Mengkaji Kinerja Finansial dan Legalitas Bisnis Franchise

Salah satu langkah penting ketika membeli franchise adalah menilai kinerja finansial dan aspek legal bisnis franchise.  

Ada banyak faktor untuk menilai kinerja finansial franchisor. Langkah awal tentu melihat Laba Rugi-nya di “store level”, dari tahun ke tahun. Calon franchisee harus melihat neraca laporan rugi laba untuk menilai kinerja finansial franchisor, terutama di store levelnya. “Kalau di corporate level (konsolidasi), lebih menjelaskan gambaran keseluruhan, untuk verifikasi angka di store level,” ujar Utomo Njoto, Konsultan dari FT Consulting.  

Selain itu, calon franchisee juga perlu menghitung proyeksi peket investasi yang diberikan franchisor sebelum membeli franchise. “Dengan asumsi angka yang disajikan benar dan sah, cukup melihat EBITDA (laba sebelum depresiasi) di store level, kalikan 24 atau maksimal 30, angka hasil perkalian itu menjadi batas maksimal belanja modal (capex) dan biaya-biaya pra operasional,” jelas Utomo. 

Namun seringkali calon franchisee luput ketika menilai paket invetasi yang diberikan franchisor. Biasnaya, kata Utomo, asumsi omset yang tidak diverifikasi dengan jumlah pelanggan per hari dan belanja per pelanggan. “Juga paket investasinya tidak komprehensif, kadang masih ada hal-hal lain yang “nebeng” perlengkapan di rumah (kulkas, mobil/motor, dsb). Bisa juga biaya keterlibatan franchisee yang tidak diberi nilai semacam gaji bulanan, padahal ia harus terlibat penuh tiap hari,” ungkapnya. 

Utomo mengatakan, cepatnya BEP tidak selalu menjadi menjadi daya tarik pembeli waralaba.  Hanya saja aspek trend penjualan bisa terus menanjak atau sebaliknya akan menurun dalam waktu dekat harus diwaspadai. Namun franchise yang potensial itu umumnya, kata Utomo, memiliki BEP yang cepat. “Trend penjualan bisa terus menanjak atau sebaliknya akan menurun dalam waktu dekat harus diwaspadai, juga kompetensi tim manajemen /support-nya,” katanya. 

Tak dipungkiri, para franchisor umumnya begitu tinggi memberikan janji yang menguntungkan kepada calon franchisee. Tap menurut Utomo, wajar saja, walaupun seharusnya tidak demikian. “Franchisor jangan jualan “janji” dan “target” yang sebenarnya sulit dicapai, termasuk oleh franchisor sendiri,” jelasnya.  

Utomo menganjurkan kepada calon franchisee untuk tidak selalu melihat profit saja ketika membeli franchise. Apalagi jika franchisee tersebut membeli franchise yang owner operator. “Kalau owner-operator, harus diperhatikan PASSION-nya. Passion beda dengan hobi. Passion ini bisa menikmati rutinitas kesehariannya. Hobi belum tentu bisa dinikmati ketika dilakukan tiap hari,” bebernya. 

Akan tetapi, kata dia lagi, menyelidiki seberapa menguntungkan usaha franchisor juga penting, salah satunya dengan observasi outletnya. “Verifikasi angka-angka yang dicantumkan dalam penawaran franchise-nya,” terangnya. 

Selain itu, yang tak kalah penting melihat dengan detail kontrak perjanjian franchise. Karena setiap kewajiban identik dengan biaya. Kata Utomo, bisa saja ada kewajiban yang belum dimasukkan sebagai unsur biaya dalam simulasi keuangannya. “Kontrak perjanjian franchise yang baik itu yang cukup komprehensif untuk mengantisipasi kesalahpahaman,” tegasnya.

Umumnya, kata Utomo,  calon franchisee abai melihat bagian kontrak terkait Syarat dan biaya perpanjangan, larangan atau pembatasan, syarat dan mekanisme pengalihan hak waralaba kepada pihak lain. “Hal-hal yang bisa mengakibatkan termination secara otomatis oleh franchisor, dan masih banyak lagi,” tuturnya.

Calon franchisee, lanjut Utomo, perlu juga menanyakan ke beberapa franchisee yang sudah bergabung. “Tapi calon franchisee harus hati-hati dengan informasi yang didapat. Omset tidak tercapai bisa juga karena kesalahan manajemen oleh franchisee. “Tanyakan pencapaian omset yang ditargetkan (kalau bisa diperoleh infonya), kelancaran supplies, hal-hal yang sesuai dan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak terkait menjalankan bisnis tsb,” tegasnya. 

Setali tiga uang dengan Utomo. Rachmat AN, Owner Franchisefirst juga menilai penting mengkaji perjanjian warala agar tidak merugikan masing-masing pihak. “Karena perjanjian yang baik seharusnya aspek legalnya yang dicantumkan didalamnya benar-benar valid,” katanya. 

Untuk itu, kata dia, dibutuhkan peran notaris dalam menyaksikan perjanjian waralaba. Setidaknya, notaris mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang waralaba sehingga dapat membantu mitra yang ingin mengambil sebuah bisnis waralaba. “Karena notaris adalah wakil pemerintah dalam hal penyuluhan hukum kepada masyarakat,” jelasnya.

Mengkaji Aspek Legalitas

Rachmat mengatakan, calon franchisee harus memperhatikan aspek legalitas bisnis franchose. “Karena ketika membeli waralaba kita membutuhkan kepastian hukum. Kepastian itu mengenai sebuah legalitas karena dengan legalitas yang jelas meminimalkan potensi konflik dengan pihak ketiga atau dengan para mitra,” tandasnya. 

“Sebaiknya waralaba tidak dimiliki secara personal tetapi lebih baik berbadan hukum. Karena kedudukan badan hukum dimata negara sangatlah jelas. Salah satunya dengan pendirian PT sebagaimana undang-udang perseroan terbatas nomor 40 tahun 2007,” sambungnya.  

Selain itu, calon franchise juga harus melihat status merek franchise. Bisnis franchise yang dibeli dari franchisor harus mendapatkan pengakuan dari pemerintah setempat berupa SIUP, TDP, Tanda Daftar Pariwisata, Tanda Daftar Usaha Pendidikan. “Di mana semua perijinan di franchisor harus dipenuhi dahulu. Seperti akta pendirian badan hukum oleh notaris, dan didaftarkan pada Dirjen AHU di Jakarta untuk tingkat PT, sementara untuk level CV didaftarkan di pengadilan setempat,” jelasnya.  

“Franchisor juga harus mendaftarkan mereknya, harus berhati-hati dengan jenis-jenis pendaftaran merek yang banyak karena ini merupakan celah bagi orang yang nakal untuk membidik kelas merek yang belum didaftarkan. Ketika sudah berjalan tiga tahun, franchisor harus mengurus STPW di Direktorat Bina Usaha Kementerian Perdagangan RI,” 

Sekali lagi, kata Rachmat, calon franchisee harus melihat legalitas untuk mendapatkan kepastian hukum dalam arti siapa pemiliknya, penanggung jawabnya, status hak kekayaan intelektualnya, dan status STPWnya. Pasalnya, jika ia abai dengan aspek lehal maka calon mitra yang berangan-angan mencari untung bisa-bisa menjadi buntung. “Karena tidak jelas siapa penanggung jawab perusahaan tersebut, bagaimana status kekayaan intelektualnya apakah sudah sertifikat atau belum,” tegasnnya.  

Lalu bagaimana calon franchisee melihat legalitas merek franchise di HKI? “Seharusnya franchisee harus mengecek status kepemilikan kekayaan intelektual dari sebuah waralaba dengan bertanya pada ahlinya. Atau pihak-pihak yang mengerti tentang kekayaan intelektual,” jawab Rachmat. Karena sebuah merek bisa saja dimohonkan untuk mendapatkan sertifikat, tetapi kata, dia, belum tentu disetujui menjadi sebuah kekayaan intelektual pemohon. 

“Jika sebuah bisnis waralaba yang mengawali bisnisnya dengan aspek legalitas tadi maka dapat dikatakan ia sudah memiliki itikad baik untuk membangun bisnis waralabanya dengan baik pula,” tambah Rachmat.  

Menurut Rachmat, celon franchisee tidak harus membawa pengacara untuk memastikan legalitas usaha frachise, “tetapi dalam kategori ekstrim yang nilainya sangat tinggi itu perlu, tetapi pengacara yang mengerti waralaba,” ucapnya.  

Rachmat mengatakan, seharusnya Kementerian Perdagangan memiliki list waralaba yang dianggap layak untuk investasi. “Karena jika sebuah bisnis waralaba sudah dikatakan layak di kementerian perdagangan maka otomatis bisnis tersebut telah memiliki legalitas yang cukup. Karena di website banyak sekali situs-situs yang menawarkan waralaba yang belum tentu layak investasi,” tutupnya.

Zaziri