Ketika Franchisee Mengalami Demensia

Ketika Franchisee Mengalami Demensia

Kata “demensia” pertama kali saya dengar ketika berita pengusutan korupsi seringkali terhambat oleh perilaku atau pengakuan “lupa” dari para tersangka. Tulisan ini bukan mengangkat topik korupsinya. Saya hendak mengangkat topik “LUPA”-nya.

Membeli waralaba

Semua terwaralaba pasti sepakat bahwa alasan mereka membeli waralaba adalah karena mengharapkan dukungan (support) berupa sistem bisnis yang sudah teruji, sehingga dapat meminimalkan resiko investasi, kurva belajar dan proses learning alias trial and error.

Beberapa hal yang patut menjadi harapan terwaralaba antara lain ketersediaan calon pelanggan karena merek waralaba itu sudah dikenal cukup luas, keterujian sistem administrasi yang meminimalkan (harap dicatat: hanya meminimalkan, dan hampir tidak mungkin menihilkan) kebocoran dan kesalahan administrasi, skala ekonomis dalam biaya promosi dan harga bahan baku, metode seleksi dan pelatihan SDM yang efektif, dan sistem pengawasan mutu untuk menjaga citra merek waralaba tersebut.

Meski ada beberapa pewaralaba yang tidak mampu memenuhi harapan tersebut dengan baik, saya menjumpai terjadinya “demensia” pada beberapa terwaralaba dari merek yang sebenarnya sudah memiliki sistem yang cukup baik.

Demensia

Demensia, alias lupa, bahwa ia “telah membeli waralaba dengan tujuan memanfaatkan sistem yang sudah ada” seringkali terjadi segera setelah menandatangani Perjanjian Waralaba.

Memang aneh bin ajaib, tapi “demensia” ini terjadi bahkan di negara Amerika yang dikenal sebagai salah satu wilayah menjamurnya banyak bisnis / merek waralaba yang sukses seperti McD, KFC, Burger King.

Pada hari pertama menjalankan bisnisnya, banyak terwaralaba yang langsung “memikirkan sendiri” bagaimana sebaiknya menjalankan bisnisnya, bagaimana memasarkannya, bagaimana cara melakukan promosi yang efektif. Mereka lupa bahwa mereka sejak semula bermaksud membeli “sistem”, bukan sekedar merek dan supply produk.

Bertanya

Hal yang seharusnya dilakukan oleh terwaralaba adalah “bertanya” dan “bertanya” kepada pewaralaba, dan “menerapkan”. Bila meragukan pengalaman efektivitas sistem yang dijelaskan oleh pewaralaba, bisa saja mendiskusikannya. Meski demikian, seharusnya terwaralaba membeli sistem bisnis yang teruji berikut sistem support dari pewaralaba. Jadi sebaiknya buktikan dulu dengan menjalankan tips-tips dari pewaralaba. (kecuali bila anda sebenarnya tidak yakin bahwa anda membeli waralaba yang baik)

Beberapa terwaralaba dari klien saya yang mengalami “lupa” bahwa mereka seyogyanya tinggal menerapkan sistem dari pewaralaba yang sudah terbukti efektif, kemudian mengubah cara mengelola bisnisnya dengan mengikuti saran dari pewaralaba, terbukti akhirnya mengalami peningkatan kinerja yang luar biasa. Sekedar info, ada terwaralaba yang semula hanya mampu mencapai 5% dari target selama beberapa bulan, setelah menerapkan tips dari pewaralaba segera meningkat  20x lipat alias mencapai target.

Jadi, bila anda pewaralaba, dan ada terwaralaba yang kurang berhasil, lakukan kunjungan dan cermati apakah mereka menerapkan kiat-kiat bisnis anda atau mereka berkreasi sendiri dengan beragam trial and error. Bila mereka sudah menerapkan kiat-kiat anda tapi belum juga berhasil, maka lokasi dan wilayah mereka merupakan ujian bagi kompetensi anda bersama tim manajemen anda untuk mengatasi keunikan wilayah mereka.

Oh ya, anda jangan “menuduh” bahwa mereka mengalami “demensia”, kecuali mereka memiliki selera humor yang tinggi … (dan jangan lupa bertanya lebih dahulu pada diri anda, bila anda adalah pewaralaba: apakah anda benar-benar memiliki pengalaman dan pengetahuan yang teruji untuk dijadikan sistem bisnis yang dapat diandalkan oleh para terwaralaba anda) …

Selamat berkarya dan membangun waralaba yang sehat dan kuat di Indonesia !

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com