Seller Market Vs Buyer Market

Seller Market Vs Buyer Market

Pada saat ini seperti yang sudah kita ketahui bahwa persaingan usaha tidak hanya semakin kompetitif, tetapi sudah masuk ke era hyperkompetitif. Jika sebelumnya, kurang lebih 20 tahun yang lalu, produk selalu dicari konsumennya. Selain karena supply yang tidak cukup, juga karena produk substitusi masih amat sedikit. Oleh sebab itu era kejayaan produk yang banyak dicari konsumen, meskipun tanpa menjajakan barang itu bisa terjual dengan volume yang tinggi, sudah lewat.

Kejayaan di era produk dicari konsumen ini disebut dengan era seller market, yaitu produsen tidak perlu berpaya-paya untuk menjajakan barangnya atau melakukan jemput bola ke konsumen. Nah, era tersebut kini digantikan dengan era buyer market dimana para produsen jika ingin produknya eksis (laku) maka harus berperan banyak untuk lakukan jemput bola.

Sebab-sebab munculnya era buyer market adalah semakin mudahnya produk untuk diproduksi, masuknya produk dari China, semakin menjamurnya produk-produk waralaba, serta lainnya yang kini semakin memenuhi pasar. Kondisi ini tentu saja dapat memberikan pilihan yang cukup baik bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun disisi positif, dimana konsumen semakin mudah mendapatkan kebutuhannya, di sisi lain produsen yang berpola lama yaitu seller market mulai terseok-seok usahanya.

Mereka mulai kelimpungan dengan datangnya produk dan jasa baru yang menjadi pesaingnya, dimana cara menjualnyapun dengan cara yang amat agresif. Oleh sebab itu pada era sekarang ini sebaiknya prodsuen mulai menata ulang program penjualannya agar produk dan jasa yang sudah eksis jangan sampai terpuruk.

Solusi yang bisa dilakukan adalah mulai melakukan set up armada penjualan. Dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) memulai dengan cara bermitra dengan berbagai kalangan yang dilakukan secara free lance. 2) Melakukan set up armada penjualan murni sebagai karyawan sendiri. 3) Melakukan set up fifty-fifty, yaitu 50% karyawan sendiri dan sisanya adalah armada penjualan secara free lance.

Dari ketiga solusi tersebut diatas ada kelebihan dan kelemahannya. Untuk poin pertama kelebihannya adalah jika perusahaan tidak membutuhkan armada penjualan, maka perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon, sebab mereka adalah karyawan lepas. Keunggulan lainnya adalah perusahaan tidak perlu menggaji secara full tetapi hanya memberikan komisi/insentif. Selain itu armada penjualan free lance ini bisa dibangun dengan jumlah yang amat besar, sehingga bisa mempercepat pengenalan kembali produk dan jasa yang sudah mulai tenggelam ditinggalkan konsumennya.

Armada penjualan secara free lance ini bisa digunakan terutama dimasa-masa banyak orang kesulitan mencari pekerjaan. Melalui cara ini perusahaan akan mendapatkan bibit penjual yang tangguh dan bisa direkrut sebagai karyawan tetap. Perusahaan yang melakukan cara ini : asuransi, produk buku, produk CD edukasi, property, beberapa perusahaan otomotif sudah lakukan hal ini juga, misalnya yang roda 2 yaitu Yamaha, serta banyak lagi yang lakukan hal ini untuk memperkuat penjualan produknya.

Sayangnya menggunakan armada penjualan secara free lance ini ada sisi kelemahannya, yaitu jika  SDM-nya tidak diberikan pelatihan dengan baik serta arahan yang cukup baik, maka banyaknya tenaga penjual ini dapat mengacaukan system bahkan brand image perusahaan. Oleh sebab itu perlu diadakan aktivitas pengenalan visi dan misi perusahaan, System operasional prosedur penjualan produk dan jasa perusahaan, training selling skill, motivation, serta diberikan wadah pembinaan agar tidak liar.

Kelemahan lainnya, karena dilakukan secara free lance, maka yang ikut bergabung pada tingkat usia yang beragam. Bagi perusahaan yang sangat mempertahankan image, dan ingin nampak power full dan selalu segar, cara ini tidak cocok. Misalnya produk dan jasa yang target pasarnya adalah anak remaja. Lalu bagaimana dengan armada penjualan yang dibangun dengan cara merekrut karyawan di bagian penjualan dengan cara tetap? Kekuatannya adalah pengendalian SDM lebih mudah sebab jumlahnya sedikit, dan mengelolanya lebih mudah. Jika perusahaan memberikan bekal dan training cukup baik pada SDM, maka SDM yang jumlahnya tidak besar ini akan lebih power full.

Hanya, untuk mendapatkan karyawan seperti ini memang tidak mudah, sebab melalui proses panjang dan seleksi berlaku setelah mereka berpraktek di lapangan. Pekerjaan menjual tidak mudah, berbeda dengan pekerjaan administrasi di kantor. Kelemahannya adalah perusahaan akan mengeluarkan uang cukup besar jika mem-PHK mereka, dan menanggung biaya yang cukup besar jika hasil penjualan tidak significant. Selain itu tidak mudah mendapatkan tenaga penjualan yang serius menekuni pekerjaannya. Oleh sebab itu tidak heran pencarian tenaga penjualan selalu diiklankan besar-besar di muka lokasi usaha.

Lalu bagaimana dengan cara fifty-fifty, cara ketiga ini cukup baik dilakukan. Selain ada tenaga penjual tetap, juga ada para freelancer. Jika para freelancer tidak mau meneruskan pekerjaannya, maka perusahaan masih memiliki tenaga penjualan. Cara ketiga adalah alternative bagi perusahaan yang sudah memiliki armada penjualan dan kemudian mengembangkan armada penjualannya lebih banyak agar penjualannya juga semakin meningkat. Langkah-langkah diatas adalah cara menyesuaikan diri agar tidak terlibas oleh agresivitas pesaing, terutama bagi perusahaan yang memproduksi produk dan jasa yang selama ini menunggu bola.

Bagaimana dengan produk-produk dalam bentuk waralaba untuk mengatasi era buyer market? Tentunya secara prinsip hampir sama. Bisnis waralaba yang dikembangkan dengan cara mentarget banyaknya mitra yang bekerja sama, maka ini berarti bisnis waralaba sudah dikembangakan sedemikian rupa sama seperti produk dan jasa konvensional yang dikembangkan dengan cara membangun armada penjualan. 

Banyaknya mitra tentunya semakin memperluas penjualan produk kepada konsumen. Jika bentuknya perlu dikembangkan lagi, seperti Apotik-24 buka 24 jam, produk-prduknya bisa disalurkan lagi ke toko-toko kelontong yang butuh obat, maka apotik K-24 ini telah melakukan jemput bola, dan tidak sekedar menunggu bola selama 24 jam. Nah, siapa yang berperan untuk jemput bola, tentu saja armada penjualan! Maka kesimpulan yang kita peroleh adalah jika ingin survive di era buyer market, perusahaan sebaiknya melakukan jemput bola. Dan penggunaan armada penjualan perlu dipertimbangkan!****

Frans M. Royan

Penulis adalah Consultan & trainer sales & distribution, telah menulis 50 buku.

www.groedu.com