Bisnis Mana yang Akan Anda Pilih?

Jika Anda sudah bertekad membeli hak waralaba atau BO pastikan sektor bisnis yang Anda pilih tepat. Seperti apa memilihnya?

Bisnis mana ya, yang tepat buat saya? Mungkin itu akan menjadi pertanyaan pertama yang Anda ajukan pada diri Anda ketika sudah memulai niat bulat untuk membeli hak waralaba atau BO. Pilihannya tidak hanya pada sector bisnis, tetapi juga pada merek bisnis mana yang tepat buat Anda. 

Jika pertanyaan itu muncul di pikiran Anda, itu adalah hal yang paling alamiah. Kami, di redaksi majalahfranchise.com sering juga menghadapi pertanyaan seperti itu dari mereka yang ingin membeli hak waralaba. Rupanya tidak sederhana untuk menentukan pilihan, meskipun kelihatannya sangat simple. 

Apalagi saat ini para peminat bisnis franchise sudah banyak mendapatkan informasi dan eduksi mengenai bisnis ini, sehingga mereka lebih kritis dan selektif. Tidak sedikit juga para calon pembeli hak waralaba yang kebetulan membaca majalahfranchise.com menanyakan perkembangan outlet yang dimiliki franchisee merek tertentu atau fakta tentang support yang diberikan oleh franchisor kepada franchiseenya.  Bahkan mereka ada yang meminta data jika ada case-case tertantu yang bisa membahayakan investasi mereka di bisnis yang ingin mereka bidik. 

Ini artinya, calon franchisee sudah benar-benar ingin memastikan bahwa pilihannya sudah tepat. Tentu saja, para calon franchisee ini akan memanfatkan semua ruang informasi yang bisa mereka dapatkan. Pengaaman-pengalaman dan informasi terhadulu, misalnya mengenai franchisee yang gagal, membuat mereka harus memastikan bahwa kegagalan itu bukan karena faktor franchisornya.

Lanny Kwandy, pengamat franchise mengakui, fenomena daya kritis calon franchisee saat ini lebih berkembang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, mereka sudah teredukasi dengan baik megenai bisnis franchise. Jika sebelumnya para calon investor hanya mendengar yang positif, yang menguntungkan, saat ini mereka juga mendapatkan informasi yang gagal dengan berbagai faktornya. 

Perkembangan ini menurut Lanny harus direspon dengan baik oleh para franchisor untuk mengupgrade sistem-sistem yang mereka miliki. Umumnya, kata Lanny, dukungan banyak franchisor kepada para franchiseenya itu masih lemah, tidak ada peningkatan lebih baik. “Maka akhirnya itu berimbas kepada investor yang mendengar dan akirnya mereka berhati-hati dalam membeli franchise,”  kata Lanny.

Lanny juga menegaskan, berinvestasi di bisnis franchise masih sangat bagus. Namun seperti dikemukakan oleh Lanny, asal bisa memilih franchise yang bagus. “Kembali lagi harus melihat Franchisornya yang bener, yang cocok dengan minat usaha yang diinginkan dan kembali lagi yang terutama adalah lokasi. Lokasi sangat menentukan. Kalau franchisenya bagus tapi lokasinya kurang tetap kurang bagus,” kata Lanny.   

Terkait sector bisnis yang bisa menjadi pilihan calon franchisee, Lanny mengungkapkan, sector Makanan dan munuman (food & beverage) masih sebagai sector favorit. Meskipun dia mengakui, sector pendidikan dan otomotif masih member peluang yang sangat besar.

Sedangkan Pierta Sarosa, pengamat franchise dari Pietra Consulting mengungkapkan, sektor bisnis mana pun masih berpeluang untuk berhasil asalkan peluang bisnis yang ditawarkan di sektor tertentu cocok dengan personality dan capability si franchisee. “Kalau tidak match meskipun dikatakan sektor itu selalu berpeluang seperti  F&B, tetap saja si Franchisee tidak akan mampu mengolah peluang itu menjadi sebuah keberhasilan,” katanya.

Lanny juga sepakat, sebenarnya untuk memilih sektor usaha harus dikembalikan kepada minat dan lokasi usaha. “Kita tidak bisa bicara sektor apa yang di pilih misal saya punya sektor yang bagus. Misal F&B lah kita bilang bagus, dengan dia tidak punya minat di F&B dan lokasi salah juga gagal. Lawaong tukang baso kaki lima aja cari lokasi yang bagus,” ungkapnya.

Tapi secara umum, tegas Lanny, sebagai konsultasn bisnis, ketika dia ditanya mengenai sektr bisnis, maka yang dia tawarkan adalah sektor yang paling stabil, yaitu masih tetap di bidang jasa. “Itu pandangan saya,” katanya.

Lanny juga memahami, di setiap sector kadang kala pemainnnya tidak sedikit. Maka dia memberikan tips untuk memilih bisnis mana di sebuah sector yang paling tepat. Menurut Lanny, pertama, harus melihat brandnya, kemudian demand dari produk yang ditawarkannya, dan selanutnya teritorinya. “Dan kembali secara umum untuk memilih bisnis yang tepat itu adalah lihat ke minat, modal dan lokasi, selain harus dipikir secara matang dan ketiga itu harus dikombinasikan secara baik,” katanya.

Investor, tambah Lanny, harus bekerja dan untuk mau bekerja dia harus punya minat dibisnis tersebut, modal juga harus dilihat. Kadang brand bagus sekali tapi dipaksakan dilokasi yang tidak tepat karena dia punya eksisting ruko di daerah tepi dan sepi bisa jadi bisnis akan mati. “Jadi, lagi-lagi sektor tidak bisa dijadikan patokan terlalu luas. Tapi kalau sektor yang paling stabil saya bilang jasa. Jasa itu totally only operation,” katanya.

Lanny melanjutkan, untuk terhindar dari kesalahan memilih, investor investor itu harus jeli dan tidak sembarang berinvestasi. “Mereka harus jeli dalam arti kata jeli dalam memilih sebuah brand dan memilik lokasi. Semua brand mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka investor dituntun untuk jeli dalam melihat sisi kekurangan dan kelebihan sebuah brand. Dan tidak ada franchisor yang 100% sempurna,” katanya.

Pietra Sarosa juga menyarankan, faktor pertama dalam membeli hak waralaba harus melihat faktor franchisornya. “Pilih franchisor yang bertanggung jawab antara lain yang bersedia mengeluarkan investasi untuk membangun sistem franchise yang solid, termasuk sub-sistem support untuk franchisee-nya,” katanya.

Menurut Pietra, semua sector memberikan peluang keberhasilan selama bisnis itu cocok untuk dijalankan franchiseenya. Namun sebelum menentukan pilihan bisnis mana yang mau dibeli haknya, Pietra menyarankan agar melihat apa saja yang ditawarkan franchiseor di bisnisnya. Maka, calon franchisee harus mengamati antara lain, uniqueness product, the future of the industry, marketing support, operational support, audit/monitoring, transparency, fair agreement, reasonable franchise package/franchise fee, dsb) dan bandingkan dengan personality (minat, hobi, motivasi) dan capability (knowledge, skill, experience, financial) si franchisee. 

Selanjutnya, agar investasi bisa berhasil, Pietra menyarankan kepada paa franchisee untuk melakukan kerja sama yang baik antara franchisor dan franchisee dalam mengerjakan homework nya masing-masing. Jika masing-masing menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, konsisten, dan didasarkan pada itikad baik yang saling menguntungkan, maka sistem franchise itu akan berhasil dengan baik. 

Sebalinya, jika salah satu atau masing-masing pihak mau enaknya sendiri, misalnya si franchisor maunya cuma terima franchise fee dan tinggal ongkang-ongkang kaki, sementara si franchisee karena merasa sudah bayar fee, maunya terima beres saja dan harus untung, maka bisnis tidak akan bergerak.

Para franchisor juga mengakui, faktor keberhasilan sangat ditentukan oleh kerja sama antara dua pihak antara franchisor dan Franchisee. Kemudian, keberhasilan juga ditentukan oleh faktor kesediaan franchisee untuk menjalankan semua manual atau SOP yang disediakan oleh franchisor. Dengan kata lain, hubungan dua belah pihak tidak boleh tercederai kena bisa mempengaruhi jalankanya bisnis. 

Dalam bisnis franchise, faranchisee membeli hak waralaba karena ingin bisa berhasil dalam bisnis. Sebaliknya, franchisor juga ingin bisnis yang dicreatnya berkembang luas. Sehingga,  sebenarnya dua belah pihak punya kepentingan yang sama, yaitu sukses. Jika gagal, kerugian tdak hanya pada franchisee yang kehilangan modal usaha, tetapi juga franchisee yang kepercayaan terhadap bisnisnya bisa ternodai. Untuk itu, kerja sama dua pihak menjadi keniscayaan. 

Zaziri