Lebih Baik Mana: ”Peraturan atau Etika Bisnis?”

Industri franchise hadir di beberapa negara, termasuk Indonesia dengan semangat untuk mendorong kewirausahaan lebih maju lagi. Karena diyakini dengan mengadopsi franchise akan muncul para entrepreneur baru yang bisa membuka lapangan pekerjaan di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi mikro yang menjadi penunjang ekonomi makro akan bergerak dan mengalami pertumbuhan.

Maka tidak heran, jika banyak negara kini mulai menerapkan franchise sebagai pola ekspansi bisnis dengan menggunakan tenaga para franchisee, sebagai entrepreneur setempat. Di berbagai negara, sudah banyak lembaga didirikan untuk mendorong industri ini.

Di Asia misalnya, hampir semua negara memiliki Asosiasi Franchise sebagai pendorong untuk tumbuhnya bisnis franchise. Sebut saja seperti Singapura, Malaysia, China, Korea Selatan, Jepang, Thailand, Philipina, Vietnam dan Indonesia.

Begitupun di negara Amerika dan Inggris, yang menjadi kampiun franchise. Mereka pun punya Asosiasi Franchise yang fungsinya mendorong industri tersebut untuk lebih maju lagi.

Namun demikan, Asosiasi hanyalah sekedar mendorong saja tidak bisa mengatur sebuah industri yang dinamis seperti franchise. Untuk mengatur sebuah industri dibutuhkan sebuah peraturan dari pemerintah.

Di negara Amerika dan Malaysia contohnya, kedua negara tersebut sangat ketat mengatur industri franchise. Mereka membuat peraturan dengan mewajibkan semacam disclosure bagi para franchisor yang menawarkan franchise pada calon investor. Semua itu dilakukan agar industri franchise di negara tersebut bisa teratur sehingga tidak ada kecurangan dan penipuan terhadap para calon investor yang berminat menggeluti usaha franchise.

Pun di Indonesia. Para pengusaha yang ingin memfranchisekan usahanya diwajibkan untuk mendaftarkan merek bisnisnya ke HAKI. Kemudian mendaftarkan lagi ke Kementrian Perdagangan untuk mendapatkan STPW (surat tanda pendaftaram waralaba) sebagai tanda bahwa bisnisnya sudah memenuhi syarat dan kriteria yang disebut franchise. Setelah itu, franchisor juga diwajibkan untuk memberikan dukungan dan bimbingan kepada franchisee selama masa kontrak kerjasama.

Namun berbeda jika menengok beberapa negara seperti Inggris dan Singapura. Kedua negara ini sama sekali tidak memiliki aturan khusus tentang bisnis franchise. Disana industri franchise diserahkan sepenuhnya kepada pelaku usaha. Pemerintah sendiri tidak punya otoritas penuh membuat aturan tentang franchise.

Meskipun begitu, industri franchise di dua negara tersebut bisa dibilang cukup maju. Singapura misalnya, negara tersebut telah banyak melahirkan merek franchise tangguh. Banyak merek dari negeri sana yang sukses ekspansi ke beberapa negara, terutama franchise pendidikan.

Lalu bagaimana aturan main berbisnis franchise di sana? Inggris dan Singapura tidak memiliki aturan baku berbisnis franchise, akan tetapi kesadaran dan etika bisnis lah yang lebih ditekankan. Disana pelaku bisnis franchise sudah memiliki kesadaran dan etika bisnis yang baik. Sehingga sangat jarang sampai ada sengketa hukum dan konplik antara franchisor dan franchisee. Karena budaya di negeri itu sangat menjunjung tinggi etika.

Perlu diketahui,  masing-masing negara memang memiliki budaya dan prilaku masyarakatnya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu aturan bisnis tidak mutlak menjadi ukuran sukses tidaknya sebuah industri bisnis. Di sebuah negara, ada yang industrinya lebih maju dengan adanya peraturan hukum. Di lain nagara justru tetap maju industrinya tanpa ada peraturan hukum.

Di Malaysia, Korea Selatan, dan Amerika misalnya, meskipun aturan franchise sangat ketat, namun industri franchise disana juga sangat maju. Pasalnya, pemerintahnya pro aktif turut membantu mendorong dan membina industri franchise. Jadi kesimpulannya, kalau industri franchise ingin maju maka pemerintah  jangan hanya membuat aturan saja. Tapi harus juga dibarengi dengan pemberian fasilitas agar industri ini lebih terbantu.

Anang Sukandar

Chairman Asosiasi Franchise Indonesia