Super Team

Salah satu peringatan yang biasa saya sampaikan kepada klien dan calon klien adalah mereka harus punya tim, super team, kalau mau berhasil dalam mewaralabakan bisnis mereka. Sulit sekali bagi pebisnis yang tidak punya tim untuk membangun sistem waralaba yang handal, apalagi mengembangkan jaringan waralaba yang unggul.

Delegasi

Pen-delegasi-an bisa dikatakan menjadi kata keramat yang seringkali digunakan ketika mengangkat topik Super Team. Beberapa kendala pendelegasian antara lain, pebisnis merasa timnya kurang kompeten, atau sebaliknya, kekuatiran pebisnis terhadap kerahasiaan bisnisnya.

Di sisi lain, seandainya sudah melakukan pendelegasian, kendala yang sering muncul adalah tidak adanya mekanisme kontrol atau monitoring terhadap tugas-tugas yang didelegasikan. Yang sering terjadi adalah, tugas yang didelegasikan tidak selesai sesuai tenggat waktu. Bahkan tak jarang tugas itu belum dikerjakan sama sekali, atau berhenti di tengah jalan karena kendala yang tidak pernah dikomunikasikan oleh penerima pendelegasian itu.

Anda sering mengalami hal seperti itu?

Beberapa saran terkait langkah pendelegasian adalah:

  1. Mengenali kekuatan dan kelemahan masing-masing tim anda
  2. Membuat deskripsi tugas yang hendak didelegasikan, dan tujuannya, dengan jelas
  3. Memahami ketrampilan yang dibutuhkan untuk suatu tugas yang hendak didelegasikan
  4. Memilih anggota tim yang profil kekuatan dan kelemahannya cocok untuk tugas tersebut
  5. Mengkomunikasikan tugas, tujuan, rencana kerja dan laporan periodik yang harus menjadi komitmen bersama
  6. Mempersiapkan dan memberi akses yang dibutuhkan penerima pendelegasian untuk hal-hal yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas tersebut
  7. Melakukan monitoring dengan konsisten, memberi pengarahan sesuai kebutuhan
  8. Memberikan pujian ketika tugas dilaksanakan dengan baik.

Kepercayaan

Salah satu kebutuhan dalam membangun Super Team adalah kepercayaan.

Kepercayaan di sini memiliki arti yang luas. Salah satu contoh ketiadaan kepercayaan adalah perilaku menetapkan target yang asal-asalan, atau terlalu tinggi tanpa memiliki latar belakang pembenaran bagaimana target seperti itu hendak dicapai.

Beberapa pebisnis memasang target dengan cara menaikkan 20%-30% dari pencapaian tahun sebelumnya. Praktek seperti ini sering mengakibatkan tim penjualan menahan diri untuk tidak melewati target terlalu tinggi agar tahun depan targetnya tidak terlampau tinggi pula.

Kondisi serupa terjadi dalam penetapan target pajak 2015 yang kemudian mengakibatkan mundurnya Dirjen Pajak pada awal Desember 2015. Hal mana, terkait target pajak, pada pertengahan Desember 2015 Menko Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan perlunya revisi target pajak 2016, untuk mengembalikan “kepercayaan”.

Berikut kutipan dari cnnindonesia.com:

Darmin menilai perlu revisi target guna memberikan kepastian penerimaan dan memperkecil kemungkinan kembali meleset target penerimaan (shortfall) pada tahun depan. Dia mengingatkan, jika shortfall pajak kembali terulang pada tahun depan maka kredibilitas pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak akan semakin dipertanyakan.

Persoalannya bukan sekedar kredibilitas. Dalam konteks bisnis secara umum, ketika target terlihat tidak masuk akal, maka tim bisa saja bekerja asal-asalan, karena target yang diberikan tidak memiliki dasar sama sekali. Dalam konteks perpajakan, hal ini bahkan menjadi “menakutkan” bagi para wajib pajak, karena kekuatiran petugas pajak membabi-buta mengejar pencapaian target yang tidak realistis.

Bersiaplah dengan dua hal untuk membangun Super Team anda : “delegasi” dan “kepercayaan”. Semoga dapat dipraktekkan, dan … sukses selalu!

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com