Managing Ethics in Workplace

Kita sering menghadapi bagaimana bisnis intelligent dilakukan, seperti gerak dan sepak terjang kompetitor. Kadang kita mungkin saja melakukan kegiatan yang sering menghalalkan segala cara agar dapat mengetahui sepak terjang pesaing kita. Kita selalu tergoda untuk melakukan “jalan belakang” ataupun “cara instan” untuk mengambil kesimpulan atas perilaku dari pesaing kita. Jika sebagai franchisor perilaku kita seperti itu, bagaimana franchisee dan anak buah kita juga bersikap dan berperilaku? Filosofi yang dianut seorang franchisor, pemilik brand yang menghalalkan segala cara suatu saat akan menjadi bumerang bagi kita.

Saya pernah melihat kasus seorang franchisee resto yang baru saja melakukan terminasi pengakhiran kerjasama dengan franchisornya. Selang beberapa saat, dia membuat brand baru dengan hanya melakukan make over sedikit dan membuat produk yang serupa, walau tak sama rasanya, dengan brand yang nyaris memiliki design yang sama.

Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian? Restonya yang tadinya ramai di saat pembukaan, lama kelamaan sepi karena kualitas yang tentu saja berbeda dengan brand franchise yang dulu dia pegang. Usut punya usut, ternyata dia merekrut cook dari sang franchisor untuk membuat produk sejenis, dan sang owner merasa bahwa dengan mudah dia bisa melakukan hal yang sama dengan eks-franchisornya.

Dalam perjalanannya resto tersebut semakin lama semakin sepi karena kehilangan pelanggan yang keburu kecewa dengan citarasa dan kualitas yang berbeda dengan sebelumnya. Tak lama kemudian saya mendengar bahwa eks-franchisornya mengajukan somasi atas tindakan yang dilakukannya karena menyalahi perjanjian kesepakatan yang dibuat pada waktu dulu yang mengikat satu sama lain.

Apa pelajaran yang ingin kita tarik dari kasus ini? Pertanyaan yang muncul di dalam sanubari kita adalah apakah yang dilakukan sang owner ini salah atau menyalahi ethics? Atau ini yang disebut kreativitas ? Ada beberapa pendapat pro dan kontra yang sering kita dengar, bahwa selama tidak menyalahi hukum yang berlaku, hal tersebut sah-sah saja. Tetapi kita juga melihat banyak sekali perusahaan yang memiliki standar ethics yang tinggi dalam prosedur baku perusahaan yang disebut “ethics of conduct” yang mencerminkan budaya perusahaan tersebut, yang merupakan refleksi dari nilai-nilai yang dianut dari pihak pemilik perusahaan; yang menjadi kewajiban seluruh karyawan untuk mengikuti dan menjalankannya.

Yang ingin kita sorot juga adalah bagaimana karyawan yang menjalankan operasional dapat kita harapkan menjunjung ethics jika ternyata perusahaannya masih menggunakan “standar ganda” atau sering disebut “grey area” ? Sebagaimana sering kita lihat, salah satu value perusahaan biasanya adalah integritas. Nah bagaimana integritas diharapkan dapat diterapkan dan menjadi salah satu nilai utama setiap karyawan kita, jika sepak terjang perusahaan sangat jauh dari nilai value yang dianutnya.

Bagaimana human capital melihat hal ini? Human capital yang memiliki integritas yang baik tentu saja akan sangat menghargai values yang ada di dalam perusahaannya yang sejalan dengan values personalnya. Bekerja menjadi lebih nyaman dan membuat para human capital ini akan memiliiki sense of belonging yang tinggi, keberpihakan yang kuat jika memiliki kesamaan akan nilai-nilai yang dianut secara konsisten. Untuk itu dibutuhkan kiat-kiat dari seorang wirausahawan maupun franchisor untuk mengelola ethics di dalam organisasi yang dipimpinnya agar menjadi acuan yang jelas bagi keseluruhan tim di bawahnya.

Kita perlu membuat norma yang jelas yang mudah dipahami seperti : apakah melihat Facebook dan Twitter , meng-update status di jam kerja merupakan hal yang wajar atau melanggar ethics? Apakah menggunakan dana entertainment kantor untuk menraktir teman merupakan sesuatu yang diperbolehkan? Apakah mendekati calon customer yang sudah didekati oleh rekan sales di perusahaan yang sama merupakan pelanggaran ethics?

Di resto pun sering ada norma yang masih dalam grey area seperti apakah waiter boleh menghabiskan sisa makanan yang tidak terjual? Apakah pihak cook boleh meniru resep yang didapatkannya dari perusahaan untuk kepentingan usaha pribadinya? Apakah wajar jika tidak melaporkan kondisi barang yang rusak jika tidak ketahuan? Apakah kita boleh menceritakan rencana bisnis perusahaan yang masih confidential kepada orang lain ? Banyak contoh dalam operasional yang bersentuhan dengan ethics yang sering dianggap oleh franchisor tidak perlu disusun dengan detail tetapi menjadi grey area sehingga sering malah menjadi sumber masalah dalam operasional.

Secara ringkas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola ethics di dalam organisasi, yaitu :

  1. Susun secara detail, jelas dan mudah dimengerti ethics of conduct yang merupakan ceminan value perusahaan yang disertai dengan norma-norma yang jelas.
  2. Sosialisasikan di saat penerimaan karyawan, di saat pertama kali karyawan diterima bekerja di perusahaan.
  3. Penerapan dan kontrol dilakukan secara konsisten dan adil sehingga menjadi acuan bagi seluruh karyawan tanpa terkecuali.
  4. Jangan melakukan intervensi dari top management yang membuat ethics of conduct ini tidak dijalankan secara konsisten.

Ir. Mirawati Purnama Msi.