

Tak terasa kita sudah berada di penghujung 2020. Biasanya di dalam suatu organisasi yang menggunakan manajemen berbasis kinerja, tentu saat –saat ini sedang sibuk melihat dan me-review hasil kinerja di semester dua yang baru lewat. Dalam bisnis franchise, baik sebagai franchisor maupun franchisee pun tidak ketinggalan melihat dan me-review kembali perjalanan bisnis selama 6 bulan terakhir ini. Apakah outlet-outletnya bertumbuh sesuai dengan target yang sudah dicanangkan, apakah karyawan kita sungguh berperan sebagai human capital dalam perjalanan bisnis kita?
Kita menyadari bahwa keberhasilan dalam menjalankan bisnis franchise tak luput dari kehandalan dan kontribusi dari ujung tombak perusahaan, yaitu karyawan itu sendiri. Untuk pencapaian kinerja perusahaan dapat kita cermati melalui laporan keuangan, tetapi bagaimana cara kita melihat pencapaian kinerja karyawan kita?
Untuk dapat melihat apakah seorang karyawan berkinerja baik atau kurang, sangat penting bagi setiap perusahaan memiliki pengukuran kinerja untuk karyawan. Sebagian orang menyebutnya ‘’key performance indicator “(KPI) individu, sebagian lagi menyebutnya “scorecard” individu. Jika perusahaan semakin berkembang dan memiliki banyak karyawan, akan sangat bias jika perusahaan hanya memberikan penyesuaian remunerasi tanpa pernah melakukan review berdasarkan kuantitatif, hanya berdasarkan kualitatif dan perasaan like/dislike saja.
KPI bukan digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan atau menghakimi karyawan, tetapi justru untuk meningkatkan motivasi karyawan untuk berusaha memiliki perilaku yang lebih baik. Sangat penting bagi karyawan kita untuk mengetahui apa yang diharapkan perusahaan terhadapnya.
Sebenarnya KPI harus dibuat cascading, dimulai dari organisasi dahulu, baru kemudian diturunkan ke departmen atau divisi yang ada, dan terakhir baru diturunkan ke KPI individu. Sebelum membuat KPI, harus ditentukan dahulu Faktor Kunci Kesuksesan Organisasi , yang biasanya disebut Critical Success Factor ( CSF). CSF merupakan hal yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan kinerja, sedangkan KPI merupakan indikator/ukuran dari tindakan yang dilakukan.
Dapat dikatakan bahwa CSF merupakan masukan atau kunci dalam menetapkan indikator kinerja yang tepat ( KPI). Jika organisasi tidak dapat mengidentifikasikan CSF-nya secara tepat, sangat mungkin terjadi kesalahan dalam pemilihan indikator kinerja sebagai KPI, yang membuat pengukuran kinerja dilakukan secara tidak efektif dan tidak efisien. Untuk dapat membedakan kedua hal tersebut dapat dibantu dengan pertanyaan sbb :
- Untuk menentukan CSF : “Apa yang harus dilakukan perusahaan untuk meraih kesuksesan ?”
- Untuk menentukan KPI : “Indikator apa yang memperlihatkan bahwa perusahaan sudah meraih kesuksesan?”
Untuk dapat membuat KPI, maka indikator kinerja tersebut harus memenuhi kriteria SMART-C sebagai berikut :
- Specific (spesifik) : indikator kinerja harus dapat di definisikan secara spesifik.
- Measureable ( terukur) : indikator kinerja harus dapat diukur secara obyektif
- Attainaible ( realistis/dapat dicapai) : sasaran /target yang ditetapkan untuk indikator kinerja harus masuk akal dan memungkinkan untuk dicapai.
- Relevant ( relevan) : indikator kinerja yang dipilih sesuai dengan lingkup bisnis dan aktivitas/proses bisnis organisasi/divisi terkait.
- Time-bound ( batasan waktu) : pencapaian sasaan/target indikator kinerja memiliki batasan waktu yang jelas
- Challenging ( menantang) : sasaran /target indikator kinerja yang ditetapkan merupakan peningkatan dari pencapaian periode sebelumnya dan menjadi tantangan manajemen unttuk meningkatkan kinerja organisasi.
Dari persyaratan SMART-C tersebut dapat kita lihat bahwa membuat KPI tidak asal sekedarnya saja, tetapi haruslah dapat dilaksanakan dengan realitis tapi menantang. Tidak mungkin menyusun KPI tanpa mengetahui visi misi perusahan maupun strategi, target dan sasaran perusahaan, baik untuk masa sekarang maupun masa depan.
Nah, jika KPI sudah terbentuk hingga sampai ke level KPI individu, maka asas keterbukaan dalam mengevaluasi hasil “scorecard” menjadi suatu kebutuhan. Dibutuhkan komunikasi dua arah sehingga perbaikan kinerja dapat terus dilakukan. Kekurangan dan kelemahan yang ada akan menjadi PR bersama dalam bentuk penyusunan “action plan” kearah continuous improvement.
Transparansi dalam hasil penilaian KPI ini akan mendorong semangat karyawan untuk dapat berkiprah lebih baik dan dan memudahkan pihak manajemen untuk menyusun arah organisasi selanjutnya.
Ir Mirawati Purnama Msi