atau tindakan yang sudah dilakukan. Dengan demikian, bila memang ketersediaan calon pegawai sedang sulit, pewaralaba dapat membuktikan upaya atau kerja keras mereka dalam membantu terwaralaba mencari pegawai.
Under deliver yang lain misalnya penjualan tidak mencapai target. Bila pewaralaba menjanjikan target itu mudah dicapai, maka ia dalam masalah. Apalagi kalau target itu ternyata tidak pernah ia capai sebelumnya, sehingga proyeksi keuangan yang disampaikan dapat disebut fiktif belaka.
Bila target itu memang pernah dicapai di beberapa gerai, lebih baik lagi bila di banyak gerai, maka kegagalan mencapai target oleh terwaralaba bisa dikatakan sebagai resiko bisnis, dengan catatan survey lokasi dilakukan dengan benar.
Nah, ketika omset tidak mencapai target, terwaralaba tidak punya tempat bertanya kecuali kepada pewaralaba. Dalam kasus seperti ini, seyogyanya pewaralaba cepat tanggap dan memberikan bimbingan dan konsultasi untuk mencari penyebab kinerja bisnis yang tidak memuaskan itu. Meski tidak ada jaminan pasti berhasil diatasi, tanggapan dan komunikasi yang positif dari pewaralaba sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, para terwaralaba juga perlu memaklumi kendala-kendala yang dihadapi pewaralaba dalam upaya menyelesaikan masalah mereka. Di situlah perlunya perwakilan semacam FAC, yaitu supaya komunikasinya lebih konstruktif.
Utomo Njoto
Senior Franchise Consultant dari FT Consulting
Website: www.consultft.com
Email : utomo@consultft.com