Melihat Potensi Bisnis Franchise dari Berbagai Aspek

Berbagai aspek harus diperhatikan ketika membeli bisnis franchise. Banyak cerita kegagalan berbisnis franchise karena tidak melihat aspek penting ketika membeli franchise. Apa saja aspek penting itu? Seperti apa ciri-ciri waralaba potensial dan menguntungkan?

Ini bukan cerita fiktif, tapi diambil dari beberapa cerita franchisee yang kecewa membeli bisnis franchise. Katakanlah pembeli franchise itu bernama Meliawati. Ia membeli franchise asing dari negara Asia Tenggara. Beberapa merek dari negeri tetangga memang bagus-bagus. Banyak merek asal negeri tersebut yang sukses mengembangkan banyak gerai di Indonesia. Beberapa master franchisenya di Indonesia meraup untung besar hingga bisa mendirikan beberapa bisnis.

Namun tidak dengan Melia. Wanita ini sudah mentransfer uang cukup besar untuk membeli merek franchise kuliner seperti yang dijanjikan principal (franchisor) merek di sana. Entah bagaimana ceritanya, merek franchise yang dijanjikan oleh pihak principal tidak persis sama. Rupanya principal memberikan merek yang second brandnya, satu produk tapi beda merek. 

Okelah, akhirnya Melia menerima saja. Ia pun menggeluti merek franchise kuliner khas negeri tersebut. Sudah diduga, respon konsumen pun tidak begitu begus ketika franchise tersebut dilaunching. Beberapa konsumen yang datang hanya sekedar mencicipi saja, tapi tidak menjadi pelanggan loyal, karena mereknya memang dikenal masyarakat. Di luar negeri juga tidak begitu dikenal. 

Kekecewaan Melia bertambah dengan tidak maksimalnya support dari pihak principal. Bahan-bahan baku yang dijanjikan lambat datang, belakangan kulitas bahan baku yang dikirim kurang baik. Cerita terakhir, Melia ingin membawa pihak principal tersebut ke jalur hukum karena banyak yang tidak sesuai dengan perjanjian kotrak kerja sama. 

Melia masih beruntung, ada cerita lain dari calon franchisee yang membeli franchise salon asing. Sejumlah uang sudah ditransfer, tapi merek franchise tak kunjung beroperasi di Indonesia. Entah dia melakukan transfer dengan principal aslinya, atau lewat broker. Calon franchisee ini harus gigit jari karena hanya diminta persyaratan terus menerus, sementara uang yang ditransfer tak kunjung dikembalikan.   

Itu cerita dari calon franchisee yang membeli merek asing. Beberapa franchisee yang membeli merek lokal juga tidak tidak sedikit. Umumnya, merek kecewa dengan franchisor yang menjanjikan keuntungan tinggi, namun tidak sesuai fakta. Ada juga franchisee yang kecewa karena tidak disupport penuh dari awal, tapi dia tetap ia jalankan usaha franchise tersebut hingga berhasil, namun di akhir kontrak ganti merek alias membuka usaha dengan merek sendiri. 

Itu sekelumit cerita kegagalan membeli bisnis franchise. Kendati demikian, yang sukses menekuni usaha waralaba juga jumlahnya banyak. Merek yang sukses jadi miliarder juga tidak sedikit karena memang mampu mengkaji beberapa aspek sebelum membeli franchise. Umumnya franchisee sukses karena melakukan investigasi sebelum betul-betul membeli franchise, jadi tidak cukup hanya bermodalkan keyakinan dan janji janji manis franchisor.

Anang Sukandar, CEO Emeritus Asosiasi Franchise Indonesia mengatakan, pentingnya mengkaji beberapa aspek sebelum membeli franchise. Setidaknya, menurut dia calon franchisee menanyakan beberapa hal kepada pemilik franchise (franchisor) sebelum membeli franchise. “Tanyakan usahanya mulai berdiri kapan? Usaha ini franchisee pertamanya siapa? Bolehkah aku wawancarai? Apakah ciri khas keunuikan bisnisnya? Ada tidak contoh cabang yang berhasil?,” katanya.  

“Kalau franchisor tidak mau menjawab atau tidak bisa menjawab, artinya dia bukan franchise,” sambungnya. Anang mengatakan, membeli franchise tidak cukuk hanya mengandalkan pameran, iklan, dan janji-janji manis franchisor saja.  “Harus melakukan investigasi dan pengkajian. Investigate, investigate, and investigate!, Itu kunci dasar membeli bisnis franchise,” tandasnya.

Anang menuturkan, ciri-ciri franchise yang potensial itu adalah yang menguntungkan. Hal itu bisa dilihat dari Project Income Statament-nya.  “Masuk akal Project Income Statament-nya,” tegasnya. Maka itu perlu minta Projected Income Statement. Sehingga ada gambaran mengenai kegiatan bisnisnya, dari bulan ke bulan dia punya sales berapa, kalau perlu di-break down, sales perminggu berapa, sales perbulan berapa, sales per hari berapa. “Itu juga mesti dipecah lebih lanjut lagi,” jelasnya.

Katakanlah sales perminggu 25 juta, sambung Anang, sales per hari 1 juta, nah satu juta ini di-break down lagi, berapa banyak pembelinya, order sizenya sekali beli berapa besar. “Harus tahu itu kalau mau benar. Tanya hal ini sama franchisor, dia harus menunjukan. Order size itu jumlah orang belanja sekali belanja berapa, jadi besarnya suatu order,” terangnya.

Selain itu, kata Anang, ciri cirinya merek franchise potensial adalah survive beberapa tahun, usahanya sudah solid, mereknya terkenal, konsumen masih ada dan ngantri, franchiseenya sudah ada bertahun-tahun menjalani usaha franchise tersebut. “Cara melihatnya harus berkenalan dulu dengan franchisornya. Biasanya franchisornya mau melayani pertanyaan, bagaimana menjalani usaha, support sistemnya bagaimana, apa yang harus kita lakukan sehari2 dll,” ujarnya.  

“Cara gampangnya lihat saja usahanya, masuk ke gerainya. Kalau kita didiamkan oleh karyawannya berarti customer service-nya tidak jalan. Kalau masuk suatu gerai tidak ada yang datang, itu gimana SOPnya, pelanggan pasti akan keluar kan. Dari situ kita bisa menimbang baik tidaknya sebuah franchise secara sederhana,” tambah Anang.

Anang mengatakan, saat ini calon calon franchisee tidak lebih cerdas dalam membeli franchise meskipun sudah banyak publikasi dari media, seminar-seminar, buku-buku franchise dan sebagainya. “Calon franchisee masih banyak yang belum belum bisa membedakan antara franchis dan BO,” katanya.

Sedikit berbeda dengan Anang. Bije Widjajanto, Konsultan Franchise dari Benwarg Consulting menilai calon franchisee kini sudah lebih cerdas menilai bisnis franchise. “Saya pikir sedang berkembang ke sana. Dari mana saya melihat? Coba kita lihat pengunjung pameran franchise saat ini tidak seperti 7 – 8 tahun yang lalu. Jumlahnya berkurang pada tingkat yang wajar, tidak euforia, berjubel seperti sebelumnya,” ujarnya. 

Kemudian juga, kata Bije, dalam bertanya mereka sudah semakin esensial, seperti menanyakan kompetisi, segmen, ketersediaan sumber daya dan lain-lain. Dulu mereka hanya tanya berapa investasi dan kapan balik modal. “Para calon franchisee juga sudah banyak belajar dengan ratusan atau bahkan ribuan franchise yang gagal, yang dulu pernah ditawarkan dan booming sekarang sudah tidak ada lagi,” bebernya.

Mempertimbangkan 3 Aspek 

Bije sepakat dengan Anang Sukandar, membeli frachise tidak cukup hanya melihat dari pameran ataupun berita saja meskipun hal tersebut juga penting. Tapi itu hanya gerbang awal saja. “Pameran penting untuk melihat siapa yang masih eksis dan siapa yang baru. Yang eksis perlu dilihat lebih dalam, dan yang baru perlu diinvestigasi potensi bisnisnya. Itu saja menurut saya yang penting dari pameran franchise,” katanya. 

Setelah itu, lanjut Bije, calon franchisee harus melakukan investigasi terhadap 3 aspek. Pertama, aspek internal seperti passion, entrepreneurship, kemampuan modal dan sebagainya. Kedua, aspek bisnisnya seperti produk, konsep bisnis, potensi pasar, sistem franchisenya, sistem dukungan dan lain sebagainya. Ketiga, aspek finansialnya seperti seberapa menguntungkan, kewajaran besar investasinya dan lain-lain.

Seperti halnya membeli barang apapun, membeli franchise juga menurut Bije tidak mudah, terutama yang nilainya besar harus mempertimbangkan banyak hal. “Jangan sampai setelah terjadi pembelian ternyata baru ditemukan adanya kesesuaian antara harga dengan nilai barang, atau antara kebutuhan dengan manfaat barang tersebut. Tentu ketika mau membeli franchise lebih banyak hal lagi yang harus dipertimbangkan,” katanya.

Setidaknya, ujar Bije, franchise yang potensial dan berpeluang menguntungkan  adalah yang produknya masih disukai dan akan disukai pasar sampai minimal 3 tahun yang akan datang. Konsep bisnisnya juga akan bertahan minimal 3 tahun baik dari pertimbangan pergeseran kebutuhan pasar, maupun dari pertimbangan persaingan. Kemudian secara kasat mata, gerai-gereai yang beroperasi masih menguntungkan. Untuk ini calon franchisee harus melihat dan mengamati outlet yang sudah beroperasi. “Tidak hanya percaya apa yang disampaikan oleh franchisor. Juga harus melihat pasokan bahan baku memungkinkan atau tidak dan kemudahan mendapatkan tenaga kerja,” jelasnya.

Bije menuturkan, banyaknya jumlah gerai tidak menggambarkan potensial bisnis franchise. “Kalau tidak menghasilkan keuntungan tidak baik bukan? Bagaimana tidak menguntungkan gerainya bisa banyak? Nah, inilah yang harus dihindari. Para franchhisor tentu menggunakan strategi penjualan yang baik. Sebuah franchise yang kurang baik, tetapi dengan strategi penjualan yang baik dan praktek-praktek yang masif akan mendorong pertumbuhan jumlah gerai,” ungkapnya.

Selain itu, Bije juga mewanti wanti franchisee yang melihat investasi terlampau mahal. Memang merek franchise yang berhasil cenderung mahal, tapi tidak semua yang mahal punya potensi baik. “Ada cukup banyak franchise yang digunakan oleh franchhisornya sebagai strategi untuk mengumpulkan keuntungan di awal dari pembayaran franchise fee yang tinggi. Hal tersebut mengandung kecenderungan franchisor untuk melakukan markk-up harga, memaketkan semua biaya investasi dibayarkan, dengan harapkan mendapatkan margin keuntungan dari penjualan barang-barang di awal. Nah ini menurut saya adalah salah arah, franchisor itu mungkin sebaiknya jadi distributor alat atau bahan sajam” katanya.

“Saya melihat banyak franchise, terutama yang nilai investasinya tinggi, sebenarnya adalah markup, dan itu menjadi beban bagi operasi bisnis. Akhirnya bisnis itu tidak mencapai tingkat keuntungan yang wajar, atau meskipun secara cash flow menguntungkan, tetapi beban pengembalian investasinya terlalu berat. Akhirnya tidak bisa kembali modal dalam batas yang wajar, maksimal 3 tahun,” sambungnya. 

Waralaba yang bagus menurut Bije harus memiliki sistem dan support yang bagus pula. Cara melihatnya harus ditanya kepada franchisor tentang kelengkapan sistemnya. Apakah SOP-nya lengkap? Banyak yang mengira SOP hanyalah petunjuk teknis kegiatan produksi dan pelayanan saja. 

“Mereka melupakan bahwa sistem pengelolaan kegiatan tersebut lebih penting seperti, bagaimana menghindari atau menangani maslah, bagaimana melakukan analisa, bagaimana membuat laporan-laporan dan bagaimana mengendalikan operasional sehingga target produksi tercapai, target kualitas tercapai, target penjualan tercapai dan target kepuasan pelanggan tercapai. Itu semua yang harus dijadikan sistem oleh franchisor. Saya rasa di Indonesia PR nya masih banyak sekali,” jelas Bije. 

Lalu seperti apa ciri-ciri waralaba yang bagus? “Franchise yang tidak direkomendasikan adalah ketika nyata-nyata investasinya terlalu tinggi, atau produk dan konsep bisnisnya kuat diprediksi musiman dan pendek, kurang dari 3 tahun, atau dari jaringan gerai yang ada terlihat banyak gerai yang tidak berjalan dengan baik atau banyak yang tutup, dan apabila tidak yakin franchisornya akan memberikan dukungan dan pengelolaan yang baik,” pungkas Bije memberikan jawaban.

Zaziri