

Sebuah bisnis pasti menyimpan resiko. Apapun kategorinya. Tidak terkecuali di bisnis franchise. Bagaimana cara mengelola resiko?
Dalam bisnis, tidak ada yang menjamin sukses. Begitupun franchise, meskipun segalanya sudah dipersiapkan secara matang oleh franchisornya, namun bukan berarti bisnis yang dijalani franchisee bisa terhindar dari kegagalan. Faktor penyebab kegagalan bisa bermacam-mecam. Bisa dari produknya yang tidak marketable. Bisa juga karena model service-nya yang tidak bisa diterima oleh konsumen, atau juga bisa disebabkan karena system bisnisnya yang tidak bisa dijalankan dengan baik oleh people-nya. Nah, penyebab itu semua dinamakan resiko bisnis, yang berujung pada kegagalan.
Namun demikian, sebagai pebisnis Anda jangan menghindar dari resiko. Karena resiko sudah pasti menghadang proses perjalanan bisnis Anda, semakin dihindari resiko itu akan seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar menggelintirkan kinerja bisnis Anda dalam jurang kegagalan. Oleh sebab itu, resiko harusnya dikelola dengan baik. Cara mengelola resiko ini biasanya disebut risk management.
Lalu bagaimana cara mengelola risiko? Tidak ada salahnya jika kita belajar dari Muhammad Isnaeni, yang pernah menjadi pemenang Indonesia Franchisee Award 2009. Franchisee Apotek k-24 ini bisa dibilang sangat piawai mengelola resiko yang biasa menghambat laju kinerja bisnis, menjadi sebuah tools untuk memitivigasi berbagai masalah dan kendala. Cara ini terbukti ampuh dia terapkan dalam gerai apotek miliknya. Buktinya, gerai apotiknya, K-24 kini berkembang mencapai 3 gerai dan semuanya berkinerja baik.
Menurut Isnaeni, salah satu faktor terbesar yang menjadi penyebab resiko bisnis adalah pertama People atau SDM. Sebab, katanya, para manusia inilah yang menjadi kunci berjalannya system bisnis kita. Meskipun bisnis franchise sudah memiliki sebuah SOP dan system IT yang canggih dari franchisor, namun jika franchisee tidak pintar mentraining SDM-nya, maka akan sia-sia saja. Pasalnya, training dari franchisor hanya gambaran luasnya saja, di gerai franchisee-lah para karyawan ini dituntut untuk bisa menterjemahkan system dan SOP menjadi aplicable. “Jadi jangan hanya mengandalkan training dari franchisor,” katanya.
Diakui Isnaeni, banyak kejadian di lapangan yang luput dari perhatian franchisor. Misalnya, yang pernah terjadi dalam gerai apoteknya dan pastinya juga sering dialami franchisee lainnya seperti masalah kesalahan input data. Yaitu data obat dalam satuan dia input dalam ke dalam tablet. “Ini menurut saya cukup fatal. Karena menyangkut masalah data produk. Kalau ini salah otomatis akan diulang lagi atau diinstal” katanya.
Contoh lain juga diiungkapkan Isnaini, masalah transaksi misalnya, kadang sering juga terjadi selisih harga yang jauh, karena ada kecurangan dari kasir. Atau ada juga yang customer ngomel-ngomel karena tidak menerina print out harga dari kasir. “Biasanya di kita memang kalau tidak ada struk gratis. Tapi masa mau gratis terus karena mesin printernya yang tidak jalan. Ini juga sering terjadi,” ungkapnya.
Hal-hal demikian memang sederhana, tapi kalau tidak segera dimitigasi akan menjadi penghambat operasional kerja gerai. Itu semua merupakan kesalahan people atau programernya. Persoalan demikian biasanya terjadi karena kurang ketatnya kontrol franchisee terhadap SDM-nya. Banyak franchisee yang tidak teliti dalam hal ini. “Digerai saya sendiri, untuk mengatasinya saya punya personal incharge sendiri yang ahli IT, yang ditugasi mengontrol system disini. Dalam hal ini kita tidak bisa bergantung sama franchisor. Tapi kita sendiri yang langsung mengecek langsung,” ujar Isnaeni.
Kemudian, masih masalah people. Isnaeni mengungkapkan, banyaknya karyawan yang keluar masuk juga merupakan hambatan bagi kinerja gerai franchise. Apalagi yang keluar orang yang sudah diandalkan. “Bila kita harus mendidik ulang lagi karyawan baru ini kan capek, menguras tenaga juga,” katanya. Untuk mengatasi itu, katanya lagi, salah satunya kita memberi penghargaan atas prestasi dan kinerjanya, sistem gaji-pun tidak mesti menuruti standar franchisor. Kalau memang mereka produktif bisa kita buat gajinya melebihi standar franchisor.
Itu untuk kasus SDM. Faktor people ini, kata Isnaeni, yang paling besar mempengaruhi gerak bisnis franchisee. Selanjutnya, kedua adalah masalah resiko Likuiditas. Yaitu pengaturan cash flow perusahaan. Perusahaan yang tidak bisa mengatur masalah finansialnya akan kewalahan mengatur kewajiban jangka pendek dan panjangnya. “Cara mengatasinya harus bisa mengatur antara penjualan dan pembeliannya. Selian itu, juga harus diperhatikan beban operasionalnya. Apa saja barang-barang yang kurang laku, dan yang laris. Itu harus dikontrol. Sebab, jangan sampai barangnya tidak ada ketika permintaan meningkat. Tapi justru yang banyak distok adalah barang yang kurang ada demand-nya,” jelasnya.
Selian itu, yang ketiga, yang juga harus diperhatikan franchisor adalah terkait dengan reputasi bisnis atau resiko reputasi. Ini berkaitan dengan komitmen dan janji perusahaan. Contohnya, memberi janji diskon kepada konsumen, atau salah memberi resep pada customer-nya. “Ini juga akan berakibat turunnya reputasi kita di mata masyarakat. Akibatnya, konsumen tidak ada trust lagi dengan kita. Padahal kunci sebuah bisnis adalah adanya trust atau kepercayaan,” tutur Isnaeni.
Lalu bagaimana cara membangun reputasi? “Harus membuang persepsi negatif di benak konsumen. Caranya harus memiliki kompetensi yang baik, teliti dalam meracik resep, tidak terburu-buru dalam proses operasionalnya, dan jangan sekali-kali melenceng dari standar operasional kerja,” tandas Isnaeni.
Kemudian, keempat adalah resiko pasar. Dijelaskan Isnaeni, resiko ini biasanya terjadi karena kekurangtahuan franchisee terhadap perkembangan ekonomi. Ketika pasar sudah menaikan harga produknya, tapi dia masih saja tetap tidak bergeming. Alhasil, customer-nya akan beralih ke gerai lain. Contoh lainnya adalah terlalu banyak membeli stok barang. Tapi pas dijual harganya sudah turun. “Ini tugas bagian pembelian. Bagian ini harus bisa mengontrol barang mana saja yang cepat dijualnya,” katanya.
Kemudian yang terakhir adalah resiko legal. Masalah ini menyangkut perjanjian franchise. Para calon franchisee yang ingin mengambil bisnis franchise sejatinya harus meneliti sebuah perjanjian dengan cermat. Tentunya sebelum terlanjur menyesal. Sebab pernah ada contoh, kata Isnaneni, rekan bisnisnya yang mengambil franchise ternyata masa izin IMB-nya (izin mendirikan bangunan) sudah habis.
Apalagi waktu itu rekannya sudah mau grand opening. “Ini tentunya kesalahan calon franchisee tidak teliti, harusnya tanya dulu ke Dinas Kota,” katanya. Masalah-masalah itu merupakan rangkaian resiko bisnis yang sering menghambat operasional kerja. Jika bisa dikelola dan diantisipasi dengan baik, paling tidak bisnis Anda tidak langsung terjun bebas ke lembah kegagalan.