Bisnis Low Investment Gampang Dikelola

Besaran investasi yang terjangkau merupakan daya tarik yang cukup besar dalam membeli hak waralaba. Maka, franchise dengan investasi rendah akan lebih diminati. Lagipula, gampang dikelola dan bisa langsung jalan.

Mengapa bisnis waralaba atau BO yang menawarkan investasi rendah banyak diminati? Banyak jawaban yang diberikan untuk menggambarkan daya tarik bisnis franchise atau BO yang investasinya rendah. Namun sesungguhnya, ada satu hal yang paling unik dari bisnis dengan investasi rendah, yaitu, bisnis yang ditawarkan mudah dikelola dan bisa langsung jalan. 

Dengan kata lain, bisnis yang menawarkan invetasi rendah lebih praktis dan hal itu sesuai dengan karakter peminat bisnis di Indonesia tidak menyukai hal-hal yang simple dan tidak berbelit-belit. 

Memang sih, selain kriteria di atas, ada dua hal yang menjadi pendorong utama para peminat investasi di bisnis franchise yang ingin membeli hak waraba. Pertama, kemampuan dana investasi. Kedua, sebagian besar masih ingin coba-coba untuk memutar uang.

Sangat logis, bahkan kemampuan finansial menjadi salah satu yang banyak disarankan oleh para konsultan bisnis franchise, bahwa investasi di bisnis franchise harus disesuaikan dengan kemampuan dana investasi yang dimiliki. 

Bahkan, disarankan harus ada saving dana sebagai back up untuk digunakan sewaktu-waktu dibutuhkan. Misalnya, jika Anda hanya memiliki Rp 50 juta dan membeli hak waralaba seharga itu, bagaimana jika di tengah jalan Anda butuh dana promosi. Anda tidak akan bisa menjalankan bisnis seperti seharusnya.

Namun sebetulnya, menurut Pietra Sariosa dari Sarosa Consulting Group, di Indonesia kebanyakan pembeli hak waralaba di dorong rasa ingin coba-coba untuk memutar uang. Sehingga, bisnis franchise atau BO yang diburu adalah yang menawarkan investasi rendah.

“Banyak franchisee yang menggunakan sistem coba-coba dan sekedar ingin memutar uang, atau sekedar memberikan lapangan kerja bagi anak atau kerabat jadi mereka memilih untuk membeli franchisee yang nilainya tidak terlalu besar,” kata Pietra kepada Majalah Franchise.

Terlepas apapun motivasinya, seperti apa kematangan bisnis-bisnis waralaba atau BO yang menawarkan investasi rendah? Menurut Pietra, untuk bisa survive dengan bisnis yang menawarkan investasi rendah tentu saja bisa selama pelakunya terus kreatif untuk memenuhi kebutuhan pasar. 

Bisnis yang menawarkan investasi rendah pun, sambung Pietra sebenarnya bisa memiliki daya tahan kuat. Hanya saja, hal itu sangat tergantung pada support franchisornya. “Semakin kuat support dari franchisor, semakin besar daya tahan bisnis franchise-nya,” kata Pietra. 

Diakui, banyak fakta memperlihatkan, banyak bisnis-bisnis franchise atau BO dengan investasi rendah hanya menawarkan produk-produk generik yang sulit dilakukan diferensiasi. Jika franchisornya tidak kreatif, prospeknya maka akan sulit menjadi  bisnis unggulan.

Kendalanya pun sering kali muncul dari franchisor dalam hal support. Pietra justru bertanya, apakah franchisor dapat memberikan support yang kuat  pada franchisee jika besaran investasi awal ditekan seminimal mungkin demi menarik minat franchisee?  

Dari beberapa wawancara Majalah Info Franchise, memang ada sebagian yang kurang memberikan support. Tetapi, sebagian franchisor lain justru memberikan dukungan kuat. Sebab, franchisor mendapat profit dari keuntungan yang diperoleh franchiseenya. Profit misalnya dari bahan baku atau packaging, sehingga franchisor mendorong kuat agar outlet-outlet franchiseenya bisa melakukan penjualan yang baik. Jika tidak dari sisi itu, franchisor tidak akan mendapatkan hasil, sebab sebagian mereka tidak memungut initial fee.

Pengamat franchise Jahja B. Soenarjo mengakui, investasi yang rendah atau di bawah Rp 100 juta banyak diminati. Menurutnya, bukan berarti mereka tidak menseriusi bisnisnya atau takut mengambil resiko. Justru, tegas Jahja, karena wirausahawan waralaba (franchise-preneur) Indonesia memang sedang bangkit dari ‘lapisan bawah’.

Memang, Jahja tidak bisa menepis bahwa, bisnis waralaba yang investasinya rendah memberi resiko yang rendah pula. Sehingga, faktor ini menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Namun sesungguhnya, tandas Jahja, di bisnis franchise atau BO yang investasinya rendah menjadi diminati karena lebih gampang dikelola, tidak memiliki persyaratan yang rumit dan bisa langsung jalan. 

Selanjutnya, juga tidak bisa dipungkiri, ada sebagian besar motivasi bagi peminat bisnis di investasi yang rendah sebagai eksperimen atau pembelajaran bagi mereka. Sebab, tidak sedikit dari mereka yang belum pernah terjun ke bisnis sebelumnya.

Terlepas dari berbagai motivasi apapun, sebenarnya para franchisee tidak pernah menganggap investasi di bisnis yang menawarkan dana investasi di bawah Rp 100 bukan perkara sepele. Bagi sebagian besar mereka, uang yang dikeluarkan seperti Rp 10 juta untuk memulai bisnis bisa jadi sangat besar. Apalagi mereka yang menggantungkan hidup pada bisnis tersebut. 

Namun, mengapa mereka memilih di investasi yang rendah, kebanyakan memang karena kemampuan mereka hanya sampai di situ. Tapi dari sisi dana, bagi mereka tetap besar.

Dijelaskan Jahja, sebagai ikhtiar, bisnis di investasi rendah memberi peluang yang sangat baik selama digeluti secara serius. Tetapi, Jahja menandaskan, secara general, bisnis-bisnis waralaba atau BO yang menawarkan investasi rendah tidak otomatis menawarkan sukses. 

“Kalau mau jujur, bicara menjanjikan atau tidak maka harus menelaah secara mendalam prospek bisnisnya secara komprehensif dan membedah pasarnya. Namun amat jarang (bahkan tidak ada) waralaba murah yang punya proposal kelayakan lengkap, analisa situasi ekonomi dan proyeksi keuangan yang benar dan lengkap. Hitungan BEP saja pakai hitungan sederhana (istilahnya ‘hitungan bodo’, tidak perlu sarjana, tidak perlu kalkulator),” kata Jahja.

Jahja menambahkan, sebagian di antaranya memang berprospek cukup menjanjikan, sementara sebagian lagi merupakan ‘waralaba’ atau ‘peluang bisnis’ yang hanya ikut-ikutan. Dan sudah menjadi rahasia umum  bahwa bisnis di bawah Rp 100 juta ini rata-rata berangkat dari usaha kecil-kecilan dan kemudian sebagian memilih peruntungan untuk mengembangkan usaha dengan pola waralaba ataupun ‘peluang-usaha’, karena dianggap cepat ‘membuat kaya,” katanya. 

Sehingga menurut Jahja, ukuran ‘menjanjikan’ atau tidaknya, kembali berpulang kepada pewaralabanya, apa visi dan tujuan jangka panjangnya. “Kalau memang hanya sekedar mengejar kuantitas gerai, maka ‘janji prospek biasanya lebih suram’ ketimbang mereka yang secara konsisten, perlahan tapi pasti, mengembangkan bisnis waralabanya dengan hati-hati, terencana serta memiliki sasaran jelas,” jelasnya.

Jahja juga menerangkan, daya tahan bisnis tidak bisa diukur dari besar kecilnya investasi. Menurutnya, daya tahan lebih disebabkan kepada kesungguhan dan ketekunan (persistence), konsisten dan berkomitmen kepada hasil. 

Jahja memberikan kunci sukses bagi mereka yang menjalankan bisnis franchise atau BO yang investasinya rendah. Bagi terwaralaba harus memperhatikan antara lain, target pasarnya jelas, memiliki keunikan tersendiri, harga harus sesuai (value for money), tingkat penggunaan (usage atau consumption rate) tinggi.

Sedangkan bagi pewaralaba, Jahja menyarankan beberapa langkah antara lain, konsisten dan proaktif dalam pengembangan produk dan citra merek dan memiliki standar kualitas yang terukur.

Rofian Akbar