

Mereka yang ekspansi ke luar negeri menghadapi berbagai kendala, tetapi juga mampu mencari solusi. Dan pada akhirnya, mereka berhasil memiliki bisnis dengan standar bisnis global. Seperti apa pengalaman mereka?
Kebab Turki Baba Rafi, Es Teler 77, Martha Tilaar Salon Day Spa dan Ayam Bakar Wong Solo adalah sedikit dari merek-merek franchise Indonesia yang tidak hanya kuat di dalam negeri. Merek-merek ini berani dan eksis bermain di pasar global.
Bagi mereka, pasar luar negeri menjadi tantangan tersendiri. Jika melihat pasar yang tersedia di Indonesia, dan membandingkannya dengan pasar di beberapa negara tetangga seperti Singapura, Brunei dan Malaysia, bisa jadi mereka akan enggan.
Bukan hanya itu yang mendorong mereka untuk ekspansi ke luar negeri. Mereka ingin membuktikan bahwa bisnis mereka memiliki standar internasional. Namun begitu, bukan berarti faktor pasar tidak menjadi pertimbangan karena bisnis mereka harus diserap oleh pasar luar negeri.
Royandi Yunus, Pengamat franchise dari IFBM menyebutkan bahwa mereka yang berhasil masuk ke pasar luar negeri menandakan bisnis mereka memiliki standar global. “Tidak banyak loh pebisnis franchise Indonesia yang memiliki perhatian dalam memenuhi standar global,” katanya.
Sebagian besar, kata Royandi, pelaku usaha franchise Indonesia menilai masih terlalu mahal untuk membangun standar global bagi perusahaan franchisenya. Karenanya, sebagian besar franchise Indonesia memiliki standar yang masih rendah dan jauh di bawah standar internasional.
Royandi menjelaskan, melihat dari cara pemain asing yang masuk ke Indonesia, mereka umumnya mementingkan promosi sehingga identitas bisnis mereka terlihat sangat bagus dan hebat. Mereka masuk dengan mengkomunikasikan bahwa bisnis mereka yang dibawa ke Indonesia adalah bisnis internasional. Sebaliknya, pebisnis franchise Indonesia umumnya masih mengkomunikasikan bahwa bisnis mereka masih tradisional.
Agus W. Suhadi, pengamat franchise dari Prasetya Mulya juga mengapresiasi pelaku-pelaku usaha yang berhasil menggarap pasar global. Menurutnya, salah satu keberhasilan mereka adalah menciptakan keunggulan yang mereka tawarkan sebagai keunikan konsep bisnisnya.
Selain itu, mereka yang berhasil mengembangkan jaringan di luar negeri disebabkan oleh kesungguhan untuk mengembangkan bisnis di luar negeri hingga berhasil. Agus mencontohkan Es Teler 77 yang berhasil membuka jaringan di empat negara memiliki R&D yang cukup kuat untuk mengembangkan menu-menu baru yang sesuai selera dari setiap wilayah. Selain itu, mereka juga sangat memperhatikan secara rinci bagaimana tampilan dari interior maupun eksterior dari outletnya. Kemudian keterampilan dan standard layanan dari para pramuniaganya.
Danny Anthonius, pengamat dan praktisi franchise menegaskan bisnis-bisnis franchise Indonesia memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan bisnis-bisnis franchise asing untuk berkompetisi di pasar international. Menurutnya, jika sebuah usaha ditangani dengan profesional, maka usaha tersebut dapat dipastikan akan mampu bertarung di pasar internasional.
“Apalagi kalau dilihat sebenarnya dari sisi kualitas maupun keunikan produk dan layanan usaha yang bertaburan di tanah air, tidak kalah dengan yang ada di luar negeri dan sangat berpeluang untuk go international. Terlebih dengan perkembangan di era globalisasi yang tanpa batas ini, para pengusaha tidak hanya dituntut untuk bertahan di pasar lokal namun juga dapat go international,” katanya
Kendala dan solusi
Memiliki jaringan franchise di luiar negeri akan memberikan kebanggan bagi pelsku usaha dan juga pelanggannya. Namun nyatanya, hanya sedikit yang melakukan ekspansi ke luar negeri.
Bije Widjajanto, pengamat franchise dari Benwarg Consulting menjelaskan alasan masih kecilnya jumlah pemain lokal yang mau ekspansi ke luar negeri. Pertama menurutnya, faktor fundamental, yaitu mengenai bisnisnya itu sendiri bahwa tidak terlalu mudah membuka jaringan di luar negeri. “Tetap ada hal-hal teknis yang harus dipenuhi oleh franchisor agar dapat menjalankan fungsinya sebagai franchisor yang baik. Dibutuhkan kreativitas pemikiran, waktu, dan kekuatan finansial,” katanya.
Kedua, adalah faktor emosional, yaitu persepsi orang tentang brand Indonesia. “Di dalam negeri, masyarakat kita menilai rata-rata brand Indonesia kalah dibandingkan brand luar negeri. Ini membuat para franchisor dari Indonesia berpikir banyak untuk ekspansi ke luar negeri. Sementara di luar negeri Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang dalam hal bisnis kurang maju, sehingga perlu effort lebih besar untuk bisa diterima pasar luar negeri. Oleh karena itu hanya beberapa brand saja yang berani mengambil risiko ini dan berupaya ekspansi ke luar negeri,” katanya.
Menurtut Bije, pebisnis Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan seperti yang sudah ditunjukkan oleh beberapa franchisor yang berhasil membangun jaringan di luar negeri. “Secara teknis, membuka bisnis di negara manapun sama, harus memperhatikan pasar, sumber daya pendukungnya, manajemen, finansial dan strategi bisnis yang diterapkan. Kalau semuanya dilakukan mengikuti kaidah dan norma yang berlaku secara umum, bisnis akan berjalan. Tetapi seperti tadi saya sampaikan, faktor hambatan psikologis membuat ekspansi ke luar negeri itu menjadi tidak mudah. Perlu mengubah pola pikir dan persepsi itu sehingga berani ekspansi ke luar negeri,” kata Bije.
Bije menambahkan, ada kendala yang paling utama yang harus dihadapi oleh para pelaku usaha franchise, yaitu sistem manajemen franchise yang belum berkembang. Menurutnya, kalau franchise belum memiliki sistem manajemen operasional yang baik di dalam negeri, maka mereka tidak akan mampu mengembangkan jaringan di luar negeri. Dijelaskan, manajemen operasional ini menyangkut bagaimana franchisor mengendalikan operasional seluruh jaringan outlet melalui berbagai bentuk aktivitas dukungan, sehingga sistem dan prosedur yang dibakukan dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasaran-sasaran hasil yang ditetapkan. Sistem manajemen yang baik ini juga penting dalam menciptakan tingkat kepuasan franchisee yang tinggi.
Mengapa penerapan sistem manajemen di dalam negeri sangat penting untuk ekspansi jaringan di luar negeri? Menurut Bije, alasannya sangat sederhana saja. “kalau anda punya master franchisee di luar negeri, maka anda harus membekali pengetahuan dan sistem bagaimana mereka harus mengendalikan jaringan outlet di negaranya. Kalau anda sendiri belum memiliki cara yang baku bagaimana mengelolanya, bagaimana master franchisee tersebut belajar dari anda. Akhirnya mereka berjalan sendiri dan anda tidak bisa mengendalikan operasional mereka,” katanya.
Danny Anthonius juga mengakui, sebagian besar hambatan yang ada bagi pelaku-pelaku usaha franchise untuk ekspansi ke luar negeri adalah mengenai pola pikir. Karena itu menurutnya, ada beberapa sikap yang perlu dimiliki oleh seorang pengusaha yang hendak berekspansi keluar negeri.
Pertama, harus merubah pola pikir. Menurutnya, kesuksesan di negeri orang dan memiliki cabang di luar negeri tentunya merupakan kebanggaan tersendiri, tidak hanya bagi pemilik bisnis itu sendiri tetapi juga bagi para pelanggannya. Pelanggan yang mengetahui bahwa sebuah produk yang dibelinya itu ternyata juga telah menembus pasar luar negeri, tentunya akan berdampak terhadap nilai produk tersebut dimatanya. Selain itu, dengan merambahnya sebuah bisnis, produk dan layanannya ke kancah international, tentunya akan meningkatkan market share bisnis tersebut, tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di pasar global.
Kedua, misi perusahaan harus jelas, yang diikuti visi dan strategi yang terarah. “Kita harus berani bermimpi. “Think big, start small, act now”. Ini adalah sikap yang penting bagi seorang pengusaha. Jika sikap ini dimiliki tentunya kita tidak hanya akan terus bermain di kandang, tapi kita juga akan bertandang ke kandang orang lain,” katanya.
Ketiga, merencanakan “How to go there”. “Perencanaan ini penting dan harus matang dilakukan. Kita tentu tidak mau kalah bertanding di kandang orang dan pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Kita perlu membangun organisasi dan tim yang handal. Sumber daya manusia ini sangat penting karena dengan winning team, kita telah memiliki modal utama yang berharga dalam melakukan inisiatif-inisiatif lainnya. Winning team inilah yang akan mempersiapkan sistem kerja yang terpadu, SOP yang sistematik, serta product development dengan inovasi yang terus menerus,” katanya
Selain itu, Danny juga menjelaskan bahwa mutlak bagi pelaku usaha franchise untuk membangun dan mengembangkan merek dengan standar internasional, bukan standar lokal. “Karena merek yang dibangun secara terencanalah yang merupakan kunci utama produk dan layanan kita bisa bersaing di pasar global,” katanya.
Dia mencontohkan Singapura. Walaupun negara ini hanya “red dot country” yang ukurannya di peta dunia hanya berupa titik merah, tapi mampu menghasilkan sapi perah-sapi perah merah kecil di negara orang dan tergolong sukses seperti BreadTalk, Charles & Keith, dan lain sebagainya. Mereka terus berupaya membangun berbagai merek bertaraf internasional. “Merek adalah system dan harus dikelola secara profesional, terencana dan terpadu. Perlu diingat bahwa membangun merek merupakan sebuah investasi jangka panjang, yang merupakan sebuah aset yang berharga bagi suatu perusahaan,” katanya.
Royandi Yunus juga mengakui, kendala paling besar bagi pelaku-pelaku bisnis frnachise Indonesia yang ingin go global adalah penguasaan standar global dan penguasaan data dari negara tujuan. Karena itu menurutnya, solusi untuk mengatasinya adalah harus membangun bisnis model yang sudah dikategorikan memiliki standar yang global. Misalnya standar kesehatan dan kualifikasi minimum SDM.
Selain itu, cara engkomunikasikan bisnis merek atau branding juga harus dalam posisi bahwa bisnis tersebut bersifat internasional.
Sedangkan hal lain yang juga penting menurut Royandi adalah penguasaan atas peraturan dan perijinan negara tujuan. “Khusus untuk franchising, tentunya perlu menguasai peraturan franchise setempat. Hanya sedikit negara-negara di dunia ini yang mempunyai peraturan franchise, mayoritas lebih ditentukan oleh kode etik tentang franchise yang biasanya diterbitkan oleh asosiasi franchise setempat,” katanya.
Sementara itu, Agus W Soehadi juga menjelaskan, faktor yang membuat merek-merek Indonesia tidak banyak di luar negri, salah satunya adalah adanya perbedaan peraturan yang belum dikuasai oleh pebisnis Indonesia. Misalnya, adanya keharusan sertifikasi yang harus dimiliki oleh pegawainya.
Agus juga meenegaskan bahwa sebetulnya bisnis-bisnis franchise Indonesia tidak selalu kalah oleh merek-merek luar negeri. “Banyak merek-merek lokal yang memiliki keunggulan dibanding merek-merek luar negeri,” katanya.
Diakui Agus memang ada kesulitannya. Salah satu kesulitannya adalah adanya beberapa peraturan yang berbeda dan itu harus dikuasai dan dipelajari oleh pebisnis Indonesia. Dan kesulitan ke dua adalah bagaimana membuat daya tarik yang kuat baik bagi investor maupun konsumen di luar negri. “Pengetahuan yang kuat mengenai prilaku konsumen sangat penting agar bisnisnya dapat bertahan dan berkembang,” katanya.
Selain itu, ia juga menandaskan, pemilik franchise harus mulai menyadari pentingnya membangun merek di negara tujuan. “Salah satu yang mendasar adalah seberapa unik konsep yang ditawarkan serta seberapa jauh mereka menyukai konsep tersebut,” katanya.
Tidak mudah
Berdasarkan pengalaman para pelaku usaha yang sudah membangun jaringan di luar negeri, umumnya mereka mengaku bahwa tidak mudah membangun jaringan di luar negeri. Menurut Es Teler 77, salah satu kendala dan tantangannya adalah di permodalan.
Kemudian selain modal, kendala lain bagi pelaku usaha terutama yang bermain di sektor food and beverage atau resto adalah di bahan baku. Karena tidak semua negara memiliki bahan baku yang sama yang dibutuhkan untuk usaha restoran Indonesia. Sedangkan jika impor bahan makanan biasanya banyak terkendala peraturan.
Kendala lainnya adalah di SDM. Bukan saja upahnya tinggi, namun ketersediaan tenaga kerja juga sangat terbatas. Sementara tidak mudah untuk mendatangkan tenaga kerja asal Indonesia.
Karena itu ada beberapa faktor yang harus dipahami sebelum ekspansi ke luar negeri. Pertama, tentang market. Menurutnya, perlu ada survei pasar untuk mengetahui apakah pasar Negara tujuan menerima produk yang ditawarkan.
Kedua, sisi legal, yaitu perlunya mengetahui regulasi bisnis franchise di negara tujuan, baik itu tentang kepemilikan usaha, tentang perijinan, tentang ketenaga kerjaan, tentang impor bahan baku dan berbagai isu lainnya yang perlu diketahui. Ketiga, tentang SDM. Dan keempat, tentang lingkungan hidup.
Puspo Wardoyo, pemilik Ayam Bakar Wong Solo yang kini ekspansi ke Malaysia juga mengakui beberapa kendala yang harus bisa diatasi oleh franchisor Indonesia. Dia juga mengakui, bukan perkara mudah baginya untuk bisa eksis di pasar Malaysia.
Beberapa kendala yang dihadapinya antara lain pertama, persoalan SDM. Di Malaysia, katanya, meskipu serumpun menurutnya tidak mudah mencari tenaga pekerja pribuminya. Sebab masyarakat malaysia terbiasa bekerja di perkantoran, dan umumnya tidak mau bekerja menjadi buruh atau karyawan rendahan.
Kedua, harus membayar notaris dari Malaysia. Hal itu merupakan aturan main bisnis di sana. “Karena di Malaysia orang mau menjalani bisnis ada aturannya, dan yang mengerti aturan bisnis adalah orang hukum di negaranya. Maka saya juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membayar notaris yang nantinya membantu setiap permasalahan hukum yang timbul di tengah perjalanan usaha,” kata Puspo.
Tahap Ketiga, harus mencari franchisee yang serius dan tekun dari pribumi Malayasia.
Dan keempat, mengembangkan franchise di luar negeria harus selalu diikuti konsistensi franchisornya yang selalu peduli dengan kinerja bisnis franchiseenya. Menurut pandangan Puspo, seorang franchisor bukan seorang motivator yang tugasnya hanya memberika motivasi.
“Akan tetapi, seorang franchisor itu haruslah orang yang mau berbagi pengalaman, kepemimpinan, dan berbagi kekayaan. Ini yang jarang di Indonesia. Biasanya franchisor jarang ada yang mau memberikan pengorbanan dalam tiga aspek tersebut. Maka tidak jarang, bisnis franchisenya hanya berkinerja baik musiman saja,” katanya.
Zaziri