

Sebuah bisnis dalam menghadapi atau berkompetisi dengan para kompetitornya, tentunya membutuhkan inovasi guna selalu dapat memberikan nilai tambah dan mengembangkan bisnis tersebut. Hal-hal tersebutlah salah satunya yang membuat sebuah bisnis dapat terus bertahan dalam persaingan.
Bagaimana dengan franchising? Apakah sebuah bisnis yang dipasarkan berdasarkan sistem franchise, bila bisnis induknya melakukan inovasi untuk dapat terus bertahan, dapatkah langsung diaplikasikan pada jaringan franchise-nya?
Inovasi menurut kamus besar Indonesia adalah penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode atau alat). Atau dengan kata lain : dari tidak ada menjadi ada. Franchising menurut Peraturan Pemerintah No.42 tahun 2007 tentang Waralaba, pada pasal 1 (satu) butir 1 (satu) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Kemudian pada pasal 3 (tiga) butir a menyatakan telah terbukti memberikan keuntungan, yang pada lembar penjelasannya menunjuk pada pengalaman Pemberi Waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan. Atau singkatnya, franchising adalah duplikasi pengalaman sukses bisnis untuk dijalankan oleh orang lain.
Nah sekarang tentang penerapan inovasi bisnis induk (milik franchisor) dalam jaringan franchising itu sendiri. Inovasi yang dimaksud disini adalah inovasi yang seperti disebut dalam kamus besar Indonesia, yaitu yang terkait dengan gagasan, metode dan alat.
Bila dalam aplikasinya franchisor belum tahu apakah inovasinya akan berhasil atau tidak, maka menurut konsep diatas, inovasi tersebut tidak benar bila dijalankan secara franchising. Franchisor sama sekali belum berpengalaman dengan inovasinya, sehingga tidak mungkin menduplikasikan inovasi tersebut kepada franchisee, karena franchisor sendiri masih belajar untuk menguasainya.
Inti kerja dalam franchising adalah branding, marketing dan training. Maksud dari training disini adalah menjadi seorang pelatih karena pengetahuan serta pengalamannya yang banyak. Artinya, bagaimana mungkin kita mengajari orang lain tentang sebuah hal, sementara kita sendiri masih belajar atau coba-coba akan hal tersebut.
Orang “membeli” bisnis yang dipasarkan secara franchising salah satunya adalah karena akan diajari atau dilatih. Ada kebergantungan atas mastery dari franchisor dalam bisnisnya.
Dalam kasus-kasus sengketa di industri franchise, salah satunya adalah karena hal tersebut diatas. Contoh dalam kasus nyata, seorang pebisnis yang ingin memasarkan bisnisnya secara franchising, dimana awalnya berbisnis dengan jumlah produk 5.000 item, mengubah bisnis modelnya menjadi 10.000 item.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan dari bisnisnya. Dalam perhitungan diatas kertas, penambahan luas ruangan, penambahan karyawan dan penambahan modal telah diperhitungkan secara rinci dan ternyata mendapatkan keuntungan yang lebih baik dan menggiurkan.
Pada kenyataannya, tidak sekejap mata pendapatan akan naik, sedangkan biaya sekejap mata langsung naik.
Demikian juga dengan pengelolaan sumber daya manusianya, jumlah “kepala dan perut” yang dikelola tidak sama dengan pengalaman, sistem operasi yang dikelola tidak sama dengan pengalaman, arus kas yang dikelola tidak sama dengan pengalaman. Semuanya baru dan itu disebabkan karena berubahnya bisnis model awal menjadi sebuah bisnis model baru. Dan bisnis model baru ini ternyata membutuhkan sebuah mastery atau tehnik penanganan baru.
Tapi sebuah bisnis membutuhkan inovasi agar dapat tetap bertahan, contoh seperti dalam bisnis musik, dulu menyimpan lagu dengan piringan hitam, kini bisa disimpan dalam sebuah compact disc atau malah dalam sebuah flash disc sebesar ujung kelingking. Siapa yang masih coba bertahan dengan cara lama, akan ditinggal oleh konsumen atau jumlah konsumennya menurun dengan sangat drastis.
Jadi apakah inovasi tidak dapat diaplikasikan dalam jaringan franchise?
Jawabnya bisa, hanya caranya tidak seperti ketika dipasarkan sendiri. Bila hanya dipasarkan sendiri, untung dan ruginya franchisor bisa telan sendiri. Franchisor bisa merekrut atau menciptakan “pendekar-pendekar” baru guna membela bisnisnya. Tapi bila sudah masuk dalam jaringan franchise, yang dibutuhkan adalah sistem. Dengan membangun pilot-pilot project, kesempatan belajar bagi franchisor menjadi lebih fokus dan semua tindakan yang diambil dapat diputuskan secara segera.
Franchisee adalah orang lain, keuntungan bisnis, resiko bisnis serta keputusan bisnis adalah milik franchisee. Yang franchisor miliki hanyalah Hak Kekayaan Intelektual yang “disewa” oleh franchisee dengan pembayaran royalti.
Jadi satu-satunya cara adalah dengan menguasai terlebih dahulu hasil inovasi tersebut. Untuk mempercepat proses penguasaan, pastikan bahwa target market dari hasil inovasi adalah sama dengan target market yang lama, karena bila target market berbeda, maka hal tersebut sama dengan membangun bisnis baru. Setelah benar-benar mastery terhadap inovasi tersebut, barulah diterapkan pada franchisee.
Selamat berkembang.
Royandi Yunus
IFBM (International Franchise Business Management)