Kisah Sukses Ricky Wijaya, Kembangkan Bisnis Teh Kotjok sampai Punya 150 Cabang

Berawal dari sebuah hobi, pria yang satu ini berhasil mendirikan bisnis minuman cincau dengan nama Teh Kotjok. Kini cabang bisnisnya berjumlah 150 tersebar di berbagai daerah. Bagaimana kisahnya?

Inspirasi bisnis bisa datang dari mana. Bisa dari pengalaman bergaul dengan para pengusaha, dari melihat peluang di suatu tempat, dan bisa datang dari sebuah hobi. Ricky Wijaya adalah pria yang berhasil mewujudkan hobinya menjadi bisnis dengan membuka usaha Teh Kotjok. Saat ini usahanya telah berkembang pesat memiliki 150 outlet yang tersebar di berbagai daerah dengan sistem kemitraan.

Rata-rata outlet bisnisnya mampu membukukan omzet antara 30-60 juta perbulannya. Saat ini, outlet Teh Kotjok sebagian besar beroperasi di Jawa Barat. Kedepannya, Ricky mentargetkan membuka outlet Teh Kotjok di daerah luar pulau. “Kita terus membuka peluang bisnis kemitraan Teh Kotjok di berbagai daerah. Harapannya membuka outlet di luar daerah Jawa Barat,” ujarnya.

Bagi yang berminat menjadi mitra bisnisnya, Teh Kotjok menawarkan paket investasi Rp 145 juta. Investasi tersebut sudah termasuk semua perangkat usaha, termasuk biaya security deposit sebesar Rp 85 juta, dan free support setiap minggu sekali dari manajemen pusat. “Mitra bisnis hanya dikenakan royalti fee 1% dari omzet. Umumnya mitra bisnis mencapai BEP dalam kurun waktu 6-8 bulan. Beberapa mitra kami ada yang memiliki lebih satu outlet, bahkan ada yang punya 13 dan 4 outlet,” terang Ricky.

Ricky memulai bisnisnya dengan modal Rp 20 juta. Uang tersebut didapatnya dari hasil kerja selama di Malaysia di bidang advertising. Ketika bekerja di Malaysia ia senang sekali dengan minuman teh tarik. “Saya suka sekali dengan minuman yang manis-manis, terutama teh tarik. Di Malaysia teh tarik merupakan minuman yang sangat terkenal. Saya kemudian berpikir bagaimana jika mendirikan usaha sejenis dengan  inovasi baru di Indonesia,” tuturnya.

Selama 6 bulan ia membuat resep yang pas untuk membuat minuman yang serupa dengan teh tarik. Setelah menemukan formula yang maka terciptalah teh kocok cincau, minuman serupa namun tidak sama dengan teh tarik. “Teh kocok ini citra nusantara, tidak sepekat teh tarik yang di Malaysia sehingga tidak membuat lambung eneg. Kita menggunakan gula asli, susu rendah lemak bukan susu full cream ya,” jelas pria kelahiran Jakarta 1986 ini.

Outlet pertama di buka di bilangan Lokasari Plaza, Jakarta pada tahun 2010. Ketika itu namanya Waroeng Teh Kotjok dengan harga Rp 800 per cupnya. Rata-rata omzet bisnisnya mencapai 20-30 juta perbulan. Setelah sukses di tempat tersebuta Rizky membuka outlet kedua di GM Plaza, Jakarta. Sampai kini outlet tersebut masih eksis, “Waktu itu omzet kita mencapai 80 juta perbulan,” bebernya.

Selanjutnya, Ricky membuka outlet ketiga di Mal Ciputra, Jakarta, disusul kemudian outlet berikutnya di Tang City Mal, Tangerang, Supermal Serpong, dan mal-mal yang brada di Jawa Barat. “Saat itu belum booming minuman seperti K-Pop, Milk Tea, Chatime, Shar Tea, Quick Time, dan sebagainya. Jadi waktu itu kita benar-benar pionir di bidang minuman ini,” tendasnya bangga.

Sampai tiba masa sulit, pada tahun 2020 dunia di serang Covid19. Bisnisnya yang sedang tumbuh bagus hingga memiliki 47 outlet harus dipaksa tutup. “Yang tersisa hanya 15 outlet, karena waitu itu kita belum membuka peluang bisnis kemitraan, Jadi semua itu cabang milik sendiri. Jadi kami benar-benar terpukul,” kenang pria yang pernah kuliah di Malaysia hanya satu semester ini.

Pada tahun 2021, Ricky tetap running dengan optimis meski kondisi ekonomi belum kondusif. “Di tengah persiapan bangkit, ada customer yang berminat menjadi mitra bisnis. Maka kami pun berpikir untuk menawarkan peluang kemitraan, terlebih lagi bisnis kami sudah teruji waktu dan memiliki pengalaman yang menguntungkan. Maka dibukalah peluang bisnis kemitraan pada 2022. Cabang bisnis kami pun melejit hingga mencapai 65 outlet” tuturnya.

Pada 2023, ia melakukan rebranding nama bisnisnya dari Waroeng Teh Kotjok menjadi Teh Kotjok. Logo, desain dan juga warna diubahnya agar tampil mudah dan cerah sebagaimana yang disukai kaum millenial.

“Jadi rasa kita masih sama seperti dahulu, cuma kita tambah saja menjadi 22 varian minuman. Teh Susu Cincau menjadi best seller yang kini kita bandrol dengan harga Rp 15 ribu. Hanya desain saja yang kita ubah supaya tidak kolot, jangan sampai kita dikesankan sebagai the jamu, teh klatan, atau minuman tradional. Makanya kita ubah desainnya agar disukai Gen Z,” jelas pria yang memulai bisnisnya belajar dari seorang teman ini.

Sebagai pengusaha, Ricky tidak pernah berhenti belajar dari mana pun dan siapapun. Baginya kalau mau belajar bisnis pun akan turut berkembang. “Misalnya saya dahulu hanya mengerti adob photoshop aja, excell juga tidak bisa. Tapi saya belajar hingga bisa membuat berbagai desain,” jelasnya.

“Begitupun soal memulai bisnis. Awalnya dengan modal pas-pasan saya tidak tahu harus mencari bahan baku usaha saya dari mana. Saya pun bertanya dengan teman saya yang sudah berpengalaman di bisnis minuman. Sehingga bisa kenal dengan vendor yang memasok bahan baku usaha saya. Soal pengelolaan SDM pun di awal pasti ada hambatan tapi saya belajar bagaimana menanganinya. Saya sendiri pemimpin yang melihat hasil, jadi fleksibel dalam aturan jam kerja tapi harus ada hasilnya,” pungkasnya.    

Zaziri