
Kasus dugaan pelanggaran hak cipta yang menyeret restoran Mie Gacoan karena menggunakan musik tanpa izin menjadi sorotan publik. Tak hanya menjadi polemik hukum, kasus ini dinilai sebagai momentum penting untuk meningkatkan pemahaman para pelaku usaha terhadap kewajiban pembayaran royalti atas karya cipta musik.
Pengamat pemasaran sekaligus Managing Partner Inventure, Yuswohady, menilai bahwa kewajiban royalti bagi pelaku usaha harus proporsional dan adil. Ia menegaskan bahwa bisnis berskala besar, seperti jaringan restoran waralaba, sudah sewajarnya membayar royalti. Namun, perlakuan terhadap pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan finansial perlu dibedakan.
“Kalau restoran skala besar seperti Gacoan atau jaringan waralaba lain, tentu sudah selayaknya membayar royalti. Tapi kalau untuk pelaku UMKM yang keuntungannya terbatas, harus ada jalan tengah, bahkan bisa saja dibantu lewat subsidi pemerintah,” ujar Yuswohady

Yuswohady juga menyoroti bahwa rendahnya kepatuhan terhadap pembayaran royalti di kalangan pelaku usaha disebabkan oleh kurangnya edukasi tentang pentingnya perlindungan hak cipta. Ia menekankan bahwa penggunaan musik secara legal bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga bagian dari komitmen global terhadap ekosistem industri kreatif.
“Banyak pelaku usaha belum terbiasa. Dulu memang tidak ada instrumen hukumnya. Tapi sekarang, sudah jadi komitmen global untuk melindungi hak cipta,” tambahnya.
Saat ini, penetapan tarif royalti diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang menghitung royalti berdasarkan kapasitas tempat usaha. Misalnya, restoran dan kafe dikenakan tarif Rp 60.000 per kursi per tahun, sementara klub malam dikenakan tarif hingga Rp 250.000 per meter persegi per tahun.
Namun, Yuswohady menilai pendekatan berdasarkan kapasitas tempat belum mencerminkan keadilan. Menurutnya, penentuan tarif seharusnya mempertimbangkan omset atau profitabilitas usaha, karena tidak semua usaha dengan kapasitas besar memiliki pendapatan tinggi.
“Jumlah kapasitas itu tidak selalu adil. Restoran bisa saja punya 100 kursi tapi okupansinya rendah. Jadi mestinya yang dilihat adalah omset atau profit-nya,” jelasnya.
Ke depan, ia menyarankan agar pemerintah membuka kemungkinan skema subsidi bagi pelaku UMKM. Tujuannya bukan untuk menghapus kewajiban royalti, melainkan untuk memastikan bahwa kewajiban tersebut diterapkan secara adil, tanpa memberatkan satu pihak, dan tetap menghargai hak para pencipta karya.
“Bisa dipertimbangkan mekanisme subsidi. Tujuannya bukan untuk membebaskan kewajiban, tapi memastikan semua pihak terlindungi secara adil, baik pelaku usaha maupun kreator,” pungkas Yuswohady.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa keberlangsungan industri kreatif nasional membutuhkan dukungan ekosistem yang seimbang antara perlindungan hak cipta dan keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil yang sedang berkembang.