

Pertumbuhan franchise, khususnya franchise lokal memang agak menurun beberapa tahun terakhir ini. Meskipun ada anggapan waralaba tumbuh pesat di Indonesia, tapi itu masih sebatas peluang bisnis biasa saja atau BO, bukan franchise.
Nyatanya saya mencari usaha yang bisnis franchise sekitar 75 saja untuk road show ke beberapa daerah itu cukup sulit. Saya hanya mendapatkan 64 usaha franchise. Ini memang mengecewakan mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah di atas 200 juta dan masyarakat kelas menengah berkembang.
Lantas masalahnya di mana? Saya mengidentifikasi bahwa ada beberapa masalah yang menjadi ganjalan pertumbuhan franchise akhir-akhir ini. Pertama, banyak orang memulai usaha franchise yang tujuannya mau cari duit cepat saja. Dia tidak mikir bahwa itu tanggung jawab. Udah dapat duit udah tidak mau lagi melayani franchiseenya. Jadi mindset seperti itu harus diubah.
Kedua, banyak juga pengusaha yang tidak paham franchise. Dia mendirikan usaha dengan tujuan mau difranchisekan. Mestinya jangan begitu. Harusnya usaha waralaba itu berasal dari usaha yang sudah ada dan berhasil. Kalau belum berhasil sudah dituju untuk franchise itu hanya mau cari duit cepat saja.
Ketiga, pemain franchise itu banyak yang asalan. Banyak usaha-usaha baru muncul sudah diwaralaba. Usahanya baru dimulai tapi sudah menawarkan peluang waralaba. Para pelaku franchise seperti itu jelas tidak memiliki unsur wiraswasta, tidak tekun dan kreatif. Jadi itu memang budaya instan bukan budaya wiraswasta.
Apalagi saat ini banyak tokoh-tokoh yang menyesatkan. Mereka memberi anjuran kepada pelaku bisnis BO untuk diarahkan ke kemitraan. BO itu harusnya diarahkan ke usaha unggulan, baru dimitrakan. Jangan diarahkan ke kemitraan, ya rusak jadinya.
Kurang banyaknya jumlah pelaku franchise di Indonesia memang dipengaruhi jumlah UMKM yang ada. Saat ini saja ada sekitar 50 juta UMKM di Indonesia. Dari jumlah tersebut yang benar-benar pengusaha (unggulan) UMKM juga sedikit. Jumlah pengusaha saja menurut Ciputra Group 0,24%, dari penduduk Indonesa yang kurang lebih 240 juta jiwa. Ukurannya mesti 2% dari 240 juta penduduk. Hanya 4,8 juta. Tapi yang benar-benar pengusaha cuma 400 ribu. Itu masih kurang banget.
Padahal China, punya 2% dari 1,4 miliar, Singapura 7%, dan US 11%. Sehingga income perkapita mereka juga sangat tinggi. Hubungan income perkapita ada kaitannya juga dengan jumlah franchise. Kita kan baru 4000 US income perkapitanya. Oleh Thailand dan Filipina kita juga kalah.
Dorong UMKM jadi Usaha Franchise
Franchise itu kan memang berasal dari BO atau UMKM lah. Itu mesti didorong. Akan tetapi UMKM yang sudah punya sesuatu lah yang mengarah kesuksesan yang harus didorong. Ibu Sri Agustina (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag) mencari sekitar 5000 calon UMKM yang mau dibina bersama AFI, yang didapat tidak sampai segitu hanya ratusan UMKM saja. Sekitar 160 UMKM yang didapat, itu kan kecil.
Jadi harus bagaimana? Menurut saya harus ada business school, universitas dan perguruan tinggi seperti Atmajaya itu harus memiliki semacam incubator UKM. Perusahaaan besar juga bisa menggiatkan CSR untuk pengembangan UMKM. Terutama anak-anak muda yang menggeluti UMKM. Selain itu, perbankan bisa menerapkan strategi micro franchising, sehingga base-nya bisa dibina yang mau difranchisekan. Itu memang peranan pendanaan.
Malaysia pada 1995 sudah memulai program 8 tahun pembinaan UMKM menjadi franchise; tahun 2003 sudah selesai dan bisa dilihat hasilnya dengan baik. Dahulu AFI punya usulan untuk membangun Franchise Resource Center atau pusat pemberdayaan franchise di setiap provinsi. Di Franchise Resource Center nantinyaada lembaga pelatihan, pendidikan, perbankan, perpustakaan, peranan asosiasi juga.
Karena kalau melihat pertumbuhan UMKM di Indonesia ini memang masih belum membanggakan. Dari 160 yang kita seleksi untuk menjadi franchise unggulan, yang berhasil lulus tidak banyak hanya 15% saja atau sekitar 24 UMKM. Jadi kualitasnya masih minim. Itu kita ada cara rekrutmentnya bersama Kemendag.
Saya tidak tahu prakteknya bagaimana untuk mengembangkan kualitas UMKM. Unsur entrepreneurship-nya bagaimana. Kita sudah berikan konsultasi juga ada mentor. Akan tetapi mentor dan pelatih juga harus ditingkatkan. Konsultan franchise saja bisa dihitung dengan jari saat ini. Jadi serba kekurangan. Kalau harus mulai dari mana ya bingung sendiri.
Anang Sukandar
Chairman Asosiasi Franchise Indonesia