Tips Merancang Kontrak Kerja Sama Franchise

Tips Merancang Kontrak Kerjasama Franchise

Kontrak kerja sama franchise atau umum disebut Perjanjian Franchise/ Perjanjian Waralaba, di Indonesia sudah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.42 tahun 2007. Pada Bab I pasal 1 mengenai Ketentuan Umum, telah dijelaskan bahwa: Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Demikian juga pada Bab III, mengenai Perjanjian Waralaba, cukup jelas ketentuan pembuatannya, berikut isi perjanjian yang wajib dicantumkan (minimal 11 klausa). Atau dengan kata lain, kerjasama franchise di negara kita, wajib dibuat secara tertulis, dalam bahasa Indonesia, dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Banyak orang bilang bahwa perjanjian franchise selalu berat sebelah. Berat sebelah yaitu lebih berpihak kepada kepentingan Franchisor. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa setelah membaca isi perjanjian, calon Franchisee merasa kesal dan membatalkan rencana kerja sama. Kenapa isi perjanjian (yang tentunya dibuat oleh Franchisor) ini terasa berat sebelah? Sebenarnya jawaban untuk pertanyaan ini sederhana, karena Franchisor merasa haknya tidak dilindungi oleh pemerintah.

Dalam PP no.42 tahun 2007, isinya lebih berat kepada kepentingan masyarakat (calon Franchisee). Oleh sebab itu, Franchisor “menciptakan” tameng-tameng bagi diri sendiri. Apa saja tameng yang diciptakan oleh Franchisor? Umumnya adalah terhadap/mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dimilikinya. Hal terkait HKI adalah Bisnis Model dan Merk Dagang/ Brand yang sudah dipopulerkannya.

Bisnis Model dan Merk Dagang mencerminkan kualitas bisnis milik Franchisor. Franchisor takut bila ditangan Franchisee akan disalah gunakan, baik sengaja maupun tidak. Menurut pengalaman Franchisor, ada saja Franchisee-nya yang sengaja melanggar, oleh sebab itu timbulah aturan main yang “diatur” dalam perjanjian. Jadi salahkah Franchisor bila membuat perjanjian yang berat sebelah? Tidak. Adakah kesalahan Franchisor? Ada. Kesalahan Franchisor adalah terletak pada seleksi calon Franchisee.

Itu juga sebabnya, saat Franchisor mendapat calon Franchisee yang potensial, tidak dapat segera direkrut. Tetapi dibutuhkan waktu agar dapat lebih mengenal calon Franchisee-nya. Apakah kemampuan dan karakter Franchisee cocok untuk bisnis milik Franchisor tersebut. Dari data yang didapat dari Franchisor, seorang Franchisee (yang sudah diseleksi) dengan kedudukan sebagai Owner Operator (menjalankan sendiri bisnisnya) jauh lebih mudah untuk dapat bekerja sama dibandingkan dengan kedudukan hanya sebagai pemilik pendana (tipe investor). Masalahnya hanyalah bahwa dari seluruh calon Franchisee, pemilik dana yang besar 70% dimiliki oleh  mereka dengan tipe investor, dan tidak semua tipe investor mudah untuk berkolaborasi.

Seperti telah disebut di atas, dalam merancang isi dari perjanjian franchise, Franchisor lebih berpatok kepada kepentingannya. Agar perjanjian dapat terlihat “tidak terlalu” berat sebelah, maka hak dan kewajiban para pihak perlu diuraikan secara rinci. Tulis kembali hak dari Franchisee seperti yang tercantum dalam PP no.42 tahun 2007, karena banyak Franchisee tidak mengetahui akan haknya ini. Sedangkan kewajiban dari Franchisee yang dibutuhkan oleh Franchisor yang ditulis dalam perjanjian, perlu dijelaskan alasan-alasannya.

Kapan penjelasan atas alasan dari isi yang cenderung memaksa dalam perjanjian tersebut disampaikan? Sebaiknya disampaikan mulai dari awal perkenalan. Penjelasan dari alasan perlu diulang kembali pada saat penyerahan perjanjian kepada calon Franchisee secara tuntas. Pada waktu tersebut, tujuan dari penjelasan adalah bahwa calon Franchisee harus paham, bukan sekedar tahu. Penjelasan yang baik akan dapat banyak mengurangi perasaan berat sebelah, karena calon Franchisee menjadi tahu sebab dari “ketakutan” Franchisor.

Hal lain, dari juklak PP no.42 tahun 2007, yaitu Permendag no.53 tahun 2012 (Peraturan Mentri Perdagangan no.53 tahun 2012), ditentukan juga bahwa sebelum perjanjian ditanda tangani oleh para pihak, Perjanjian Franchise harus sudah diserahkan kepada calon Franchisee minimum 2 minggu sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar calon Franchisee dapat menimbang kembali, apakah bisnis yang dipilihnya tersebut, benar-benar adalah pilihannya. Dalam industri franchise, hal tersebut disebut sebagai masa “cooling down”, yang bertujuan sama. Bila penjelasan mengenai aturan main seperti yang dicantumkan dalam perjanjian telah dijelaskan dan dipahami oleh calon Franchisee, maka pertimbangan calon Franchisee dalam mengambil keputusan hanyalah pada kemampuan dirinya saja.

Salam.

Royandi Yunus

Managing partner

IFBM